Kolom
IBRAHIM ISA
Sabtu,
05 Januari 2013
-------------------------------
FOKUS : TULISAN
PENTING DR ASVI WARMAN ADAM
Surat kabar berbahasa
Inggris “The Jakarta Post, Jum´at 04 Januari 2013, memuat
tulisan Peneliti Senior LIPI, Dr. Asvi Warman Adam. Tulisan ini
penting, punya arti khusus. Karena ia menganlisis dan memberikan
kesimpulan sekitar PERLAWANAN TERHADAP STIGMATISASI REZIM ORDE
BARU.
Terima kasih kepada
Asvi dikirimi langsung artikel pentingnya itu.
Judul artikel dalam
bahasa Inggris -- “Fifteen
years of resistance against the New Order stigmatization”.
Dalam
bahasa Indonesianya bila diterjemahkan bebas kira-kira berbunyi;
“ Lima
Belas Tahun Perlawanan Terhadap Stigmatisasi Orde Baru”.
Mengharapkan
akan lebih banyak lagi dibaca maka artikel Asvi itu disiarkan di
Kolom ini, agar setidaknya yang biasa membaca tulisanku akan
mengikuti tulisan penting Asvi Warman Adam tsb.
*
* *
Meskipun
kita telah memasuki era Reformasi dan Demokratisasi setelah jatuhnya
rezim Orde Baru, namun salah satu dari kebijakan policy Orba yang
teramat kejam yaitu STIGMATISASI terhadap para korban
Peristiwa Persekusi dan Pembantaian masal 1965-67-68 dst, masih
terus berlangsung. Sehingga sampai saat ini perlawanan terhadap
politik Orde Baru itu berlangsung terus. Bahkan menunjukkan
tanda-tanda akan bertambah luas dan menyeluruh.
Asvi
Warman Adam menelaah dan mengadakan analisis yang lebih kongkrit
mengenai keadaan ini.
*
* *
Asvi
membuka artikelnya dengan mengemukakan fakta sbb:
“Meskipun
secara semantik (bisa diperdebatkan), “pelurusan sejarah” adalah
ungkapan yang dipilih oleh para korban megnenai kup yang gagal, yang
dituduhkan pada Partai Komunis Indonesia (PKI), seperti yang
ditunjukkan pada fakta bahwa terdapat ketidak-wajaran atau manipulasi
sejarah selama Orde Baru.
“Pelurusan
sejarah di AURI berlangsung lancar dan cepat. Seorang perwira
pensiunan AURI menulis sebuah buku, Menguak Kabut Halim, setelah
berhasil meminta kepada pemerintah untuk menghentikan pertunjukan
setiap tahun mengenai Pengkhianatan G30SPKI. Kemudian disusul dengan
diangkatnya seorang marsekal angkatan udara sebagai panglima angkatan
bersenjata – sesuatu yang tidak pernah terjadi semasa berkuasanya
pemerintah Orde Baru.
*
* *
Selanjutnya
Asvi Adam
“Dengan
tujuan untuk mengkoreksi sejarah 1965, serentetan seminar diadakan
dan diberikan kesaksian orang perorangan yang jadi korban. Menindak
lanjuti kejadian ini, suatu percobaan untuk membongkar kembali
kuburan masal dimulai oleh Sulami, seorang tokoh kunci dalam
organisasi Gerwani yang berafiliasi dengan PKI, dengan perlawanan
kuat dari grup-grup Islam setempat. Lanjutan dari kejadian tsb,
dibuatnya film dokumenter, seperti yang dibuat oleh Putu Oka
|Sukanta, berlangsung terus.
*
* *
Tulis Asvi:
“Limabelas tahun
telah berlalu, stigma mengenai masa lampau dengan cepat dihapuskan
dari AURI tetapi di kalangan kaum kiri masih tetap. Perdebatan
mengenai masa lampau berlangsung terus. Fenomena baru muncul: Para
pelaku memberikan kesaksian seperti bisa dilihat di sebuah film oleh
Joshua Oppenheimer THE ACT OF KILLING.”
“Satu hal menjadi
jelas: kebebasan pers yang dinikmati oleh orang-orang Indonesia di
era kebebasan ini memberikan dampak positif mengenai pengungkqapan
sejarah banyak isu yang dimasa yang lalu ditindas.
* * *
Benar
sekali!
Kebebasan
pers, kebebasan menyatakan pendapat, suatu kemenangan penting yang
direbut oleh gerakan massa menggelora REFORMASI DAN DEMOKRASI yang
telah menggulingkan rezim otoriter Orde Baru, telah dimanfaatkan
dengan efektif oleh para aktivis dan penggiat demokrasi dan HAM, baik
yang tergabung dalam organisasi masyarakat , parpol, maupun di
bidang-bidang kegiatan sebagai wartawan ataupun penulis. Kebebasan
demokratis ini, oleh karena itu, akan dibela dan dikembangkan dalam
tindakan-tindakan nyata seperti yang berlangsung selama ini.
Asvi
Adam menunjukkan diakhirinya STIGMATISASI di kalangan AURI sebagai
suatu kemajuan yang berarti. Seiring dengan itu dimanfaatkannya hak
menyatakakan pendapat sebagai alat perjuangan para korban politik
stigmatisasi Orde Baru, sebagai pertanda penting lainnya dari
meningkatnya kesadaran politik masyarakat.
Satu
hal penting lagi yang merupakan pertanda mrningkatnya kesadaran
politik bangsa, ialah DINYATAKANNYA BUNG KARNO SEBAGAI PAHLAWAN
NASIONAL. Memang, Bandara Internasional Sukarno-Hatta dengan megah
menyandang nama SUKARNO sebagai LOGO dari bandara internasional
utama Indonesia. Namun, dalam watku panjang pemulihan nama baik dan
penghormatan pada Bung Karno belum pernah secara formal dilakukan
oleh pemerintah-pemerintah pasca Suharto, . . . . hingga keluarnya
pernyataan resmi pemerintah tentang Bung |Karno sebagai pahlawan
nasional.
Namun,
. . . . TAP MPRS No 33/1967 yang memfitnah Presiden Sukarno dan
melorot beliau sebagai Presiden RI, sampai dewasa ini BELUM
DIBATALKAN.
Baik
kita baca lagi sebuah artikel yang ditulis oleh jurnalis kawakan
mandiang Umar Said
(Paris, 28 Agustus 2001),
berkenaan dengan TP MPRS No 33/1967 . a.l sbb:
“NAMA BUNG KARNO”
Ketua Umum Forum Nasional Rachmawati Soekarnoputri menyerukan
kepada Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mendesak Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut Ketetapan (Tap) MPRS Nomor 33
Tahun 1967. "Bila Tap MPRS Nomor 33 Tahun 1967 itu bisa dicabut
karena jasa dari Megawati Soekarnoputri, maka itu merupakan hadiah
besar dari putri Bung Karno kepada sang Proklamator, Soekarno,"
demikian kata Rachmawati kepada wartawan dalam acara silaturahmi
Forum Nasional dalam rangka menyambut Proklamasi Republik Indonesia
Ke-56 di Kampus Universitas Bung Karno, Jakarta, Sabtu (18/8).Tap MPRS No 33/1967 adalah ketetapan tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno. Keputusan dari Tap tersebut terdiri dari tiga bab dan tujuh pasal. Pasal tiga dari keputusan Tap tersebut berbunyi :"Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam UUD 1945." Dalam salah satu butir pertimbangan dari Tap Nomor 33 tersebut antara lain berbunyi: "....Bahwa ada petunjuk-petunjuk Presiden Soekarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G30S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI."
Menurut Rachmawati yang telah berkali-kali menyerukan untuk penghapusan Tap MPRS No 33/1967 tersebut mengatakan, Megawati punya potensi besar untuk bisa mencabut Tap tersebut, karena dia adalah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang punya fraksi besar di di MPR maupun DPR. Apalagi, kata Rachmawati, Megawati adalah putri Bung Karno dan dalam kampanye pemilihan umum partainya selalu menampilkan gambar-gambar Bung Karno. Rachmawati berpendapat, Tap Nomor 33 itu merupakan salah satu perangkat canggih Orde Baru melakukan desoekarnoisasi di Indonesia.
Menurut Rachmawati, dengan adanya ketetapan tersebut, maka ada dasar kuat yang membenarkan Bung Karno adalah orang komunis atau PKI (Partai Komunis Indonesia). "Padahal, tuduhan itu tidak benar, Bung Karno bukan komunis dan tuduhan ini merupakan preseden yang tidak baik bagi nama baik Bung Karno dan anak-anaknya," ujar Rachmawati. Forum Nasional didirikan tanggal 20 Juli 2001, dengan deklarator antara lain Arbi Sanit dan Faisal Basri. (Penjelasan : 4 paragraf di atas adalah kutipan dari Kompas 20 Agustus 2001)
Nyatanya Presiden Megawati ketika itu, sampai akhir jabatannya, tidak mengambil langkah apapun untuk membatalkan TAP MPRS No 33/1967 yang adalah rekayasa Orde Baru itu.
*
* *
Untuk
bisa mengikuti dan membaca selengkapnya artikel penting Dr Aswi
Warman Adam, di bawah ini dimuat aslinya artikel tsb dalam bahasa
Ingris.
“Fifteen
years of resistance against the New Order
stigmatization”
Asvi Warman Adam,
The Jakarta Post
Opinion | Friday, January 04 2013, 8:40
AM
Despite the 15-year-old political
reform, people (considered to have been) involved in the movement of
Sept. 30, 1965 and their families have struggled to remove the stigma
levied by the New Order against them.
While semantically debatable, pelurusan
sejarah “correcting history” is the phrase preferred by the
victims of the abortive coup, blamed on the Indonesian Communist
Party (PKI), as it points to
the fact that there had been perversion
or manipulation of history during the New Order.
The correction of history in the
Indonesian Air Force (AURI) was smooth and
swift. A retired air force officer
wrote the book Menguak Kabut Halim (Demystifying the Halim Mist),
after successfully requesting the government to cease the annual
broadcast of the Pengkhianatan G30S/PKI (G30S/PKI Treachery). It then
followed that an air force marshal was appointed the chief of the
armed forces — something that would never have happen when the New
Order government was still in power.
For the purpose of correcting the 1965
history, a series of seminars were held and testimonies given by
victimized individuals. Following these events, an attempt to dig up
a mass grave was initiated by Sulami, a key figure in the Gerwani
PKI-affiliated women’s group, with strong resistance from local
(Islamic) groups. In spite of all of this, the filming of
documentaries, such as the one by Putu Oka Sukanta, continued.
Indonesian mass media, particularly
television stations such as Metro TV and TV One, with their
respective programs Metro File and Nama dan Peristiwa (Names and
Events), played a significant role in making things public that were
otherwise taboo in the old days, including testimonies of the 1965
movement victims and the “mysterious killings” of the 1980s.
In a number of issues Tempo magazine
published special reports by left-wing leaders, including Aidit,
Sjam, Njoto and Muso. In print came books such as Pembantaian di
Jawa/Bali Tahun 1965/1966 (The Killings of 1965/1966 in Java/Bali) by
Robert Cribb and Palu Arit di Ladang Tebu (Hammer and Sickle on Sugar
Cane Fields) by Hermawan Sulistyo. There were also publications by
Dede Utomo regarding the development of gay rights movements in
Indonesia.
Youths from the country’s largest
Muslim group Nahdlatul Ulama (NU) and the Muslim Society for People
Advocacy (Syarikat) have tried to bring about reconciliations between
ex-NU militia and the victims of 1965 movement. Initiatives included
translating and publishing books on the topic of the mass killings of
1965, as well as the Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), where
Amelia Yani, Ilham Aidit, Sarjono Kartosuwirjo and others, whose
parents were in dispute for their different ideologies, made a pledge
to “stop and cease the passing down of conflicts”.
Parts of “history” that need to be
corrected are not only segments connected with 1965 but also those
which concern Timor Leste. The year 2006 marked the removal of Timor
Leste from Indonesia’s history-related subjects.
Books on Chinese culture and key
figures have been slowly making their way to major book stores. First
proposed in 2002, the idea of nominating an individual of Chinese
ethnicity as a national hero became reality when John Lie was
officially named one in 2009. In that year, the first Chinese in 50
years made it into the nation’s hall of fame. People are now trying
to put a national hero of Arab descent, AR Baswedan, onto the list as
well.
It is a fact that threat and terror are
risks commonly faced by activists who fight for human rights and the
correction of history. I, myself, have at several times taken the
expert witness stand, at both district courts and the Constitutional
Court, for history-connected cases.
The Adnan Buyung Nasution Law Firm once
asked me to appear at the Bandung District Court as an expert witness
in a pro bono case in the defense of the farming communities of Ujung
Gede in Sumedang where a giant dam is now set to be constructed. Many
years ago these farmers were evicted from their land, awarded an
outrageously small compensation and those refusing to relinquish
their properties were labeled members of the PKI.
I was also once asked by human rights
watchdog Kontras to assist them as an expert witness as part of their
effort in a lawsuit filed against the State Intelligence Agency (BIN)
at the South Jakarta District Court. A legal case involving victims
of the incidents of 1965 — both living in Indonesia and abroad (in
exile) —attempted to bring five Indonesian presidents to the
Central Jakarta District Court in 2006. A petition group of 50 filed
a civil suit against Ruhut Sitompul with the Central Jakarta District
Court after he made the statement, “people who do not support the
nomination of Soeharto as national hero must be descendants of PKI
members”. The group insisted that they did not approve the
nomination although they were not PKI-affiliated.
I testified at the same court for Nani
Nurani, a dancer at the Cipanas Presidential Palace who was put in
custody for several years without due process of the law, who filed a
civil charge against the government.
Fifteen years have passed; the stigma
of the past was speedily removed from the Indonesian Air Force but
remains among the leftists. Debates on the past continue. A new
phenomenon emerges: Perpetrators are giving testimonies as can be
seen in the movie by Joshua Oppenheimer The Act of Killing.
One thing is certain; the freedom of
the press enjoyed by Indonesians during this era of reform has had a
positive impact on the historical revelation of many issues that were
suppressed in the past.
The writer is a historian at the
Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta.
* * *
No comments:
Post a Comment