Kolom
IBRAHIM ISA
Senin,
31 Desember 2012
---------------------------------
SELAMAT
TAHUN BARU 2013!!
Seluruh KABINET SBY,
DPR/MPR Dan KEJAGUNG
Disarankan Bersama-sama
NONTON DUA Film Dok
"40
Years of Silence: An Indonesian Tragedy"
“THE ACT OF KILLING”
* * *
Saran
ini diajukan mengingat situasi negeri kita, yaitu : BELUM TEGAKNYA
HUKUM. Keadaan ini bukan baru saja. Tidak kurang dari Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK), Mahfud, menyatakan belum lama: "Penegak
hukum saat ini sudah tersandera oleh masalah hukumnya sendiri dan
mafia-mafia yang ada di dalam sistem hukum". Kata Mahfud
dengan kesal, “di kalangan lembaga hukum terdapat MAFIA HUKUM,
yang bisa mengatur semua masalah hukum. Mafia itu bisa mengatur siapa
penyidik, apa pasal yang akan dikenakan, serta siapa jaksa dan hakim
yang akan menangani suatu masalah hukum.”
Pernyataan
serupa pernah dikemukakan oleh Ketua Umum PDI-P Megawati,
ketika beliau menjabat Presiden Republik Indoneisa. Tetapi beliau
tidak mengambil tindakan nyata untuk mengubah situasi demikian itu.
Baru
saja, Yusril Ihza Mahjendra, mantan Menkumdang di periode
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, memberikan pernyataan
mengenai ketiadaan hukum di negeri ini. Menurut Yusril, -- “Karena
Sejumlah Faktor Non Hukum Mempengaruhi Proses Penegakan Hukum”
Pernyataan-pernyataan
para elite dan pemimpin negeri ini, merupakan pertanda bahwa
sistuasinya memang gawat. Bahkan gawat sekali! Namun
petinggi-petinggi itu belum mampu mengungkap SEBAB-MUSABAB HAKIKI
mengapa negara ini belum bisa dikatakan sebuah NEGARA HUKUM sebuah
“RECHTSTAAT”. Mengapa hukum belum tegak di negara Republik
Indonesia?
*
* *
Seorang
Jendral Pangdam Kodam IV Diponegoro belum lama terang-terangan
menyatakan bahwa ia akan menembak kepala siapa saja yang
berani-berani menghidupkan kembali PKI. "Kalau ada, saya
tidak akan segan-segan menembak kepalanya," Ia menggertak
"TAK PATENI!"
Coba
sebutkan --- Di negara hukum mana ada seorang Jendral yang masih
menjabat panglima daerah militer dan divisi tentara, – – –
berani berkata demikian. Bukankah pernyataan itu menunjukkan bahw
sang jendral menganggap ia lebih berwewenang dari lembaga pengadilan
dan hakimnya? Dan parahnya lagi! Pernyataan jendral tsb samasekali
tidak dibantah atau dikoreksi oleh atasannya, Juga tidak oleh Jendral
Susilo Bambang Yudhono, Presiden dan Panglima Tertinggi TNI.
Para
petinggi seperti Ketua MK, Mahfud; mantan Presiden Megawati dan
mantan Menkumdang Yusril --- pun tidak menyanggah pernyataan diluar
hukum dari sang jendral. Mereka mengkonstatasi keadaan ketiadaan
hukum yang gawat, tetapi tidak mengambil langkah apapun kecuali
mengeluarkan pernyataan.
Bahkan
….. dari SBY pernyataan apapun tidak ada!
*
* *
Makanya
disarankan agar seluruh anggota pemerintahan Presiden SBY, semua
anggota DPR/MPR dan para pejabat di Kejaksaan Agung pada Tahun Baru
2013 besok, bersama-sama berkumpul di sebuah ruangan yang cukup
besar, mungkin di gedung MPR, bersama-sama menyaksikan dua film
dokumenter penting:
Film
pertama "40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy"
Film
Kedua: “The Act Of Killing”
Dengan
bersama-sama menonnton dua film dokumenter keras tsb diatas
mudah-mudahan saja, ---- Presiden SBY, menteri-menterinya, para
anggota DPR dan MPR serta pejabat-pejabat lembaga hukum seperti
Kejaksaan Agung, bisa tiba pada kesadaran bahwa ketiadaan hukum
di negara kita ini, dimulai dengan BERKUASANYA REZIM ORDE BARU di
bawah Jendral Suharto. |Maka jalan keluar yang paling masuk akal dan
mendesak adalah:
Laksanakan
secara Total TUNUTAN REFORMASI DAN DEMOKRATISASI di segala bidang.
HAPUSKAN
SEMUA SISA-SISA KEKUASAAN DAN UNDANG-UNDANG serta Kebijakan REZIM
ORDE BARU.
Negeri
ini harus diurus oleh sebuah pemerintah yang BEBAS-ORBA!!
*
* *
Film
pertama, adalah film dokumenter yang disutradarai oleh Robert
Lemelson, adalah sebuah film'antipode' terhadap film sekitar G30S
yang diprodusir oleh rezim Orba. Film "40 Years of Silence: An
Indonesian Tragedy" , bisa dinilai sebagai pengkoreksian atas
pemalsuan sejarah yang dilakukan rezim Orba.
Melihat
film ini "40 TAHUN KEHENINGAN". Suatu TRAGEDI
INDONESIA. siapa saja yang menghormati fakta-fakta sejarah yang
selama ini merupakan tabu kalau mengungkapnya apalagi
membicarakannya, -- akan melihat bahwa permulaan pelanggaran hukum,
diinjak-injaknya hak-hak azasi manusia, dimulai pada periode ketika
Jendral Suharto merebut kekuasaan riil, di saat Presiden Sukarno
formal masih memimpin negara dan pemerintahan RI .
Film
"40 TAHUN KEHENINGAN" memperoleh Award of Excellence di
Festival Film Internasional untuk Perdamaian, Inspirasi dan
Kesetaraan. Pernah ditayangkan di Jakarta pada tganggal 30 Agustus
2012. Patutlah film *"40 Years of Silence: An Indonesian
Tragedy", *disambut sebagai suatu usaha untuk melempangkan
sejarah yang dibengkokkan rezim Orba.
*
* *
Film
dokumenter kedua adalah “The Act Of Killing”, karya
sutradara Joshua Oppenheimer.
Seperti
yang dinarasikan oleh Step Vaessen,
wartawan berbangsa Belanda yang fasih berbahasa Indonesia, karyawan
jurnalis pada Stasiun TV Timur Tengah “ALJAZEERA”,
-- Selama kurang lebih setengah abad belum pernah ada para pelaku,
algojo-algojo pembantaian masal dalam Peristiwa 65 di Sumatera Utara
dan Bali, yang terang-terangan mengakui bahwa mereka membunuh
sendiri antara 600 sampai 1000 korban yang dituduh atau dianggap
Komunis.
Step
Vaessen bertanya kepada Anwar
Congo, pelaku pembunuhan
orang-orang yang Komunis atau dianggap Komunis di Sumatera Utara,
apakah dia tidak merasa bersalah melakukan pembunuhan tsb. Dengan
bangga dan santai dijawab oleh Anwar Congo, bahwa ia samasekali tidak
merasa bersalah dan tidak menyesal. Karena yang dibunuh itu adalah
Komunis, Komunis harus dibasmi. Anwar Congo menyatakan dalam film
dokumenter itu bahwa ia bersedia bikin film itu, supaya PKI jangan
lagi ada di Indonesia.
Di
Bali saalah seorang pelaku pembunuhan masal adalah seorang yang
pernah penari Bali. Ia juga dengan bangga menyatakan bahwa ia dan
kawan-kawannya telah membunuh kurang lebih 600 korban yang
dikatakannya adalah Komunis. Ia tidak merasa menyesal dan tidak
merasa bersalah.
Film
“The Act of Killing” mengngkapkan bahwa para algojo di Sumatera
itu, tergabung dalam orgnisasi Pemuda Pancasila. Mereka leluasa
mengadakan kegiatan samnpai sekarang. Dan oleh sementara fihak (yang
berkuasa) dianggap pahlawan. Diungkapkan juga bahwa para pelaku
pembantaian di Sumatara Utara itu bertindak atas backing fihak
militer. Mereka sebelumnya adalah para preman yang menguasai
bioskop-biosko di Medan.
*
* *
SINOPPSIS:
Ketika pemerintah Indonesia digulingkan oleh militer pada 1965, Anwar dan kawan-kawan 'naik pangkat' dari preman kelas teri pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh. Mereka membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri.
Hari ini, Anwar dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.
Jagal bercerita tentang para pembunuh yang menang, dan wajah masyarakat yang dibentuk oleh mereka. Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP. Jagal adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.
Pada masa mudanya, Anwar dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius. Di tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victo Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.” Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.
Dalam Jagal, Anwar dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop. Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.
Kemudian sutradara film menantang Anwar dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.
Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.
Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.
Produksi
Film ini sebagian besar gambarnya diambil di sekitar Medan, Sumatera Utara, Indonesia antara 2005 sampai 2011. Pengambilan gambar dan wawancara selama tujuh tahun ini menghasilkan kurang lebih 1.000 jam rekaman. Diperlukan banyak editor dan waktu satu setengah tahun di London dan Copenhagen untuk menyunting rekaman tersebut menjadi film ini. Penyuntingan suara dan koreksi warna dilakukan di Norwegia.Festival dan Penghargaan
Pemutaran perdana internasional The Act of Killing diselenggarakan pada September 2012 di Toronto International Film Festival. Film ini juga diputar pada Telluride Film Festival. Selanjutnya, pada November 2012, The Act of Killing mengikuti Copenhagen Documentary Film Festival (CPH:DOX) dan memenangkan penghargaan Grand Prize pada festival tersebut.* * *
No comments:
Post a Comment