Tuesday, October 15, 2013

DIALOG Interaktif Di Facebook -- : Mengapa BELANDA Menolak Mengakui De Jure – Republik Indonesia Proklamasi 1945?

Kolom IBRAHIM ISA Senin, 14 Oktober 2013 ---------------------- DIALOG Interaktif Di Facebook -- : Mengapa BELANDA Menolak Mengakui De Jure – Republik Indonesia Proklamasi 1945? * * * Setelah disosialisasikannya tulisan (Kolom Ibrahim Isa - 12 Okt. 2013) -- sekitar masalah penolakan pemerintah Belanda mengakui de jure negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, -- bisa di baca di media internet, pelbagai respons mengenai kasus tsb. Antara lain respons dari Prof Dr Said Salim, mantan Dubes RI di Praha; Yanti Mirdayanti – dosen di Universitasw Hamburg, Jerman, dan banyak mahasiswa post graduat Indonesia yang sedang studi di Belanda, dan pelbagai kalangan di Indonesia. Di bawah ini disiarkan a.l beberapa respons tsb. Masalah ini menjadi hangat kembali dengan kunjungan Ketua KUKB, Batara Hutagalung, ke negeri Belanda (10 – 13 Oktober 2013). Batara Hutagalung mengajukan masalah tsb dalam pertemuannya dengan Prof Dr Henk Schulte Nodholt, Pimpinana KITLV, Leiden, -- dan dalam percakapannya dengan Harry Van Bommel, anggota Tweede Kamer (Parlemen) wakil Partai Sosialis (SP), dan Angeline Eisjink wakil Partai Buruh, PvDA di Parlemen, Den Haag. Kemudian dalam pertemuan dengan pelbagai kalangan masyarakat Indonesia di Belanda, Batara Hutagalung memberikan penjelasan panjang lebar mengenai masalah tsb. Disampaikannya pula ide untuk mengadakan SEMINAR DI BELANDA, DALAM TAHUN 2014, dengan tema sekitar Hubungan Indonesia-Belanda, dengan fokus masaalah pengakuan de jure pemerintah Belanda atas Repbulik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. * * * Segi lain dari masalah pengakuan de jure oleh Belanda atas Republik Indonesia 17-08-945, seperti dikemukakan dalam tulisan terdahulu, ialah masalah “Indische Weigeraars”. Ketika Belanda mengirimkan pasukan KL ke Indonesia untuk melikwidasi Republik Indonesia, ratusan anggota militer KL menolak dikirim ke Indonesia, atas dasar politik ataupun keyakinan agama. Mereka ditangkap dan divonis desertir dan dipenjarakan. Dikeluarkan dengan tidak hormat dari tentara. Mereka yang menolak dikirim ke Indonesia itu, terkenal dengan nama “Indische Wigeraars”, ternyata benar. Nyatanya pemerintah Belanda sendiri akhirnya melalui Persetujuan KMB meninggalkan Indonesia. Para “Indische Wegeraars” sekarang menuntut keadilan, ,menuntut pemerintah merehabilitasi mereka, dan vonis mereka itu “desertir”supaya dicabut. Untuk memperoleh gambaran lebih jelas mengenai kasus “Indische Weigreraars” tsb dibawah ini dilampirkan sebuah tulisan besangkutan dengan masalah tsb berjudul: DUA “INDIË-WEIGERAARS” (Mantan KL Yg Membangkang Dikirim ke Indonesia) GUGAT Vonis Pengadilan Militer Belanda 60 Tahun y.l * * * Beberapa respons: SURYADI SUNURI, Leiden Generasi muda politikus Belanda harus berani 'memotong' kanker sejarah negerinya yang memalukan ini. Jika tidak, akan sulit dicapai kemajuan baru dan pencerahan dalam hubungan diplomatik INDONESIA - BELANDA. Generasi Rutte harus tegar dan mengakui bahwa para pendahulunya dulu tak luput dari perbuatan2 yang menyalahi hakikat kemanusiaan. * * * Prof Salim Said, Jakarta, 13 okt 2013 Santunan Pemerintah BelandaKepada Beberapa Janda Tua di Sulawesi Selatan dan tafsiran politiknya. Karena Belanda tidak mengakui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, maka hingga pengakuan kedaulatan, Desember 1949,orang Indonesia di mata Belanda adalah masih warga/kaula Belanda. Maka pada saat beberapa janda tua menerima uang kompensasi/santunan atas kematian keluarga mereka oleh aksi teror Westerling tahun 1946 di Sulawesi Selatan, status para janda tua di mata Belanda adalah kaula Belanda. Santunan tersebut harus dilihat sebagai santunan dari pemerintah Belanda kepada warga negaranya sendiri. Tafsirannya, Belanda merasa bersalah karena tentaranya (Westerling) mengorbankan/membantai warga negaranya sendiri. Dengan kata lain, tidak ada dampak politik bagi Belanda atas pemberian kompensasi kepada janda tua tersebut.Permintaan maaf Dubes Belanda lebih merupakan pernyataan menyesal pemerintah Belanda atas kebrutalan tentaranya kepada warga negara mereka sendiri. Jelasnya,bukan permintaan maaf kepada Indonesia. Jadi jangan dibaca terlalu jauh pemberian santunan kepada beberapa Janda tua di Sulawesi Selatan tersebut * * * SANTY MY, – Dosen Di Universitas Hamburg, Jerman Hamburg, 13 okt 2013 MENGAPA SAMPAI SAAT INI BELANDA MASIH KEUKEUH MENYEBUTKAN BAHWA INDONESIA MERDEKA TAHUN 1949 : Bila pemerintah Belanda mengakui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sebagai hari berdirinya negara Republik Indonesia, maka situasi ini akan menempatkan pemerintah Belanda harus mempertangungjawabkan dua kali agresi militer yang diselubungi dengan istilah “aksi polisionil” terhadap negara Republik Indonesia. Agresi pertama pada tanggal 21 Juli 1947 dan agresi militer kedua pada tanggal 19 Desember 1948. Follow-upnya ialah, bahwa Belanda harus membayar pampasan perang terhadap negara Republik Indonesia yang diagresinya. Selain itu harus mengembalikan “pampasan perang” yang (terpaksa) dibayar pemerintah Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai kelanjutan dari Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Repubik Indonesia dan Kerajaan Belanda (Den Haag, 1949). Suryadi Sunuri Generasi muda politikus Belanda harus berani 'memotong' kanker sejarah negerinya yang memalukan ini. Jika tidak, akan sulit dicapai kemajuan baru dan pencerahan dalam hubungan diplomatik INDONESIA - BELANDA. Generasi Rutte harus tegar dan mengakui bahwa para pendahulunya dulu tak luput dari perbuatan2 yang menyalahi hakikat kemanusiaan. D.s. Dhani Dan seperti yang kita ketahui, tidak mungkin Belanda mau mengembalikan "pampasan perang" itu. Kalau itu dibayar, konsekuensinya berat. Bukan hanya uang, tetapi selain gengsi sebagai negara maju, bagaimana dengan kedudukan orang-orang Indonesia -terutama yang "membela" Belanda dalam KMB- dalam sejarah Belanda (dan Indonesia tentunya) yang sekarang hidup beranak-pinak di Belanda? Mereka sekarang ini di sana hidupnya cukup baik, secara ekonomi maupun secara posisi sosial. * * * Mohamad Agar Kalipke Seharusnya Belanda bertanggung jawab seperti Jerman. Pemerintah Jerman sampai sekarang "berutang moral" dan berutang "bungkam" terhadap kaum Yahudi, walaupun itu masa yang berlalu, tetapi perbutan Hitler yang laknat terhadap bangsa Yahudi yang tidak berdosa. Berbuatlah seperti Jerman, wahai sahabat kami Belanda; sesungguhnya kami tahu itu bukanlah perbuatan kalian zaman sekarang, melainkan perbuatan nenek moyang kalian zaman dahulu. Kita sekarang bersahabat, tetapi setidaknya lakukan keadilan membantu bangsa Indonesia di segala bidang dengan segala kekurangan kami. Catatan: ini bukan semua orang Belanda yang menyukai konlonial! * * * Kolom Ibrahim Isa Minggu, 16 Desember 2012 DUA “INDIË-WEIGERAARS” (Mantan KL Yg Membangkang Dikirim ke Indonesia) GUGAT Vonis Pengadilan Militer Belanda 60 Tahun y.* * * INDONESIA BISA BELAJAR DARI BELANDA! * * * Perisiwa ini sangat unik dan relevan dengan situasi kita. Para aktivis HAM dan masyarakat umumnya bisa belajar dari keuletan dan konsistensi perjuangan dua mantan tentara Belanda. Mereka memperjuangkan keadilan bagi mereka sendiri dan kebenaran sikap mereka yang membangkang ketika akan dikirim ke Indonesia untuk berperang melawan Republik Indonesia. Mereka memperjuangkan rehabilitasi nama baik dan integritas sikap mereka ketika itu. * * Peristiwanya: ----- Kasus dua orang mantan tentara Belanda yang sudah “manula”; -- Jan van Luyn (83 th) dan -- Jan van Maassen (86 th). . . . Mereka berdua menggugat vonis yang dijatuhkan terhadap mereka 60 tahun y.l. Mereka dituduh melakukan “desersi”. Ketika itu Belanda melancarkan perang terhadap Republik Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Kedua anggota KL (Koninklijke Leger – Tentara Kerajaan Belanda) tsb menolak dikirim ke Indonesia. Mereka membangkang, tidak mau, -- atas nama melakukan tugas “memulihkan ketertiban” di Indonesia – hakikatnya berperang melikwidasi Republik Indonesia yang baru merdeka. Mereka merasakan betapa menderita di bawah pendudukan Jerman Hitler (1940-1945); betapa merasa bersyukur negeri Belanda telah dibebaskan oleh tentara Sekutu (Canada). Maka mereka merasa (negeri) Belanda yang baru dibebaskan itu, tidak berhak dan tidak benar mengirimkan tentara ekspedisi untuk menindas bangsa Indonesia yang sudah memerdekakan dirinya dari pendudukan Jepang. Mereka menolak membunuhi rakyat Indonesia yang telah memilih merdeka lepas dari Nederland. Mereka tidak mau disuruh “memberantas pemuda-pemuda ekstremis Indonesia di bawah pimpinan Sukarno, yang (katanya) membunuhi orang-orang Belanda pada periode “Bersiap”. Anggolta-anggota tentara Belanda yang akhirnya mengambil bersikap demikian itu, tidak hanya mereka berdua saja. Masih ada ratusan lainnya, rekan-rekan mereka yang juga “menolak” dikirim ke Indonesia. Dan oleh karena itu dijatuhi hukuman dengan diberi cap “desertir”. Jelas, mereka menganggap vonis itu sewenang-wenang dan tidak adil. Padahal mereka yakin benar bahwa penolakan mereka itu didasarkan dan didorong oleh rasa kemanusiaan, keadilan dan kebenaran terhadap rakyat Indonesia. Dan ini mereka perjuangkan terus, lebih 60 tahun lamanya. Dan sekarang ini resmi dan formal diajukan ke lembaga peradilan Belanda untuk ditinjau kembali dan dibatalkan. Bukankah dari kasus mantan tentara Belanda van Luyn dan van Maassen ini, para aktivis HAM dan demokrasi serta seluruh masyarakat kita bisa menarik pelajaran yang positif. Menarik pelajaran dari perjuangan demi keadilan dan kebenaran yang dilakukan oleh “pembangkang-pembangkang” tentara Belanda yang menolak diperintahkan bertempur melawan Republik Indonesia?? * * * Jan van Luyn dan Jan van Maasen divonis oleh Pengadilan Tinggi Militer Belanda (Hoog Militair Gerechtshof) dalam tahun 1950 dan 1951 karena “dienstweigering”, menolak dinas militer. Jan van Luyn diganjar 3 tahun penjara. Menteri Kehakiman Belanda juga mencabut hak-pilihnya untuk waktu lima tahun. Sedangkan Van Luyn dipenjarakan selama dua tahun. * * * Dalam kasus naik banding ke Pengadilan Tinggi (Hoge Raad) menggugat vonis tsb kedua orang mantan tentara Belanda itu (sungguh menarik sekali) dibela oleh advokat Mr Liesbeth Zegveld. Mr Liesbeth Zegveld, adalah advokat Belanda yang yang sama, yang telah membela para janda korban pembantaian terhadap penduduk Rawagede oleh tentara Belanda (1947). Kasus tuntutan para janda korban pembantaian Belanda, akhirnya dimenangkan Pengadilan Den Haag dalam gugatannya terhadap pemerintah Belanda (2011). Kali ini, -- lagi-lagi advokat Zegveld itu, yang mengajukan tuntutan kepada Hoge Raad Belanda, (Jum'at pekan lalu), untuk meninjau kembali vonis terhadap dua mantan tentara Belanda tsb. Advokat Zegveld mendasarkan gugatannya itu atas kenyataan bahwa dua puluh tahun setelah berlangsungnya agresi pertama dan kedua Belanda terhadap Republik Indonesia

No comments: