Tuesday, January 25, 2011

Menyimak Karya Studi Agraria Moh. Sohibudin dan Ahmad Nashih Lutfhi

“SOSIALISME ALA NGANDAGAN” –
door Ibrahim Isa op dinsdag 25 januari 2011 om 19:02

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Selasa, 25 Januari 2011

------------------------------------------



SOSIALISME ALA NGANDAGAN” –

PEMBERDAYAAN SOSIALISME di INDONESIA?





Sering diajukan pertanyaan: Apakah Indonesia dewasa ini sudah menjadi negeri dengan sistim ekonomi kapitalis? Ataukah, --- masih merupakan negeri yang sistim ekonominya terutama adalah sistim ekonomi feodal. Pernah pula dinyatakan, sistim ekonomi/politik Indonesia dewasa ini, terutama, sesudah diadakannya persetujuan KMB – Konferensi Meja Bundar, 1949, – antara Indonesia dengan Kerajaan Belanda, Indonesia sudah menjadi negeri setengah jajahan dan setengah feodal. Soal ini belum tuntas ditelaah dan didiskusikan.



Apalagi sesudah berkuasanya rezim Orba, dengan dilaksanakannya kebijakan politik ekonomi menurut garis IMF dan World Bank untuk negeri-negeri 'yang sedang berkembang'. Akibatnya Indonesia terutama menjadi lahan penanaman modal asing, dengan tenaga kerja murah dan pasaran untuk pelemparan hasil-hasil negeri-negeri luar Indonesia. Sedangkan sumber-sumber kekayaan bumi dan air Indonesia berada di bawah kontrole dan dominasi modal asing.



Sekitar masalah tanah, di Indonesia masih b e l u m j e l a s duduk perkaranya, kalau bicara mengenai landreform.



* * *



Sebagai gambaran mengenai 'masalah tanah' pun di mancanegra telah terjadi perkembangan dan perubahan yang menunjukkan merasuknya modal besar ke bidang eksploitasi tanah dan tenaga kerja murah. Bukan eksploitasi tanah (dan tenaga kerja) di negeri sendiri tetapi di negeri-negeri lain. Di negeri-negeri miskin.



Perhatikan informasi ini:

Judul:



LUARNEGERI MENCARI DALAM NEGERI.



Secara internasional negeri-negeri kaya membeli tanah di negeri-negeri miskin, untuk mengamankan suply bahan makanan negerinya sendiri. Juga kaum spekulan melirik tanah-tanah pertanian kosong; (karena) itu (diangggap) lebih baik ketimbang emas. Geopolitik dari keamanan bahan makanan.



Ethiopia, salah satu negeri yang banyak tertimpa bencana kelaparan, di tahun-tahun mendatang akan melihat lebih banyak bahan makanan yang dihasilkan di negerinya. Ratusan juta hektar tanah telah dibeli untuk dijadikan perusahaan pertanian luas yang modern.

Tetapi dari janji hasil gandum, beras dan soya yang diperoleh dari situ, orang-orang Etiopia tidak akan ikut memaknnya. Semua hasil bumi akan langsung dikapalkan ke India dan Saudi Arabia, pemilik-pemilik baru tanah-tanah luas di Ethiopia.



Ini bukan kejadian yang berdiri sendiri. Kuweit telah membeli tanah di Kamboja, Tiongkok dan Congo. Arab Emirat membeli tanah di Pakistan, Korea Selatan, dan di Tanzania. Dan begitu seterusnya. Pembelian tanah tsb begitu besar dan terjadi dalam waktu singkat dan cepat. Sehingga sementara NGO menyatakan bahwa telah terjadi 'perebutan tanah besar-besaran'. Atau dikatakan 'perebutan baru tanah di Afrika dan Asia'. Suatu penaklukkan neo-kolonialisme oleh modal asing terhadap Dunia Ketiga.



Menurut World Bank tanah-tanah yang dibeli fihak asing itu meliputi 40 juta hektar tanah pertanian – luasnya 10 kali luas negeri Belanda atau lebih besar dari luasnya negeri Jerman. Demikian ulasan sebuah mingguan nasional Belanda 'De Groene Amsterdammer'.



Dari uraian diatas bisa kita saksikan, masalah tanah bukan saja merupakan masalah di Indonesia, tetapi juga merupakan masalah dunia. Modal-modal besar sudah menjadi TUAN TANAH BARU, di negeri-negeri berkembang.



Dengan demikian masalah LANDREFORM, PERUBAHAN TANAH, juga merupakan agenda mendesak di dunia internasional. Karena, jalas hubungannya dengan perkembangan baru, eksploitasi dan pemerasan terhadap negeri-negeri miskin oleh negeri-negeri kaya, semakin mengakarnya sistim NEO-KOLONIALISME.







* * *



Menyangkut masalah tanah di Indonesia, di bawah pemerintahan pra-Orba telah dilakukan perjuangan dan pelbagai usaha untuk PERUBAHAN TANAH, untuk suatu LANDREFORM. Kegiatan dan perjuangan untuk perubahan tanah di Indonesia, di masa pra-Orba, mungkin dilakukan, karena adanya hak-hak demokratis bagi kaum tani dan organisasi-organisasi tani serta parpol-parpol progresif. Semasa rezim Orba kebebasan demokratis itu sudah tak ada samasekali. Sehingga kegiatan dan perjuangan untuk perubahan tanah, terhenti bahkan mengalami kemunduran.



* * *



Sehubungan dengan masalah tanah dan 'landreform' di Indonesia, Moh. Shohibuddin bersama Ahmad Nashih LUTFHI, dari Lingkar Belajar Reformasi Agraria , belum lama menulis sebuah brosur penting dan menarik. Berjudul:



"SOSIALISME A LA NGANDAGAN": Revisit Inisiatif Land Reform di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964. Desember 2010 -- Launching:pertengahan Februari 2011. Penerbit: STPN dan Sajogyo Institute.



Beruntung aku dapat membaca tulisan Gunawan Wiradi,

mengantar buku Moh. Sohibudin dan Lutfhi. Suatu penjelasan yang Bagus! Inofatif, inspiratif dan amat menggugah bagi yang peduli PERUBAHAN TANAH DI INDONESIA.
Dimasuki pula masalah “SOSIALISME INDONESIA”.




Silakan baca di bawah ini tulisan Gunawan Wiradi sekitar buku "SOSIALISME A LA NGANDAGAN": Revisit Inisiatif Land Reform di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964. Desember 2010 --



* * *



GUNAWAN WIRADI:

Mengenai buku baru:



"SOSIALISME A LA NGANDAGAN": Revisit Inisiatif Land Reform di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964. Desember 2010 --







Buku ini merupakan hasil studi “revisit” atas kasus inisiatif land reform lokal di desa Ngandagan, sebuah desa di Jawa Tengah, yang terjadi pada tahun 1947-1964. Penulis mendiskusikan profil land reform inisiatif lokal tersebut dan mencoba mendalami proses diferensiasi agraria yang terjadi sebagai konteks krisis agraria yang berlangsung. Pelaksanaan land reform di Ngandagan membawa dampak secara sosial-ekonomi yang cukup signifikan terhadap struktur sosio-agraria setempat, serta konfigurasi politik dan keagamaan.



Pelaksanaan land reform inisiatif lokal yang terjadi di Ngandagan dijalankan dengan cara melakukan perubahan sistem kepemilikan, peruntukan, dan pemanfaatan tanah serta perubahan relasi ketenagakerjaan. Kebijakan land reform itu mengharuskan semua pemilik tanah kulian menyisihkan 90 ubin dari setiap unit tanah kulian yang dikuasainya. Hasil penyisihan ini kemudian dialokasikan untuk sawah buruhan yang dikelola langsung oleh desa untuk diatur pembagiannya di antara warga desa yang tidak memiliki tanah. Ukuran standar baru unit sawah buruhan ditetapkan seluas 45 ubin, yakni separoh dari ukuran sebelumnya yang 90 ubin, sehingga jumlah penerima potensial dari kebijakan redistribusi tanah bisa diperluas. Inilah ukuran batas minimum versi lokal Ngandagan. Pelaksanaan itu juga dipadukan dengan kebijakan perluasan tanah pertanian (ekstensifikasi) dengan memanfaatkan lahan kering berstatus abseente seluas 11 hektar yang ada di ujung desa. Dihasilkan pula sistem baru berupa skema pembayaran hutang hari kerja di lahan kering yang bermakna sebagai pertukaran tenaga kerja.



Kebijakan desa Ngandagan itu secara sadar diarahkan untuk meruntuhkan basis feodalisme agraris di desa, yakni pola hubungan patronase yang dibangun oleh petani kuli baku dengan buruh kuli-nya. Redistribusi tanah dilakukan tidak seperti pada masa tanam paksa, yakni dalam rangka penyediaan tanah dan mobilisasi tenaga untuk produksi tanaman ekspor, namun sebaliknya secara sadar diarahkan untuk mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah. Hal demikian tidak dapat berlangsung tanpa kepemimpinan kuat seorang lurah bernama Soemotirto yang dinilai legendaris.

Selain land reform, juga ditekankan kembali norma hukum adat yang melarang pelepasan tanah, baik melalui penjualan, penyewaan maupun penggadaiannya kepada orang lain. Semua bentuk transaksi tanah ini dilarang keras baik terhadap penerima sawah buruhan yang memang hanya memiliki hak garap maupun terhadap petani kuli baku sendiri selaku pemilik tanah. Kebijakan ini mampu mencegah kehilangan tanahnya secuil demi secuil (peacemeal dispossession), suatu kondisi yang pernah dialami warga Ngandagan sebelum pelaksanaan land reform. Inovasi baru dalam hubungan produksi diciptakan dalam suatu mekanisme tukar menukar tenaga kerja di antara warga dalam mengerjakan berbagai tahap produksi pertanian. Mekanisme ini disebut sebagai grojogan. Dengan sistem ini semua warga tanpa terkecuali, termasuk pamong desa, akan bekerja di lahan pertanian milik tetangganya. Kultur feodalisme di pedesaan yang barbasis pada penguasaan tanah diruntuhkan melalui mekanisme semacam ini.



Kebijakan agraria desa Ngandagan bukannya tanpa halangan. Ketika Soemotirto melakukan kebijakan konsolidasi tanah pada tahun 1963, yakni melakukan penataan permukiman warganya, maka muncul pertentangan. Ia diperkarakan ke pengadilan kabupaten dengan tuduhan pengambilan tanah tanpa seizin pemiliknya. Posisinya lemah, sebab berbeda dengan penataan terhadap tanah sawah dan lahan kering, terhadap penataan tanah pekarangan dan rumah ini ia tidak memiliki legitimasi kultural dan pembenar dari hukum adat.



Relasi asosiatif politik warga Ngandagan pada Partai Komunis Indonesia dalam pemilu 1955, sebenarnya lebih didahului karena keberhasilan pelaksanaan land reform 1947 dan orientasi pemimpinnya, yakni lurah Soemotrito, daripada sebaliknya. Ngandagan sampai dengan awal tahun 1960-an, dikenal sebagai “desa RRT di kandang banteng”, artinya PKI di tengah-tengah pengikut PNI. Akan tetapi dengan adanya proses peradilan itu, maka konflik politik di Ngandagan yang semula hanya menyangkut soal dukungan atau penolakan atas redistribusi tanah pekulen dan melibatkan antar elit di lingkup desa, kemudian berkembang menjadi bagian dari kontestasi ideologi di daerah (kabupaten) yang melibatkan unsur politik kepartaian yang bahkan berakibat pada konversi agama.



Meskipun diperkarakannya Soemotrito berakibat pada berakhirnya kekuasaan dia sebagai lurah, sebuah politik perlawanan masih ia lakukan sebelum lengser. Ia memerintahkan warganya yang menjadi pengikut PKI untuk pindah ke partai lain. Sebagian besar warga mengikuti ke mana arah angin berhembus dan lantas memutuskan memilih PNI. Namun Soemotirto sendiri, bersama para pengikutnya, menyatakan sikap anti-PNI mereka dengan memilih Partai Katolik, meskipun dengan risiko menjadi kelompok minoritas agama. Konversi agama ini terjadi sekitar setahun sebelum peristiwa “G 30 S”, dan hal demikian berbeda dengan kondisi di tempat lain yang prosesnya justru terjadi setelah meletusnya peristiwa tersebut.



Berbagai perombakan sistem tenurial dan ketenagakerjaan itulah yang memberi gambaran sosialisme ala Ngandagan”, suatu “tafsir-dalam-praktik” mengenai cita-cita keadilan sosial di bidang agraria. Inovasi “sosialisme” berbasis adat itu terpangkas prosesnya pada tahun 1963 di level lokal, disusul dengan peristiwa 1965 di level nasional yang menghempaskan Ngandagan dan desa-desa lain secara umum di Indonesia, menuju ke arah yang berbeda.

Kebijakan sosialisme ala Ngandagan adalah hasil dari kombinasi antara revitalisasi dan reinterpretasi hukum adat dalam rangka mewujudkan sistem penguasaan tanah dan hubungan agraria yang lebih adil. Sejarah desa Ngandagan menunjukkan bahwa land reform dilaksanakan dalam kerangka hukum adat serta adanya tafsir dan praktik land reform yang lebih sesuai dengan tuntutan dan kondisi lokal yang berhasil diwujudkan oleh masyarakat desa sendiri. Jika saja inisiatif progresif semacam itu mendapatkan apresiasi dan dukungan politik semestinya, dan bukan justru diseragamkan, maka betapa banyak alur gelombang emansipasi dari bawah yang dapat diharapkan akan berkembang secara “alamiah”, dan yang pada gilirannya akan turut memperkaya proses formasi sosial dan perkembangan politik bangsa Indonesia secara keseluruhan. [ ]



Sebagai hasil dari suatu “studi ulang” atas sebuah desa yang 63 tahun lalu telah melakukan land reform lokal, buku ini bukan saja memaknai peristiwa itu dalam konteks kekinian dan mewacanakan berbagai perubahan sosial ekonomi dan politik seiring dengan proses perubahan zaman selama sekian tahun itu, tetapi bahkan sekaligus juga mencerminkan usaha kedua penulisnya untuk “berimajinasi sosiologis” dengan merakitkan gejaka lokal tersebut dengan konsep gagasan besar “Sosialisme Indonesia”. Karenanya, buku ini perlu dibaca para generasi muda, peminat sejarah, pengkaji masalah adat, pemerhati, aktifis dan pengambil kebijakan penanganan masalah kemiskinan dan reforma agraria, dan para peminat ilmu sosial secara umum. (Gunawan Wiradi, 2011)



* * *

No comments: