Kemis, 03 Maret 2011
-----------------------------
MENYONGSONG “HARI WANITA INTERNASIONAL – 8 MARET”, Dan GERWANI
Ini adalah Bagian Ketiga dari tulisan Menyongsong “Hari Wanita Internasional 8 Maret, Dan Gerwani”. Mengapa Gerwani? Sejarah Indonesia mencatat pengorganisasian kaum wanita begitu besar dan tersebar di seluruh Indonesia, yang diakukan oleh organisasi GERWANI, organisator terbesar kaum wanita Indonesia. Justru organisasi wanita Indonesia yang memperjuangkan hak-hak serta perbaikan nasib kaum wanita Indonesia, mengalami penindasan dan penghancuran begitu kejam dan biadab. Itu terjadi dalam periode berkuasanya rezim militer Jendral Suharto. Fakta-fakta sejarah menyangkut pelanggaran HAM yang berlangsung di bawah rezim Orba, khususnya pengejaran terhadap anggota-anggota organisasi wanita terbesar di Indonesia Gerwani, dan perekusi kejam terhadap anggota-anggota Gerwani, harus diungkap dan diketahui oleh bangsa kita, khususnya para penggiat yang berjuang untuk hak-hak wanita dewasa ini.
Mengapa Gerwani? Karena sejarah gerakan wanita Indonesia terbesar Gerwani, telah begitu direkayasa dan dipalsukan sehingga pada zaman Orba, nama Gerwani itu telah difitnah, dituduh melakukan perbuatan paling hina, cabul dan kotor, yang katanya dilakukan oleh wanita-wanita anggota Gerwani. Yaitu, melakukan 'orgi'. Lewat suatu tarian seksual cabul melakukan siksaan terhadap para jendral dalam peristiwa pembunuhan di Lubang Buaya.
Mengapa Gerwani? Karena nama Gerwani telah difitnah secara sangat rendah dari awal sampai akhir penuh KEBOHONGAN BESAR, sebagai prolog pembantaian masal terhadap PKI, yang dianggap atau dituduh PKI, orang-orang Kiri dan orang-orang pendukung Presiden Sukarno.
Dalam rangka memperingati HARI WANITA INTERNASIONAL 8 MARET, maka kali ini, perhatian difokuskan pada GERWANI.
Masyarakat sejarah Indonesia beruntung dengan adanya hasil riset dan studi pakar Belanda, Saskia Eleonora Wieringa. Dalam tahun 1995 ia menulis bukunya, berjudul: The Politization of Gender Relation in Indonesia – The Indonesian Women's
Movement and GERWANI Until the New Order State. Edisi Indonesia terbit dengan judul Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia.
* * *
Menjelang Hari Wanita Internasional 8 Maret 2011, penting arti pernyataan (Antara, 03 Maret 2011) Ketua KOMNASHAM PEREMPUAN, Yuniyanti Chuzaifah. Ia antara lain mendesak Presiden SBY untuk membatalkan keputusan Perda yang melarang kegiatan Ahmadiyah. Karena larangan itu bersifat diskriminatif. Yuniyanti Chuzaifah menegaskan: "Komnas Perempuan berpendapat bahwa presiden perlu segera membatalkan seluruh kebijakan daerah yang diskriminatif atas nama agama yang jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Hingga akhir Februari 2011, telah terbit 192 kebijakan diskriminatif atas nama agama yang menyuburkan sikap intoleransi dalam masyarakat,"
Yuniyanti bersama tujuh pengurus Komnas Perempuan menemui presiden dan menyampaikan empat isu krusial terkait pelanggaran atas hak-hak konstitusional perempuan serta langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh Kepala Negara.
Empat isu krusial itu adalah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan atas nama agama dan moralitas, penanganan parsial kekerasan terhadap perempuan dalam situasi konflik dan pelanggaran HAM masa lalu, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks migrasi, dan penguatan lembaga penegakkan hak asasi manusia perempuan.
"Keempat isu krusial ini membutuhkan penyikapan segera dari presiden selaku kepala negara”.
* * *
Berikut ini adalah bagian-3, yang merupakan lanjutan dari Bg-2, kutipan dari PENDAHULUAN buku Prof Dr Saskia Wirienga, edisi Indonesia berjudul: “Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia”.
“ Fokus karangan ini terletak di Jawa. Antara lain karena Jawa merupakan pulau di Indonesia yang berpenduduk paling padat, tetapi lebih dari itu karena Jawa merupakan pusat kegiatan politik untuk negeri ini. Dengan giat Sukarno menggalakkan Jawanisasi terhadap budaya politik Indonesia, suatu langkah politik yang diikuti PKI. Kebijakan ini tetap dilanjutkan di bawah rezim S|uharto.
|”Butir utama argumen saya berkisar di seputar periode antara 1950-1965; yaitu periode Orde Lama, dan meluas sampai 1967, yaitu ketika Sukarno memberi kekuasaan de facto atas Indonesia kepada Suharto. Oleh karena perkembangan-perkembangan yang terjadi selama Orde Lama diantar oleh kebangkitan nasional masyarakat Indonesia, yang berlangsung selama dasawarsa-dasawarsa terakhir kekuasaan kolonial dan masa pendudukan Jepang, maka periode ini pun tidak saya luputkan dari perhatian.
“Struktur karangan ini sebagai berikut. Proses penelitian diuraikan dalam bab pertama. Bab berikut menjelaskan tentang kerangka teoretis, yang saya bangun di atas konsep gender sebagai alat analisis untuk memahami gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi kaum perempuan, serta manipulasi politik memperhinakan perempuan. |Bab-bab mengenai sejarah yang menyusul masing-masing membahas sejarah organisasi-organisasi kaum perempuan Indonesia sampai saat kemerdekaan, perkembangan politik pemerintahan Orde Lama dan gerakan perempuan dalam periode ini.
“Tiga bab pertama tentang Gerwani membahas sejarah organisasi ini secara umum, dan beberapa masalah keorganisasiannya. Dua bab berikutnya masing-masing menitik-beratkan pada politik dan ideologi Gerwani. Masalah pokok yang diajukan dalam dua bab ini yaitu, apakah alasan pembenaran untuk tuduhan yang dilemparkan kepada Gerwani, sesudah 1 Oktober 1965 itu, dapat ditemukan dalam ideologi dan praktek organisasi. Kesimpulan saya ialah, jika ditinjau dari sudut seksualitas, Gerwani dapat dikatakan suatu organisasi yang agak konservatif. Bab terakhir membahas “kup pertama”, 1 Oktober, dan mengemukakan cerita dari hari ke hari bagaimana tahap pertama dari kup kedua yang secara diam-diam, dan bagaimana kampanye menentang Gerwani dan PKI disusun.
“Untuk mengantar tema-tema tsb diatas, dan memberi contoh tentang dedikasi dan aspirasi anggota-anggota Gerwani, Kata Pengantar ini ditutup dengan sebuah wawancara dengan seorang kader Jawa. Hampir dua puluh tahun sesudah “kejadian” 1965 masih juga sangat berbahaya bagi bekas anggota Gerwani untuk ditemui orang asing. Tetapi wawancara ini dapat dilakukan dengan mudah, karena saya mendapat sakit pinggang yang luar biasa dan dirawat oleh Ibu Marto, sebutlah ia begitu, seorang tukang pijit dan tusuk jarum yang terkenal. Kepandaian memijat dan tusuk jarum ini mulai dipelajarinya ketika di dalam penjara.
“Kami berjanji bertemu di rumah seorang kenalan kami. Biasanya saya dipijit sepanjang pagi. Dalam kesempatan itulah, sambil memijit dan mengurut punggung saya, ia menceritertakan kisahnya yang sepotong-sepotong. Stiap kali ia menyentuh bagian tubuh saya yang terasa sakit, kami berhenti bercakap-cakap. Pada saat-saat kami samasekali saling membisu, kesunyian itu menjadi penuh diliputi bayang-bayang kisahnya yang menyihiri isi seluruh bilik kecil kami. Dan saya biarkan jari-jemarinya yang kuat dan berpengalaman itu merajalela bermian-main di sekuujur tubuh, dari ujung rambut sampai ujung jari-jari kaki. Andaikta seorang di luar lewat, atau masuk rumah, yang terdengar dan terlihat olehnya hanyalah suara percakapan seorang tukang pijit dan pasiennya, yang bicara tentang pinggang yang nyeri.
“Keluarga saya tidak berlatar belakang kiri. Saya sajalah satu-satunya di dalam keluarga kami yang masuk dalam organisasi progresif. Saudara misan saya anggota PKI. Dan ketika saya berumur 17 tahun, dialah yang mendorong agar saya masuk Pemuda Rakyawt.
“Saya sangat senang di Pemuda Rakyat. Kami melakukan segala macam kegiatan bersama-sama. Terkadang menari, menyanyi dan juga bermain drama, dengan cerita-cerita yang berisi politik. Juga diberikan kursus soal-soal kerumah-tanggaan seperti masak-masak dan menjahit. Tentu saja setiap saat kami selalu berdiskusi soal-soal politik.
“Beberapa tahun sesudah itu saya masuk Gerwani tingkat ranting. Pimpinan menaruh perhatian pada saya, karena saya selalu mendengarkan dengan baik, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan membantu mengurusi kegiatan. Saya mengikuti kursus kader dan mulai giat di tingkat cabang. Saya sangat bersemangat dan bekerja keras, sehingga karenanya dipilih untuk tingkat daerah, dan akhirnya sampai tingkatr pusat.
“Seluruhnya sudah tiga kali saya mengikuti kursus. Yang paling lama di Jakarta. Di sini kami digembleng selama satu bulan, bekerja di berbagai daerah ke mana kelak kami masing-masing akan dikirim. Mata pelajaran termasuk pendidikan politik, mempelajari teks-teks pidato Bung Karno dan Bung Aidit, diskusi tentang soal-soal keorganisasian dan kerumahtanggaan. Juga kami mendapat pendidikan latihan kepemimpinan. Sore hari kami belajar teks-teks karya Marx, Lenin, Stalin, Engels, dan tentu saja beberapa bagian dalam Sarinah, buku karangan Bung Karno itu. Pimpinan pusat menggunakan semua teks itu sebagai bahan bacaan.
“Biasanya juga kami mendiskusikan sejarah organisasi. Saya menjadi anggota organisasi dalam pertengahan 1950-an, ketika namanya sudah berubah menjadi Gerwani. Gerwis, begitu dulu biasanya disebut, kamu tahu, sedikit sektaris. Sedikit sekali perempuan dari lapisan bawah yang menjadi anggota. Organisasi ini dianggap terlalu merah, terlalu PKI, terlalu ekstrem. Sebenanrya kami rasa penilaian itu tidak benar. Orang yang pernah mengenal Gerwis disaat-saat awal, jauh lebih menyukai daripada ketika Gerwis telajh berkembang menjadi besar. Tetapi begitu itulah orang menilai. Maka dalam kongres dalam tahun 1954 jadilah kami Gerwani. Dengan sikap yang lebih luwes, khususnya dalam soal-soal keperempuanan berkurang, sementara itu soal-soal ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan mendapat perhatian lebih besar.
“Yang sangat saya senangi dari semua kegiatan selama tahun-tahun itu, ialah usaha kami untuk menjalin hubungan dengan perempuan tani. Jika saya pergi ke suatu desa dan di sana bertemu dengan seorang perempuan, yang mungkin kenalan atau saudara salah seorang kenalan saya entah dimana, lalu memperkenalkan diri sebagai anggota Gerwani, kamu tahu apa yang terjadi? Biasanya mereka tidak kenal, apa itu Gerwani. Lalu saya perlu jelaskan kepadanya, soal-soal apa yang kita perjuangkan. Umumnya mereka tertarik pada organisasi kami karena pendirian kami terhadap poligami. Soal kedua yang menarik perhaian perempuan tani ialah soal upah rendah. Umumnya mereka menyetujui gagasan kemerdekaan perempuan, karena kejengkelan karena upah mereka lebih rendah dari upah laki-laki. Jika seorang telah masuk menjadi anggota, kepadanya diminta agar menarik seorang teman lagi, begitu seterusnya, sehingga terbentuklah sebuah kelompook kecil. Kelompok-kelompok inilah basis organisasi kami. Melalui rapat-rapat kelompok, mereka akan mulai mengerti tentang hak-hak mereka dan tentang sistem feodal. Karena sistem feodal inilah yang menjadi sebab-musabab penderitaan kaum perempaun Indonesia.
“Tentang soal-soal seperti itu kami akan membacanya dalam koran Harian Rakyat dan berkala Berita Gerwani, lalu kami akan membahas bersama-sama karangan-karangan yang kami kehendaki. Kami hampir tidak pernah membaca Api Kartini, yang tidak berpihak, bebas, dan tidak jelas warnanya, Majalah ini tidak menarik untuk perempuan di desa-desa, atau perempuan-perempuan kampung di kota.
“Kami bangga pada organisasi kami. Karena Gerwani telah berjuang untuk perbaikan nasib perempuan, menentang kenaikan harga, dan memperjuangkan kenaikan upah. Sungguh menyenangkan bisa berdiri di barisan depan, dan melihat bahwa sesungguhnya kami bisa berbuat sesuatu.
* * *
No comments:
Post a Comment