Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 21 Desember 2010
-----------------------------------
MENYONGSONG HARI IBU 22 Des. 2010
< Dng Sumbangan Puisi Dini S. SETYOWATI – “Pantulan di Wajah>
Di negeri kita, Hari Ibu diperingati pada tanggal 22 Desember setiap tahun, sebagai perayaan nasional. Hal itu ditetapkan di dalam Dekrit Presiden Sukarno, No. 316 tahun 1959. Di mancanegara Hari Ibu diperingati sejak lama. Lebih dari 75 negara lain, seperti di Belanda, Belgia, Amerika, Australia, Kanada, Jerman, Jepang, Italia, Malaysia, Taiwan dan Singapura, Hari Ibu, atau Mother's Day, dirayakan pada hari Minggu pekan ke dua bulan Mei.
Di bawah kekuasaan rezim Orba, pemerintah berusaha menjadikan masalah kaum ibu, sebagai masalah kekeluargaan semata-mata. Orba membatasi ruang lingkup kegiatan ibu-ibu pada masalah rumah-tangga semata-mata. Ini adalah pentrapan kebijakan pembodohan masyarakat.
Dengan jatuhnya Presiden Suharto dan bangkrutnya politik depolitisasi setiap gerakan masyarakat, berhentilah politik pembodohan terhadap kaum wanita dan ibu-ibu Indonesia .
* * *
Dalam arti tertentu kehidupan bangsa-bangsa di dunia, -- internasionalisasi, globalisasi sudah beberapa waktu, menjadi kecenderungan utama perkembangan zaman, perkembangan sejarah bangsa-bangsa. Disadari atau tidak, disukai atau tidak -- Penduduk planit BUMI kita ini, hampir semua terlibat dalam internasionalisasi! Barangkali satu-dua suku etnik atau satu dua bangsa saja yang masih bersusah-payah menutup diri secara hermetis. Demi mempertahankan dan melindungi 'identitas' dan 'kemurniannya'. Demi penolakannya terhadap 'perubahan'. Mereka emoh dan khawatir terhadap pengaruh 'buruk' dari luar. Di Amerika Serikat, yang seperti itu, dikenal a.l sebagai etnik 'the Amish people'. Di negeri kita juga masih ada suku-bangsa mungkin jauh di dataran tinggi pegunungan di Papua Indonesia,yang 'menyendiri' atau 'terisolasi'.
Sejalan dengan kecenderungan umum kehendak saling berhubungan dan saling belajar dari keunggulan masing-masing, demikian pula halnya mengenai cita-cita dan kegiatan kaum ibu untuk perbaikan nasib dan hak-hak mereka seebagai manusia semakih lama semakin menyatu dengan arus perkembangan internasionalisasi. Dengan demikian kegiatan kaum ibu semakin berkembang.
Dalam arti yang lebih besar, nasib kaum ibu, menyatu dan merupakan kelanjutan nasib kaum wanita umumnya. Meskipun dalam kehidupan kongkrit masih dibedakan antara masalah kaum wanita dan masalah kaum ibu.
* * *
Sangkut-pautnya masalah KAUM IBU dan KAUM WANITA, menjadi semakin nyata dan menonjol dalam masyarakat kita sejak berdirinya rezim Orba. Bisa disaksikan betapa tak terpisahkannya nasib kaum wanita dan kaum ibu Indonesia. Akibat opresi dan supresi rezim Orba, Sejak Peristiwa Tragedi Nasional 1965, baik kaum wanita maupun kaum ibu, menderita, tersiksa, termarjinalisasi dan didiskriminasi: Nasib kaum wanita dan kaum ibu, khususnya yang tergabung dalam GERWANI, organisasi wanita yang terbesar di tahun limapuluhan abad lalu. Atas tauduhan palsu dan rekayasa terlibat dalam penyiksaan dan pembunuhan enam orang jendral dan seorang perwira TNI, mereka dipersekusi, disiksa, dibunuh, dipenjarakan. Nasib yang sama juga dialami oleh mereka yang diduga ada hubungan atau bersimpati, bahkan bila ada yang anggota keluarganya anggotga atau simpatisan GERWANI.
Sejak berdirinya rezim di bawah Jendral Suharto, entah berapa ribu kaum ibu yang kehilangan suami, anak atau anggota keluaganya. Entah berapa ribu wanita Gerwani dan yang dituduh Gerwani, yang kehilangan kebebasan bahkan nyawa mereka.
* * *
Sudah sepuluh tahun lebih sejak gerakan Reformasi melanda dan menggulingkan Presiden |Suharto, tetapi nasib kaum ibu dan kaum wanita yang menjadi sasaran dan korban persekusi, opresi, marjinalisasi serta diskriminasi, masih belum mengalami perubahan mendasar. Kaum ibu korban pelanggaran HAM terbesar oleh Orba , masih tetap menderita.
Dikala memperingati dan merayakan HARI IBU INDONESIA, seyogianya masyarakat tidak melupakan penderitaan ribuan kaum ibu akibat persekusi dan penindasan oleh Orba.
* * *
Melengkapi peringatan dan perayaan HARI IBU INDONESIA, 22 Desember 2010, kali ini, dimuat dibawah ini sebuah balada, karya DINI S. SETYOWATI:
PANTULAN DI WAJAH (Sebuah Balada)
Oleh: Dini S.Setyowati
Kenangan menerawang ke belakang...
Di masa aku kecil...sebelah sesosok profil
Membantu didapur sebelum fajar meningsing
Api di tungku meretas kering
Kayu tua dimakan api perlahan
Mataku yang ngantuk kugosok-gosok
Percikan bagaikan puluhan kunang
Terbang.. meninggi...
Campur dengan aroma sarapan pagi
Kupandang wajah tua tak banyak keriput
Menunduk diatas periuk dalam pantulan api
Masih menampak sisa keayuan
Ditiap guratan lipatan umur menyudut
Tersimpan secercah pengalaman...
Tangan yang agak gemetar
Menaruh teko seng tua yang pula
Mulai peyot tapi awet bertahan
Husj... masih penuh bercakan angus!
Salahku, lupa aku bersihkan...
Wis ndang adus kono..!
Ia menghentak lembut
Cah wadon ora oleh rusuh...
Jamune ojo lali nyang mejo
Aduh..! Pahitnya.. kubisik menggrutu
Aku ingat nenek mengomel selalu
Terbaja oleh pahitnya hidup dan jamu
Citra budaya sahaja dari desa jawa
Meskipun masih turunan raja Madura
Ketika pemogokan buruh dipimpin PKI
Pada tahun 1926
Kota Kediri.. terlalu mengancam
Seluruh Jawa dibawah kontrol polisi
Banyak dari mereka yang nemu ajal mati
Ataupun harus lari tertangkap lalu dibuang
Ke tempat bernama BovenDigul terkenal seram
Nenek dan Kakek syukur selamat!
Berhasil lari dari kejaran polisi
Menghindar kontrol di siang hari...
Menulusur rel-rel kereta api
Sembunyi bila ada gerbong lewat
Di tengah semak alang-alang...lebat...
Adik ayahku yang masih bayi sering menangis
Disumbat tetek nenek yang tak banyak susu lagi...
Dan ayahku yang masih balita
Hanya diam tak banyak bertanya
Dipaksa terlalu cepat untuk dewasa
Kadangkala dapat penginapan gratis
Dibalik kandangnya kerbau
Masih ada rasa setiakawan penduduk
Pada mereka
Yang terpaksa “merantau”...
Akhirnya singgahan terakhir di Jetis
Jogyakarta membuka peluang
Untuk seterusnya-karena sudah tak mungkin pulang
Plok...tek...plok...tek..plok!
Suara nyaring deplokan susur
Hmm..nikmatnya mulut itu mengunyah
Jadi kemecer nampak daun sirih begitu seger
Didalam dipendam sejumput 'gambir injit' ramuan
Lalu warna merah merona di senyum sumringah!
Senyuman ompong...
Ciuh! Bidikan tepat kedalam tempolong!
Aku bayangkan ketika itu banyak tanah
Yang harus kembali bersimbah darah
Seluruh Jawa timur dan tengah berada dalam cengkraman
Kontrol polisi kolonial Belanda
Yang takut dimana-mana lahir jiwa merdeka..
Menggalang aksi sisir sampai desa pedalaman
Sering untuk tambahan sehari-hari
Mbah Putri jualan kue apem dan getuk lindri
Dipasar Kranggan didekat Tugu
Atau apapun yang ada bahkan bekicotpun jadi!
Berat tentunya bagi putri priyayi
Tetapi disitulah jiwanya yang lugu
Besinya terbaja...dan semangat menyulut!
Karena gaji seorang klerk (jabatan kakek)
Tak cukup kiranya untuk menyuap enam mulut...
Tak terasa sudah jam lima berlalu
Subuh sudah lama diganti kicauan burung
Dan nenek menyentak: lehmu adus wis rampung?!
Kuwi lho unju'an kopi mbah Kakung..!
Aku bergegas ke kabinetnya kakek
Din..slamat pagi putuku...tangannya menyentuhkan restu
Beliau sudah selesai gagah berdandan
Segar seusai mandi setelah menyapu plataran depan
Badannya kecil namun kekar tak pendek
Lumayan ganteng
Selalu berpici ala Bung Karno
Dengan celana kuno putih setelan
Penuh karisma ketenangan...
Kulirik jam di dinding: 1/2 enam!
Sebentar lagi berangkat sekolah...
Slamat pagi Mbah...aku bergumam...
Ayo boso jawane kepriye?- kakek menguji
Inggih mbah...sugeng ènjang
Lhaaa..ngono sing apik-beliau memuji
Ingat, -kutarik nafasku panjang...
Leluhurmu harus kau hormat
Bahasa apapun harus dirawat
Wong cilik kudu diingat
Weruh endi sing konco lan sapa sing musuh
Dan tak lupa falsafah: asah asih asuh...
Karo sopo-sopo
Nglakoni tuntunane tradisi jowo
Lan selalu menjaga harmoni
Didalam famili...ojo lali !
Jidatku sekali lagi mendapat restu
Kembali kulirik jam dinding
Di ruang tamu.. ..
Sudah mulai dilanda mentari pagi
Aku bergeming di tempat gelisah
Sampun jam tujuh Mbah!
Lupa akan segala wejangan
Aku cepat membantu toto dahar ...
Masih sempat menjemur pakaian
Sejenak...
Terdengar radio siaran pagi
Acara pilihan pendengar
Mendadak... kutangkap pesan:
Untuk mbak Dini yang mbahnya galak
Mendapat kiriman lagu “April Love”...
Aku tak sempat peduli! Ahh!
Menyisir rambutku yang panjang
Nyamber sepeda dan cepat pergi..!
Lha ora sarapan?! Tenan to.. lali!
Terdengar dibelakang
Teriakan Mbah Putri...
Sudah berlalu... beberapa windu
Pusara-pusara hari ini yang tadinya bertabur melati
Kini ketutupan abu dan debu
Merapi telah mengucapkan sabda
Pesan amanah Mbah terdengar menggema
Hatiku tetap merindu meski kurasa basa jawaku
Sudah tak sefasih ketika itu
Suasana langgeng dahulu masih terbayang selalu
Penuh rasa damai dan pasrah di hati
Sujud sungkemku yang dalam Mbah Kakung Mbah Putri...
Amsterdam 28.11.2010***
Tuesday, December 21, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment