Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 28 Maret 2011
-------------------------------------
Sebuah Obituari:
SASTRAWAN RATNA INDRASWARI IBRAHIM
* * *
Terus terang, baru sekarang inilah aku mendengar nama seorang sastrawan bernama RATNA INDRASWARI IBRAHIM (61). Ia berkarya duduk di kursi-rodanya. Ia tidak mampu menulis maupun mengetik karena kedua tangan dan kakinya lumpuh (akibat rachitis).
Dengan rendah hati ia menamakan karya-karya sastranya (kurang lebih 400 naskah), termasuk belasan cerpen-cerpen dan novel-novelnya, -- sebagai “SASTRA LISAN”. Indonesia baru sekali ini melahirkan seorang sastrawan luar biasa seperti Ratna Indraswari. Ya sastrawan, ya aktivis sosial.
Betapa tidak mengagumkan! Seorang yang cacad sejak berumur 10 tahun, sepanjang hidupnya, sampai ia meninggal kemarin, 27 Maret 2011, samasekali tidak merintanginya untuk berprofesi sebagi sastrawan aktif dan produktif. Ini dilakukannya berkat bantuan seorang sahabat, Slamet, dan seorang pembantu lainnya. Ratna telah memberikan sumbangan penting pada khazanah sastra Indonesia. Siapapun akan mengagumi keterlibatan dan dedikasinya pada profesi sastra dan perjuangan sosial lainnya.a
Dengan mengambil sebagai teladan, seorang feminis Inggris, Virgina Woolf, seorang aktris, sastrawan dan aktivis, --- bisa disimpulkan bahwa Ratna Indraswati adalah seorang seniman yang memperjuangkan hak-sama-sedrajat wanita dan laki-laki. Pernah diberitakan bahwa sebagian besar pengagum Ratna yang bersemangat feminis itu, adalah dari kaum laki-laki.
" . . . . secara umum yang ingin saya lakukan adalah menulis dengan sangat tekun, sehingga bisa seperti Virginia Woolf," kata Ratna Indraswari.
* * *
Ratna juga amat peduli masalah-masalah kongkrit sosial, speperti a.l masalah pencederaan lingkungan. Rumahnya sering menjadi tempat kegiatan organisasi-organisasi masyarakat yang terlibat dengan masalah-masalah di masyarakat. Rumahnya terbuka bagi siapa saya yang datang mempesoalkan masalah kebudayaan dan msalah sosial lainnya, khususnya kasus lingkungan.
Salah satu karyanya, novel “LEMBAH TANJUNG” (2003), bisa dikatakan sebagai protes keras terhadap pengrusakan wilayah hutan kotanya di Kota Malang, yang terjadi demi suatu proyek pembangunan perumahan mewah.
Tigabelas tahun lamanya, Indraswari mengetuai sebuah NGO untuk orang-orang cacad. Kemudian Ratna mendirikan NGO peduli masalah-masalah lingkungan. Ia juga berkerja untuk Yayasan Kebudayaan Payung (1998), sebuah lembaga kebudayaan untuk menggalakkan dan memelihara sejarah dan seni daerah. Ratna juga hadir di Konferensi Wanita Internasional (1997). di Beijing, Tiongkok. Dalam konferensi tsb Ratna menyampaikan pidatonya.
Terhadap sikap pemerintah yang acuh-tak-acuh terhadap masalah-masalah kongkrit masyarakat, Ratna menyatakan: “Saya tidak bisa menantikan dukungan pemerintah, saya harus terus mengembangkan jaringan-kerja saya agar mampu mengubah keadaan sekarang ini“.
Ratna Indraswari juga mendirikan 'Forum Pelangi', sebuah organisasi kaum muda melakukan kegiatan sosial.(World People's Blog).
Dimana letak kunci kesuksesannya? Ratna menjawabnya sendiri: " Anda tahu saya cacat kan, tetapi (sejak kecil) saya tidak dididik untuk cengeng.
“Saya setia menggeluti dunia sastra, itulah kuncinya," ungkap Ratna Indraswari.
* * *
Sastrawaan/budayawan dari generasi muda, LAKSMI PAMUNTJAK, sehubungan dengan meninggalnya Ratna Indraswari, menyatakan: --
“Sedih mendengar kabar wafatnya Ratna Indraswari Ibrahim, seorang penulis yang tajam, sekaligus hangat dan peka terhadap kehidupan. Selamat jalan, mbak Ratna; diri dan pemikiranmu kekal dalam sejarah sastra Indonesia.”
Kita sependapat dengan pernyataan Laksmi Pamuntjak itu. Patut ditambahkan: Yang mengharukan, mengagumkan adalah dedikasinya sebagai sastrawan, keaktifannya sebagai anggota suatu organisasi masyarakat, ketulusanan utk membantu orang lain, meskipun ia sendiri cacad, -- serta semangat hidupnya.
Ibunya selalu menanamkan kepadanya, meski kemampuan fisiknya terbatas, namun itu tidak bisa dmenjadi alasan untuk bersikap minder. "Mengapa tidak. Kamu 'kan punya otak. Kalau menulis kan bisa minta orang lain untuk mengetik".
Ratna patuh berbuat seperti dipesankan orangtuanya kepadanya, yaitu MEMBIASAKAN MEMBACA BUKUJ. DENGAN MEMBACA APA SAJA, KITA AKAN BERFIKIR, bahwa ADA CERITA LAIN DI DUNIA INI. Sungguh suatu pesan yang bijak. Membaca dan membaca apa saja agar kita berfikir dan berfikir. (Sumber informasi: BBC).
Dengan kepergian Ratna Indraswari Ibrahim, dunia sastra dan budaya Indonesia telah kehilangan seorang sastrawan dan aktivis yang sulit dicari bandingnya.
* * *
No comments:
Post a Comment