IBRAHIM ISA
Peristiwa dan Refleksi <6>
05 Desember 2010
-----------------------------------------------------------------
HARI HAK-HAK AZASI MANUSIA -- UNIVERSAL 10 Desember 1996
Penjelasan:
Seperti bisa dibaca di awal tulisan, artikel ini dibuat pada tanggal 10 Desember
1996. Empatbelas tahun yang lalu. Pas pada hari ultah ke-48 “Universal Declaration of Human Rights UNO” (1948).
Ketika itu, di negeri kita masih berkuasa rezim Orba di bawah Presiden Suharto. Timor Timur masih diduduki oleh ABRI. Perlawanan rakyat Timor Timur membela kemerdekaan bangsa berlangsung terus. Tapi banyak kaum nasionalis, bahkan yang 'salon-sosialis' membela pendudukan Indonesia dan penindasan terhadap kemerdekaan Timor Timur. Bahkan sampai sekarang masih ada yang 'menyayangkan' Timor Timur 'lepas' dari RI.
* * *
Dunia komunikasi belum berkembang melonjak. Belum ada media internet seperti sekarang. Yang memungkinkan komunikasi dan lalu-lintas informasi lewat internet yang murah, yang boleh dikatakan gratis. Sehingga bisa dicapai dan dimanfaatkan oleh banyak orang.
Dibuatlah catatan 'pribadi' mengenai peristiwa-peristwa yang terjadi sejak 1996. Mengapa baru dimulai sejak 1996? Karena ketika itu baru ada syarat, kesempatan dan peralatan padaku untuk membuat catatan demikian itu.
Dibaca kembali catatan-catatan tsb, sesudah hampir 15 tahun berlalu, bagiku sendiri catatan itu adalah sesuatu yang menyegarkan kembali ingatan mengenai peristiwa-peristiwa tsb. Ada relevansisnya mempublikasikan artikel tsb saat ini. Di lain segi, dimakudkan sebagai suatu cara untuk menarik manfaatnya dari catatan seperti itu.
Disajikan kembali untuk pembaca sekadar untuk *BERBAGI CERITA*.
Mudah-mudahan ada manfaatnya.
* * *
HARI HAK-HAK AZASI MANUSIA -- UNIVERSAL 10 Desember 1996
Hari ini di seluruh dunia diperingati Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia oleh PBB dalam tahun 1948. Bagiku hari penting ini kulalui dengan melayani stand Amnesty International di AMC, Amsterdam Medis Center, Amsterdam Zuidoost. Mengumpulkan tandatangan AI, memperingati hari ini dengan menjadikan masalah pelanggaran hak-hak azasi manusia di Nigeria.
Tidak kebetulan. Lebih setahun yang lalu (30-31 Oktober 1995) sembilan orang pemimpin suku Ogoni di Nigeria, diantaranya Ken Saro Wiwa, aktivis hak-hak azasi manusia dan milieu dijatuhi hukuman mati. Pada tanggal 10 November 1995 kesembilan orang Ogoni, Nigeria, dieksekusi oleh penguasa militer Nigeria. Tanpa mempedulikan pendapat umum kalangan luas internasional yang menuntut dibebaskannya kesembilan orang Ogoni itu.
* * *
Hak-Hak Azasi Manusia – Kebebasan Kolektif dan Kebebasan Individu.
Dulu masalah besar ini tidak begitu menjadi perhatianku. Bagiku yang terpenting di dunia ini ialah, hak bagi setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, agar dalam keadaan merdeka dan berlakunya keadilan memperjuangkan kemakmuran. Ini sebabnya timbul dan tumbuh kebencianku terhadap pendudukan militer Jepang yang telah menimbulkan kemelaratan dan kehinaan begitu besar bagi rakyat kita, yang menyebarkan dongeng di sekolah-sekolah, mencekoki generasi muda kita dan media pers bahwa bangsa Jepang adalah keturunan dewa Amaterasu Omikami, yang punya misi mulya untuk memimpin bangsa-bangsa lainnya. Tidak kalah dengan falsafah keunggulan bangsa Jerman Arya dari Adolf Hitler.
Perasaan bahwa setiap rakyat punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri ini juga menyebabkan aku ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan pada tahun-tahun Proklamasi. Tidak relanya bila keadilan diinjak-injak, ini yang selalu menjadi inspirasi bagiku dalam ambil bagian dalam kegiatan masyarakat, sosial maupun politik, nasional maupun internasional.
Tidak begitu kufikirkan bahwa perasaan keadilan bagi kolektif, bagi masyarakat, bagi rakyat ini seyogianya dan seharusnya atas dasar adanya keadilan bagi setiap individu. Demokrasi bagi kolektif; bagi masyarakat, bagi rakyat, bagi suatu bangsa hanya bisa adil dan kokoh bila hal itu didasarkan pada demokrasi untuik stiap individu.
Di sini ada soal: Tidak boleh dua hal ini secara artifisial dipertentangkan. Tetapi memang ada perbedaan dan pertentangan antara individu dan kolektif. Suatu waktu bisa dianggap bahwa kolektif, masyarakat, bangsa, itu lebih penting ketimbang individu. Terutama dalam situasi tegang dan kritis, seperti dalam keadaan perang. Jalan fikiran ini bisa diterima. Tetapi, last but not least, yang fundamentil di sini, ialah, bahwa kedua hal itu, individu dan kolektif merupakan suatu kesatuan dari kehidupan masyarakat manusia. Ia harus diurus secara harmonis dan juga secara adil. Tidak diperbolehkan adanya ketidak-jujuran, ketidak-adilan. Tidak diperkenankan adanya penyalahgunaan, betapapun kecilnya. Di sini pula perlunya ada kontrole, suatu prinsip yang 'conditio sine qua non'. Demi terjaminnya hak-hak azasi manusia, hak-hak demokratis, hak untuk mendapat perlakuan adil, harus diciptakan syarat dimana kontrole itu ada dan suatu kontrole yang bebas dari penguasa. Bebas dari kepentingan kelompok atau individu.
Jika tidak demikian, maka atas nama keadilan dan demokrasi, diberlakukan suatu sistim kekuasaan yang sangat tidak adil dan kejam. Bisa diberlakukan suatu sistim diktatur, otokrasi ataupun feodalisme berjubah Pancasila. Sesungguhnya itu bukan suatu kemungkinan, tetapi suatu yang sudah dan sedang terjadi.
HAM dan Campur-tangan luar menurut Menlu Ali Alatas:
Apakah hak-hak azasi manusia di Barat dan di Timur itu berbeda? Menurut Ali Alatas, Menlu Indonesia, ya, ada perbedaan. Terutama dalam interpretasinya, katanya.
Belum lama Ali Alats, dulu dikenal dengan nama Alex Alatas, dianugerahi gelar doktor honoris causa oleh Universitas Diponegoro, Semarang. Itu sehubungan dengan pengabdian dan jasanya di bidang politik luar negeri Indonesia. Ketika menerima gelar kehormatan itu, Ali Alatas mengulangi lagi kejengkelan Orba tentang 'campur tangan luar-negeri', terutama Barat, terhadap masalah dalam negeri Indonesia.
Yang dimaksudkannya dengan 'campur tangan luarnegeri', ialah, kritik-kritik dari Barat mengenai pelanggaran hak-hak azasi manusia oleh pemerintah Indonesia. Ali Alatas kukenal sebagai orang Indonesia keturunan Arab yang mendapat didikan Barat dan universitair. Apakah itu pendapat dan keyakinannya sendiri bahwa pengertian hak-hak azasi manusia di Indonesia berbeda dengan di Barat? Ataukah ia berkata begitu, sebagai pejabat negeri yang berpolitik, berpandangan seperti itu. Kalau ia berbuat begitu karena 'apa boleh buat', maka sikapnya itu adalah sekadar mematuhi politik pemerintah. Jadi Alatas harus mematuhi politik dan falsafah yang resmi. Masih lumayanlah. Meskipun cukup serius sikap 'yes man' seperti itu.
Coba renungkan. Bukankah kritik-kritik terhadap Orba, khususnya mengenai masalah pelanggaran hak-hak manusia, ketiadaan demokrasi di Indonesia, kritik-kritik itu terutama datangnya dari Indonesia sendiri. Orang masih belum lupa, bahwa tahun ini, tiga majalah Indonesia, diantaranya mingguan 'Tempo', ditutup. Izin terbitnya dicabut. Karena melakukan kritik terhdap kebijakan ekonomi-keuangan pemrintah. Aku kira penerbitan yang dilarang itu dikelola dan ditulis oleh orang-orang Indonesia asli, yang dididik di Indonesia.
Dengan dalih 'membahayakan ketertiban dan stabilitas nasional', dll, yang semua fasal-fasal uu itu diambil dari KUHP, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terjemahan dari buku yang ditulis oleh penguasa Hindia Belanda kolonial, untuk mengekang dan mematikan kritik terhadap pemerintah kolonial waktu itu.
Orang jadi senyum mencibir. Di satu fihak, fikiran tentang demokrasi dan falsafah 'rule of law' negara hukum, ditentang dengan dalih, bahwa ide itu datang dari Barat yang tidak cocok dengan kultur dan keadaan Indonesia. Di lain fihak undang-undang dan hukum dari zaman kolonial Belanda dianggap cocok karena ia diperlukan untuk menindas dan membelenggu fikiran bebas manusia Indonesia.
Contoh lain: Pramudya Ananta Tur, seorang novelis Indonesia yang paling besar masa kini dan paling terkenal, pernah mendapat hadiah Magsaysay. Suatu penghargaan tinggi dari Asia terhadap kreativitas dan ketekunan serta pengabdiannya terhadap kehidupan sastra dan kebudayaan Indonesia. Sampai sekarang buku-bukunya dilarang oleh pemerintah Indonesia. Orang harus pergi ke Malaysia atau ke Asutralia untuk bisa membeli buku Pramudya. Pram masih kena larangan ke luar negeri. Pram adalah orang Indonesia asli. Kritik-kritiknya terhadap pemerintah Indonesia bukan main. Kritik-kritik dari luarnegeri mengenai pelanggaran hak-hak azasi manusia di Indonesia, tidak sebanyak kritik-kritik dari dalam negeri sendiri.
Jadi, apanya yang tidak cocok dengan kultur Indonesia? Orang hanya bisa menarik kesimpulan, bahwa pemerintah Indonesia bertindak sewenang-wenang terhadap warganegaranya sendiri.
Saling Hubungan Agresi RI thdp Timor Timur dan Campur-tangan Luar
Orang luar harus tutup mulut. Setiap kritik dianggap campur tangan. Bagaimana sikap pemerintah Indonesia ini dibandingkan dengan invasi tentara Indonesia ke Timor Timur? Yang adalah wilayah negeri lain yang baru mencapai kemerdekaannya.
Tanpa mengedipkan matanya Presiden Suharto memerintahkan ABRI menyerbu dan menduduki Timor Timur. Campur tangan dan agresi terang-terangan ini diberi jubah, 'atas permintaan' fihak Timor Timur sendiri. Ya, kalau atas permintaan Timor Timur sendiri, mengapa sejak 1975 perlawanan dari Timor Timur terhadap pendudukan Indonesia masihs terus saja? Perlawanan tsb baru-baru ini mendapat sokongan internasional dengan pemberian Hadiah Nobel kepada dua orang terkemuka dari Timor Timur, Uskup Belo dan Ramos Horta, salah seorang pemimpin perlawanan Timor Timur, yang kini mewakili grakannya di luarnegeri.
Lagi-lagi Orba menganggap Hadiah Nobel itu sebagai campur tangan asing.
* * *
Sunday, December 5, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment