Rabu, 15 Desember 2010
-------------------------------------------
Buku Baru Tentang “Wong Jowo Suriname” :
berjudul “MIGRATIE EN CULTUREEL ERFGOED”
* * *
Ceritaku tentang “WONG JOWO
Pada tanggal 27 November, 2010, nanti di Den Haag, di salah satu ruangan Gedung Perpustakaan Umum Den Haag, akan diluncurkan sebuah buku lagi menyangkut orang-orang Jawa yang berimigrasi ke Suriname. Juga akan diluncurkan sebuah website dengan tujuan yang sama.
Pada saat peluncuran buku baru yang berjudul “MIGRATIE EN CULTUREEL ERFGOED”, di Perpustakaan Umun Den Haag, pada tanggal 27 November itu, jauh-jauh dari Amsterdam kami berlima: Ciska Pattipilohy. Murti, Farida Rakhmat, Ina Rakhmat dan aku, memerlukan hadir pada kesempatan tsb.
Kebetulan kami dapat tempat duduk yang bagus. Termasuk barisan depan. Persis dihadapanku duduk Dr Henk Schulte Nordholt, pimpinan KITLV < sebuah lembaga kerajaan Belanda, yang dengan sumbangan dari Kementerian Pengajaran, Kebudayaan dan Pengetahuan Kerajaan Belanda dan Kementerian Pendidikan. Kebudayaan dan Ilmu, menerbitkan buku tsb>. Kutanyakan kepadanya apakah akan ada edisi Indonesia? Henk menjelaskan bahwa buku yang memuat cerita-cerita (semacam oral history), membuat ringkasan dalam bahasa Inggris dan Indonesia untuk setiap cerita yang dimuat di situ.
* * *
Penerbitan dua buah buku tentang “WONG JOWO” yang seratus duapuluh tahun yl bermigrasi ke Suriname, dalam waktu boleh dikata singkat, adalah suatu prestasi. Juga merupakan kesungguh-sungguhan untuk mendokumentasikan peristiwa tsb dalam sejarah mereka. Sejarah migran Jawa ke Suriname itu, hakikatnya juga adalah bagian dari sejarah Indonesia.
Buku pertama yang mereka terbitkan dalam rangka memperingati 120 th orang-orang Jawa di Suriname, adalah: “STILLE PASSANTEN”, Levensverhalen van Javaans-Surinaamse ouderen in Nederland. Cerita-cerita pengalaman orang-orang Jawa Surinam di Nederland. Dan sekarang ini buku kedua yang berjudul “MIGRATIE EN CULTUREEL ERFGOED”
* * *
Baik juga diketahui bahwa di media internet sejak tahun 2000, terdapat sebuah website berjudul
* * *
Buku yang sekarang sedang dibicarakan kubeli pada kesempatan peluncuran. Drs Hariëtte Mingoen, salah seorang editornya, kuminta menulis sepatah dua kata pada buku yang kubeli. Demikian tulis Harriëtte: -- “Selamat membaca. Fijn dat u er was, Hariëtte Mingoen, 27 November 2010”.
Yah, hampir setiap malam buku baru tsb kami baca bersama, Murti dan aku. Cukup kaya isinya. Mencakup 12 cerita suka-duka pengalaman hidup orang-orang Jawa yang diangkut 120 th yl oleh pemerintah Hindia Belanda untuk dijadikan 'kuli kontrak' di perkebunan tebu yang baru mereka buka di Suriname. Kira-kira sebanyak 33.000 orng-orang Indonesia asal Jawa yang terlibat dalam proyek 'pekerja-kontrak' Hindia Belada yang dimulai pada 9 Agustus 1890. Sebagian besar masih tinggal di Suriname. Jadi orang Surinamelah. Dengan tetap memelihara identitas etnis Jawanya. Dalam th 1953 kira-kira seperempat ber-remigrasi ke Indonesia. Pemerintah RI menempatkan mereka di Tonggar, Sumbar. Dalam tahun 1970-an sejak beridirinya Republik Suriname merdeka, sebanyak 20.000 sampai 25.000 orang Jawa Suriname bermigrasi ke negeri Belanda.
Meskipun terpisah di tiga negeri: Suriname, Belanda dan Indonesia, namun mereka punya hubungan keluarga dan budaya yang erat. Orang-orang Jawa yang bermigrasi ke Belanda dari Suriname, dinilai, berhasil baik berintegrasi di dalam masyarakat Belanda, sebagai warganegara Belanda.
* * *
Duabelas cerita tsb merupakan hasil wawancara dengan 12 orang Jawa Suriname, masing-masing yang kini bermukim di Suriname, Belanda dan Indonesia. Cerita-cerita dalam diaspora tsb merupakan kisah pengalaman sejarah dan juga proses terbentuknya identitas mereka serta warisan budaya yang sampai kini masih dipertahankan, warisan BUDA JAWA.
Perlu sedikit disorot di sini, salah seorang Jawa Suriname, yang memilih untuk tetap tinggal di Suriname sebagai orang Suriname. Dalam ceritanya RITA TJIEN FOOH-HARDJOMOHAMAD, yang dilahirkan di Paramaribo, Suriname, dalam tahun 1966, menandaskan bahwa orang-orang Jawa harus sadar akan dirinya serta mengenal dan mempertahankan identitasnya. Masa lalu dapat membantu menerangkan masa kini.
“Aku sekarang menjabat sebagai direktur Arsip Nasional Suriname. Masyarakat Suriname harus mengenal arsip kami. Namun begitu juga mengenai negara-negara sekitar Suriname. Kami juga bertukar dokumen dengan Arsip Nasional di Indonesia.
“Kalau tegap hati dan percaya diri, kami sebagai penduduk Suriname yang berasal dari Jawa dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan Suriname. Kami hidup di Suriname, namun tidak boleh kehilangan jati diri sebagai orang Jawa. Aku mencoba mengajari anakku bahasa dan kebudayaan kami. Kini saatnya orang yang mengenal dan mendalami kebudayaan kami, menyampaikan pengetahuan itu kepada generasi muda”.
Demikian Rita Tjien Fooh-Hardjomohamad, dalam ceritanya yang menutup duabelas cerita mengenai suka-duka pengalaman hidup orang-orang Jawa yang bermigrasi ke Suriname seratus duapuluh tahun yang lalu.
* * *
Dalam kesempatan peluncuran buku tsb diatas, juga dibagikan sebuah publikasi berjudul SARINAH, schoonheid uit de gordel van smaragd. Didalam brosur a.l. Disiarkan sebuah sajak berjudul MBAH BUYUTKU (dalam bahasa Jawa).
Disiarkan dibawah ini syair tsb sekadar untuk memberikan ilustrasi mengenai SUKA-DUKANYA para 'Pekerja Kontrak' orang-orang Jawa yang diangkut pemerintah Hindia Belanda ke Suriname dengan memberikan mereka janji-janji muluk-muluk mengenai kehidupan yang lebih baik di Suriname.
Mbah bujutku
Semarang, 04 juli 1908
Jenengku Sarinah, aku isih enom, umurku ijik 26 taun.
Budal kontrak nang Surinama.
Idam-idamanku ninggal uripku sing mlarat mesakat
Sasen-asen nyandang sangsara nang lautan
tapi nekat.
Sakwise telung sasi tekan nang firdos.
Kuta Paramaribo sing gumebyar.
Dibagekake karo wong-wong sing sandangane putih
memplak.
Matyak arep dipotrek.
Rumangsa diajeni.
Bengi sepisan nang Surname ora bisa turu,
Omahku sak-wijning los-losan sing reyak-reyok.
Jejel riyel tikur lari tyoro.
Ngungak-ungak liwat renggang-renggang gedeg
rembulan gemebyar ketok,
sunar emas mentyar.
Aku ngangit-angit apa sing bakal kelakon.
Ngimpi-impi manggon nang kuta Paramaribo sing
apik dewe.
Nduwe anak bojo lan omah sing apik.
Ora kurang apa-apa.
Ora gemantung marang wong liyan.
Kaya nang tanah wutah getihku.
Bengi sepisan nang Suriname ora bisa turu.
Omahku sak-wijning los-losan sing reyak-reyok.
jejel riyel tikur lajn tyoro.
Ngungak-unggak liwat renggang-renggang gedeg
rembulan gmebyar ketok,
sunar emas mentyar.
Aku nganggit-anggit apa sing bakal kelakon.
Ngimpi-impi manggon nang kuta Paramaribo sing
apik dewe.
Nduwe anak bojo omah sing apik.
Ora kurang apa-apa.
Ora gemantung marang wong liya.
Kaya nang tanah wutah getihku.
Tapi impenku dirubeti dumadakan
Karo kentong sing swarane banter.
Lan swarane mandor: Kerja! Kerja! Kok malese ora
karuwan.
Awakku sing ijik enam
durung dadi tak ubet-ubeti sarung
wis dikon budal,
jejer-jejer, dawa banget
pada budal nang kebon tebu.
Sedina nuput kerja nang panasan
Sampek lesu lesah
Lemut, tengu lan lintah
Mblusuk nang sarungku
Tanaman tebu sing ora wis-wis
Kudu diwatun lan dirembang
Aku dikon nandur tebu
nang lemah klei, ambles sampek tekan dengkul.
Gula tebu sing nang omben tyendol.
Kabeh wong doyan
tapi aku geting
sebap aku kelingan
sing wis klakon.
Saben bengi mulihe
abang mbrnang
awake blasen lan ketaton
gluprut.
Mangan kurang lan samben dina pada wae.
Aku tetep ngimi-impi manggon nang Parmaribu
Biyen awakku seger kuwarasan tapi sak-iki rusak
Samben dinane aku njagong nang ngisore wit
pelem.
Kuta Paramaribo isih nang angen-angenku
Botyah-botyah pada dolan
Tekok aku: Nggagas apa, mak?
Tak-balesi: Eling-elingku aja mbok-lalekke
ben impenku diwudutke nang uripmu
* * *
Sungguh syair/sajak memilukan yang mengisahkan nasib 'kuli kontrak' Jawa yang dibawa pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Suriname untuk membuka perkebunan tebu milik Belanda di situ.
Pembaca yang menerti bahasa Jawa, silakan menterjemahkan sajak tsb diatas, ke bahasa Indonesia dan menyajikannya pada pembaca.
* * *
1 comment:
Duh Gusti, nelongso tenan...
Post a Comment