Tuesday, January 1, 2013

Seluruh KABINET SBY, DPR/MPR Dan KEJAGUNG Disarankan Bersama-sama NONTON DUA Film Dok "40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy" “THE ACT OF KILLING”

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 31 Desember 2012
---------------------------------

SELAMAT TAHUN BARU 2013!!
Seluruh KABINET SBY, DPR/MPR Dan KEJAGUNG
Disarankan Bersama-sama NONTON DUA Film Dok

"40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy"

THE ACT OF KILLING”

* * *

Saran ini diajukan mengingat situasi negeri kita, yaitu : BELUM TEGAKNYA HUKUM. Keadaan ini bukan baru saja. Tidak kurang dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud, menyatakan belum lama: "Penegak hukum saat ini sudah tersandera oleh masalah hukumnya sendiri dan mafia-mafia yang ada di dalam sistem hukum". Kata Mahfud dengan kesal, “di kalangan lembaga hukum terdapat MAFIA HUKUM, yang bisa mengatur semua masalah hukum. Mafia itu bisa mengatur siapa penyidik, apa pasal yang akan dikenakan, serta siapa jaksa dan hakim yang akan menangani suatu masalah hukum.”

Pernyataan serupa pernah dikemukakan oleh Ketua Umum PDI-P Megawati, ketika beliau menjabat Presiden Republik Indoneisa. Tetapi beliau tidak mengambil tindakan nyata untuk mengubah situasi demikian itu.

Baru saja, Yusril Ihza Mahjendra, mantan Menkumdang di periode pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, memberikan pernyataan mengenai ketiadaan hukum di negeri ini. Menurut Yusril, -- “Karena Sejumlah Faktor Non Hukum Mempengaruhi Proses Penegakan Hukum”

Pernyataan-pernyataan para elite dan pemimpin negeri ini, merupakan pertanda bahwa sistuasinya memang gawat. Bahkan gawat sekali! Namun petinggi-petinggi itu belum mampu mengungkap SEBAB-MUSABAB HAKIKI mengapa negara ini belum bisa dikatakan sebuah NEGARA HUKUM sebuah “RECHTSTAAT”. Mengapa hukum belum tegak di negara Republik Indonesia?

* * *

Seorang Jendral Pangdam Kodam IV Diponegoro belum lama terang-terangan menyatakan bahwa ia akan menembak kepala siapa saja yang berani-berani menghidupkan kembali PKI. "Kalau ada, saya tidak akan segan-segan menembak kepalanya," Ia menggertak "TAK PATENI!"

Coba sebutkan --- Di negara hukum mana ada seorang Jendral yang masih menjabat panglima daerah militer dan divisi tentara, – – – berani berkata demikian. Bukankah pernyataan itu menunjukkan bahw sang jendral menganggap ia lebih berwewenang dari lembaga pengadilan dan hakimnya? Dan parahnya lagi! Pernyataan jendral tsb samasekali tidak dibantah atau dikoreksi oleh atasannya, Juga tidak oleh Jendral Susilo Bambang Yudhono, Presiden dan Panglima Tertinggi TNI.

Para petinggi seperti Ketua MK, Mahfud; mantan Presiden Megawati dan mantan Menkumdang Yusril --- pun tidak menyanggah pernyataan diluar hukum dari sang jendral. Mereka mengkonstatasi keadaan ketiadaan hukum yang gawat, tetapi tidak mengambil langkah apapun kecuali mengeluarkan pernyataan.

Bahkan ….. dari SBY pernyataan apapun tidak ada!

* * *

Makanya disarankan agar seluruh anggota pemerintahan Presiden SBY, semua anggota DPR/MPR dan para pejabat di Kejaksaan Agung pada Tahun Baru 2013 besok, bersama-sama berkumpul di sebuah ruangan yang cukup besar, mungkin di gedung MPR, bersama-sama menyaksikan dua film dokumenter penting:

Film pertama "40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy"

Film Kedua: “The Act Of Killing”

Dengan bersama-sama menonnton dua film dokumenter keras tsb diatas mudah-mudahan saja, ---- Presiden SBY, menteri-menterinya, para anggota DPR dan MPR serta pejabat-pejabat lembaga hukum seperti Kejaksaan Agung, bisa tiba pada kesadaran bahwa ketiadaan hukum di negara kita ini, dimulai dengan BERKUASANYA REZIM ORDE BARU di bawah Jendral Suharto. |Maka jalan keluar yang paling masuk akal dan mendesak adalah:

Laksanakan secara Total TUNUTAN REFORMASI DAN DEMOKRATISASI di segala bidang.

HAPUSKAN SEMUA SISA-SISA KEKUASAAN DAN UNDANG-UNDANG serta Kebijakan REZIM ORDE BARU.

Negeri ini harus diurus oleh sebuah pemerintah yang BEBAS-ORBA!!

* * *

Film pertama, adalah film dokumenter yang disutradarai oleh Robert Lemelson, adalah sebuah film'antipode' terhadap film sekitar G30S yang diprodusir oleh rezim Orba. Film "40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy" , bisa dinilai sebagai pengkoreksian atas pemalsuan sejarah yang dilakukan rezim Orba.

Melihat film ini "40 TAHUN KEHENINGAN". Suatu TRAGEDI INDONESIA. siapa saja yang menghormati fakta-fakta sejarah yang selama ini merupakan tabu kalau mengungkapnya apalagi membicarakannya, -- akan melihat bahwa permulaan pelanggaran hukum, diinjak-injaknya hak-hak azasi manusia, dimulai pada periode ketika Jendral Suharto merebut kekuasaan riil, di saat Presiden Sukarno formal masih memimpin negara dan pemerintahan RI .

Film "40 TAHUN KEHENINGAN" memperoleh Award of Excellence di Festival Film Internasional untuk Perdamaian, Inspirasi dan Kesetaraan. Pernah ditayangkan di Jakarta pada tganggal 30 Agustus 2012. Patutlah film *"40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy", *disambut sebagai suatu usaha untuk melempangkan sejarah yang dibengkokkan rezim Orba.

* * *

Film dokumenter kedua adalah “The Act Of Killing”, karya sutradara Joshua Oppenheimer.



Seperti yang dinarasikan oleh Step Vaessen, wartawan berbangsa Belanda yang fasih berbahasa Indonesia, karyawan jurnalis pada Stasiun TV Timur Tengah “ALJAZEERA”, -- Selama kurang lebih setengah abad belum pernah ada para pelaku, algojo-algojo pembantaian masal dalam Peristiwa 65 di Sumatera Utara dan Bali, yang terang-terangan mengakui bahwa mereka membunuh sendiri antara 600 sampai 1000 korban yang dituduh atau dianggap Komunis.

Step Vaessen bertanya kepada Anwar Congo, pelaku pembunuhan orang-orang yang Komunis atau dianggap Komunis di Sumatera Utara, apakah dia tidak merasa bersalah melakukan pembunuhan tsb. Dengan bangga dan santai dijawab oleh Anwar Congo, bahwa ia samasekali tidak merasa bersalah dan tidak menyesal. Karena yang dibunuh itu adalah Komunis, Komunis harus dibasmi. Anwar Congo menyatakan dalam film dokumenter itu bahwa ia bersedia bikin film itu, supaya PKI jangan lagi ada di Indonesia.

Di Bali saalah seorang pelaku pembunuhan masal adalah seorang yang pernah penari Bali. Ia juga dengan bangga menyatakan bahwa ia dan kawan-kawannya telah membunuh kurang lebih 600 korban yang dikatakannya adalah Komunis. Ia tidak merasa menyesal dan tidak merasa bersalah.

Film “The Act of Killing” mengngkapkan bahwa para algojo di Sumatera itu, tergabung dalam orgnisasi Pemuda Pancasila. Mereka leluasa mengadakan kegiatan samnpai sekarang. Dan oleh sementara fihak (yang berkuasa) dianggap pahlawan. Diungkapkan juga bahwa para pelaku pembantaian di Sumatara Utara itu bertindak atas backing fihak militer. Mereka sebelumnya adalah para preman yang menguasai bioskop-biosko di Medan.

* * *

Mari ikuti apa yang dijelaskan oleh WIKIPEDIA, tentang film “The Acg of Killing”
SINOPPSIS:
Ketika pemerintah Indonesia digulingkan oleh militer pada 1965, Anwar dan kawan-kawan 'naik pangkat' dari preman kelas teri pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh. Mereka membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri.
Hari ini, Anwar dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.
Jagal bercerita tentang para pembunuh yang menang, dan wajah masyarakat yang dibentuk oleh mereka. Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP. Jagal adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.
Pada masa mudanya, Anwar dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius. Di tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victo Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.” Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.
Dalam Jagal, Anwar dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop. Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.
Kemudian sutradara film menantang Anwar dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.
Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.
Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.

Produksi

Film ini sebagian besar gambarnya diambil di sekitar Medan, Sumatera Utara, Indonesia antara 2005 sampai 2011. Pengambilan gambar dan wawancara selama tujuh tahun ini menghasilkan kurang lebih 1.000 jam rekaman. Diperlukan banyak editor dan waktu satu setengah tahun di London dan Copenhagen untuk menyunting rekaman tersebut menjadi film ini. Penyuntingan suara dan koreksi warna dilakukan di Norwegia.

Festival dan Penghargaan

Pemutaran perdana internasional The Act of Killing diselenggarakan pada September 2012 di Toronto International Film Festival. Film ini juga diputar pada Telluride Film Festival. Selanjutnya, pada November 2012, The Act of Killing mengikuti Copenhagen Documentary Film Festival (CPH:DOX) dan memenangkan penghargaan Grand Prize pada festival tersebut.



* * *

No comments: