Sunday, January 6, 2013

FOKUS : TULISAN PENTING DR ASVI WARMAN ADAM

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 05 Januari 2013
-------------------------------

FOKUS : TULISAN PENTING DR ASVI WARMAN ADAM

Surat kabar berbahasa Inggris “The Jakarta Post, Jum´at 04 Januari 2013, memuat tulisan Peneliti Senior LIPI, Dr. Asvi Warman Adam. Tulisan ini penting, punya arti khusus. Karena ia menganlisis dan memberikan kesimpulan sekitar PERLAWANAN TERHADAP STIGMATISASI REZIM ORDE BARU.

Terima kasih kepada Asvi dikirimi langsung artikel pentingnya itu.

Judul artikel dalam bahasa Inggris -- “Fifteen years of resistance against the New Order stigmatization”.

Dalam bahasa Indonesianya bila diterjemahkan bebas kira-kira berbunyi;

Lima Belas Tahun Perlawanan Terhadap Stigmatisasi Orde Baru”.

Mengharapkan akan lebih banyak lagi dibaca maka artikel Asvi itu disiarkan di Kolom ini, agar setidaknya yang biasa membaca tulisanku akan mengikuti tulisan penting Asvi Warman Adam tsb.

* * *

Meskipun kita telah memasuki era Reformasi dan Demokratisasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru, namun salah satu dari kebijakan policy Orba yang teramat kejam yaitu STIGMATISASI terhadap para korban Peristiwa Persekusi dan Pembantaian masal 1965-67-68 dst, masih terus berlangsung. Sehingga sampai saat ini perlawanan terhadap politik Orde Baru itu berlangsung terus. Bahkan menunjukkan tanda-tanda akan bertambah luas dan menyeluruh.

Asvi Warman Adam menelaah dan mengadakan analisis yang lebih kongkrit mengenai keadaan ini.

* * *

Asvi membuka artikelnya dengan mengemukakan fakta sbb:

Meskipun secara semantik (bisa diperdebatkan), “pelurusan sejarah” adalah ungkapan yang dipilih oleh para korban megnenai kup yang gagal, yang dituduhkan pada Partai Komunis Indonesia (PKI), seperti yang ditunjukkan pada fakta bahwa terdapat ketidak-wajaran atau manipulasi sejarah selama Orde Baru.

Pelurusan sejarah di AURI berlangsung lancar dan cepat. Seorang perwira pensiunan AURI menulis sebuah buku, Menguak Kabut Halim, setelah berhasil meminta kepada pemerintah untuk menghentikan pertunjukan setiap tahun mengenai Pengkhianatan G30SPKI. Kemudian disusul dengan diangkatnya seorang marsekal angkatan udara sebagai panglima angkatan bersenjata – sesuatu yang tidak pernah terjadi semasa berkuasanya pemerintah Orde Baru.

* * *

Selanjutnya Asvi Adam

Dengan tujuan untuk mengkoreksi sejarah 1965, serentetan seminar diadakan dan diberikan kesaksian orang perorangan yang jadi korban. Menindak lanjuti kejadian ini, suatu percobaan untuk membongkar kembali kuburan masal dimulai oleh Sulami, seorang tokoh kunci dalam organisasi Gerwani yang berafiliasi dengan PKI, dengan perlawanan kuat dari grup-grup Islam setempat. Lanjutan dari kejadian tsb, dibuatnya film dokumenter, seperti yang dibuat oleh Putu Oka |Sukanta, berlangsung terus.

* * *

Tulis Asvi:

Limabelas tahun telah berlalu, stigma mengenai masa lampau dengan cepat dihapuskan dari AURI tetapi di kalangan kaum kiri masih tetap. Perdebatan mengenai masa lampau berlangsung terus. Fenomena baru muncul: Para pelaku memberikan kesaksian seperti bisa dilihat di sebuah film oleh Joshua Oppenheimer THE ACT OF KILLING.”

Satu hal menjadi jelas: kebebasan pers yang dinikmati oleh orang-orang Indonesia di era kebebasan ini memberikan dampak positif mengenai pengungkqapan sejarah banyak isu yang dimasa yang lalu ditindas.

* * *

Benar sekali!
Kebebasan pers, kebebasan menyatakan pendapat, suatu kemenangan penting yang direbut oleh gerakan massa menggelora REFORMASI DAN DEMOKRASI yang telah menggulingkan rezim otoriter Orde Baru, telah dimanfaatkan dengan efektif oleh para aktivis dan penggiat demokrasi dan HAM, baik yang tergabung dalam organisasi masyarakat , parpol, maupun di bidang-bidang kegiatan sebagai wartawan ataupun penulis. Kebebasan demokratis ini, oleh karena itu, akan dibela dan dikembangkan dalam tindakan-tindakan nyata seperti yang berlangsung selama ini.

Asvi Adam menunjukkan diakhirinya STIGMATISASI di kalangan AURI sebagai suatu kemajuan yang berarti. Seiring dengan itu dimanfaatkannya hak menyatakakan pendapat sebagai alat perjuangan para korban politik stigmatisasi Orde Baru, sebagai pertanda penting lainnya dari meningkatnya kesadaran politik masyarakat.

Satu hal penting lagi yang merupakan pertanda mrningkatnya kesadaran politik bangsa, ialah DINYATAKANNYA BUNG KARNO SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL. Memang, Bandara Internasional Sukarno-Hatta dengan megah menyandang nama SUKARNO sebagai LOGO dari bandara internasional utama Indonesia. Namun, dalam watku panjang pemulihan nama baik dan penghormatan pada Bung Karno belum pernah secara formal dilakukan oleh pemerintah-pemerintah pasca Suharto, . . . . hingga keluarnya pernyataan resmi pemerintah tentang Bung |Karno sebagai pahlawan nasional.

Namun, . . . . TAP MPRS No 33/1967 yang memfitnah Presiden Sukarno dan melorot beliau sebagai Presiden RI, sampai dewasa ini BELUM DIBATALKAN.

Baik kita baca lagi sebuah artikel yang ditulis oleh jurnalis kawakan mandiang Umar Said (Paris, 28 Agustus 2001), berkenaan dengan TP MPRS No 33/1967 . a.l sbb:

NAMA BUNG KARNO”
Ketua Umum Forum Nasional Rachmawati Soekarnoputri menyerukan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut Ketetapan (Tap) MPRS Nomor 33 Tahun 1967. "Bila Tap MPRS Nomor 33 Tahun 1967 itu bisa dicabut karena jasa dari Megawati Soekarnoputri, maka itu merupakan hadiah besar dari putri Bung Karno kepada sang Proklamator, Soekarno," demikian kata Rachmawati kepada wartawan dalam acara silaturahmi Forum Nasional dalam rangka menyambut Proklamasi Republik Indonesia Ke-56 di Kampus Universitas Bung Karno, Jakarta, Sabtu (18/8).

Tap MPRS No 33/1967 adalah ketetapan tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno. Keputusan dari Tap tersebut terdiri dari tiga bab dan tujuh pasal. Pasal tiga dari keputusan Tap tersebut berbunyi :"Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam UUD 1945." Dalam salah satu butir pertimbangan dari Tap Nomor 33 tersebut antara lain berbunyi: "....Bahwa ada petunjuk-petunjuk Presiden Soekarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G30S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI."

Menurut Rachmawati yang telah berkali-kali menyerukan untuk penghapusan Tap MPRS No 33/1967 tersebut mengatakan, Megawati punya potensi besar untuk bisa mencabut Tap tersebut, karena dia adalah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang punya fraksi besar di di MPR maupun DPR. Apalagi, kata Rachmawati, Megawati adalah putri Bung Karno dan dalam kampanye pemilihan umum partainya selalu menampilkan gambar-gambar Bung Karno. Rachmawati berpendapat, Tap Nomor 33 itu merupakan salah satu perangkat canggih Orde Baru melakukan desoekarnoisasi di Indonesia.

Menurut Rachmawati, dengan adanya ketetapan tersebut, maka ada dasar kuat yang membenarkan Bung Karno adalah orang komunis atau PKI (Partai Komunis Indonesia). "Padahal, tuduhan itu tidak benar, Bung Karno bukan komunis dan tuduhan ini merupakan preseden yang tidak baik bagi nama baik Bung Karno dan anak-anaknya," ujar Rachmawati. Forum Nasional didirikan tanggal 20 Juli 2001, dengan deklarator antara lain Arbi Sanit dan Faisal Basri. (Penjelasan : 4 paragraf di atas adalah kutipan dari Kompas 20 Agustus 2001)



Nyatanya Presiden Megawati ketika itu, sampai akhir jabatannya, tidak mengambil langkah apapun untuk membatalkan TAP MPRS No 33/1967 yang adalah rekayasa Orde Baru itu.

* * *

Untuk bisa mengikuti dan membaca selengkapnya artikel penting Dr Aswi Warman Adam, di bawah ini dimuat aslinya artikel tsb dalam bahasa Ingris.

Fifteen years of resistance against the New Order
stigmatization”

Asvi Warman Adam, The Jakarta Post
Opinion | Friday, January 04 2013, 8:40 AM

Despite the 15-year-old political reform, people (considered to have been) involved in the movement of Sept. 30, 1965 and their families have struggled to remove the stigma levied by the New Order against them.

While semantically debatable, pelurusan sejarah “correcting history” is the phrase preferred by the victims of the abortive coup, blamed on the Indonesian Communist Party (PKI), as it points to
the fact that there had been perversion or manipulation of history during the New Order.

The correction of history in the Indonesian Air Force (AURI) was smooth and
swift. A retired air force officer wrote the book Menguak Kabut Halim (Demystifying the Halim Mist), after successfully requesting the government to cease the annual broadcast of the Pengkhianatan G30S/PKI (G30S/PKI Treachery). It then followed that an air force marshal was appointed the chief of the armed forces — something that would never have happen when the New Order government was still in power.

For the purpose of correcting the 1965 history, a series of seminars were held and testimonies given by victimized individuals. Following these events, an attempt to dig up a mass grave was initiated by Sulami, a key figure in the Gerwani PKI-affiliated women’s group, with strong resistance from local (Islamic) groups. In spite of all of this, the filming of documentaries, such as the one by Putu Oka Sukanta, continued.

Indonesian mass media, particularly television stations such as Metro TV and TV One, with their respective programs Metro File and Nama dan Peristiwa (Names and Events), played a significant role in making things public that were otherwise taboo in the old days, including testimonies of the 1965 movement victims and the “mysterious killings” of the 1980s.

In a number of issues Tempo magazine published special reports by left-wing leaders, including Aidit, Sjam, Njoto and Muso. In print came books such as Pembantaian di Jawa/Bali Tahun 1965/1966 (The Killings of 1965/1966 in Java/Bali) by Robert Cribb and Palu Arit di Ladang Tebu (Hammer and Sickle on Sugar Cane Fields) by Hermawan Sulistyo. There were also publications by Dede Utomo regarding the development of gay rights movements in Indonesia.

Youths from the country’s largest Muslim group Nahdlatul Ulama (NU) and the Muslim Society for People Advocacy (Syarikat) have tried to bring about reconciliations between ex-NU militia and the victims of 1965 movement. Initiatives included translating and publishing books on the topic of the mass killings of 1965, as well as the Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), where Amelia Yani, Ilham Aidit, Sarjono Kartosuwirjo and others, whose parents were in dispute for their different ideologies, made a pledge to “stop and cease the passing down of conflicts”.

Parts of “history” that need to be corrected are not only segments connected with 1965 but also those which concern Timor Leste. The year 2006 marked the removal of Timor Leste from Indonesia’s history-related subjects.

Books on Chinese culture and key figures have been slowly making their way to major book stores. First proposed in 2002, the idea of nominating an individual of Chinese ethnicity as a national hero became reality when John Lie was officially named one in 2009. In that year, the first Chinese in 50 years made it into the nation’s hall of fame. People are now trying to put a national hero of Arab descent, AR Baswedan, onto the list as well.

It is a fact that threat and terror are risks commonly faced by activists who fight for human rights and the correction of history. I, myself, have at several times taken the expert witness stand, at both district courts and the Constitutional Court, for history-connected cases.

The Adnan Buyung Nasution Law Firm once asked me to appear at the Bandung District Court as an expert witness in a pro bono case in the defense of the farming communities of Ujung Gede in Sumedang where a giant dam is now set to be constructed. Many years ago these farmers were evicted from their land, awarded an outrageously small compensation and those refusing to relinquish their properties were labeled members of the PKI.

I was also once asked by human rights watchdog Kontras to assist them as an expert witness as part of their effort in a lawsuit filed against the State Intelligence Agency (BIN) at the South Jakarta District Court. A legal case involving victims of the incidents of 1965 — both living in Indonesia and abroad (in exile) —attempted to bring five Indonesian presidents to the Central Jakarta District Court in 2006. A petition group of 50 filed a civil suit against Ruhut Sitompul with the Central Jakarta District Court after he made the statement, “people who do not support the nomination of Soeharto as national hero must be descendants of PKI members”. The group insisted that they did not approve the nomination although they were not PKI-affiliated.

I testified at the same court for Nani Nurani, a dancer at the Cipanas Presidential Palace who was put in custody for several years without due process of the law, who filed a civil charge against the government.

Fifteen years have passed; the stigma of the past was speedily removed from the Indonesian Air Force but remains among the leftists. Debates on the past continue. A new phenomenon emerges: Perpetrators are giving testimonies as can be seen in the movie by Joshua Oppenheimer The Act of Killing.

One thing is certain; the freedom of the press enjoyed by Indonesians during this era of reform has had a positive impact on the historical revelation of many issues that were suppressed in the past.

The writer is a historian at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta.

* * *

No comments: