Saturday, October 5, 2013

'Hidupku Jungkir Balik Akibat G30S'

Kolom IBRAHIM ISA Selasa, 01 Oktober 2013 ---------------------------------- 'Hidupku Jungkir Balik Akibat G30S' * * * 30 September 2011, dua thun yang lalu, JulianiWahjana, jurnalis Radio Hilversum, Belanda, Seksi Indonesia, berinisiatif, mewawancarai aku, dalam rangka Radio Nederland Wereldomroep (Radio Belanda Siaran Inernasional) ketika itu “memperingati” kejadian drastis yang menjungkir balikkan perkembangan politik di Indonesia, -- Peristiwa Gerakan 30 September – “G30S”. Kemarin, aku sudah menulis Kolom, sekitar Peristiwa “:G30S” dan situasi dewasa ini. Kali ini disiarkan kembali wawancara JULIANI WAHJANA dari Radio Nederland: * * * 'Hidupku Jungkir Balik Akibat G30S' Diterbitkan : 30 September 2011 Oleh: JULIANI WAHJANA ( www.ranesi.nl) * * * Peristiwa 30 September 1965 terjadi 46 tahun lalu. Bisa dibilang lama bagi yang tidak mengalaminya. Tapi bagi mereka yang terlibat langsung, peristiwa yang mengubah sejarah Indonesia dan jalan hidup banyak anak manusia itu, ibarat kejadian kemarin saja. Walaupun sudah 46 tahun berlalu dan belakangan terdapat upaya untuk mengungkap apa yang terjadi pada waktu itu, tapi kebenaran belum seluruhnya muncul ke permukaan. Warisan beban masa lalu dari peristiwa G30S, harus suatu saat dituntaskan, semakin cepat semakin baik. Penting, bukan saja bagi mereka yang terlibat langsung serta anak-cucu mereka yang sampai sekarang masih menyandang dampaknya, tapi juga bagi generasi-generasi seterusnya, supaya mereka tidak perlu lagi menyandang beban ini. Ibrahim Isa, 81 tahun, menyebut diri sebagai nasionalis Indonesia dan bermukim di Belanda, adalah satu dari sekian banyak anak manusia yang jalan hidupnya berubah drastis akibat peristiwa G30S itu. Getir "Getir ... ya ... karena paspor saya dicabut, dibatalkan. Pada permulaan Januari 1966, di Havana (ibukota Kuba, Red) berlangsung konperensi internasional untuk rakyat bangsa-bangsa Asia-Afrika-Amerika Latin. Konperensi penting yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi termasuk organisasi kami di Kairo, di mana saya duduk sebagai wakil Indonesia. Jadi saya ambil bagian aktif dalam konperensi ini. Ketika saya ada di Jakarta pada bulan Oktober (1965, Red), saya lihat keadaan jungkir balik di Indonesia. Saya sudah perhitungkan pasti dari Indonesia tidak akan mengirimkan delegasi sebab ini delegasi rakyat. Gerakan ini di Indonesia isinya banyak orang kiri dan sudah banyak yang ditangkap dan hilang. Bentuk Delegasi Ketika saya tiba di Havana, Desember 1965, saya jelaskan pada panitia pengorganisasi bahwa di Indonesia terjadi begini-begini sehingga tidak akan mampu mengirim orang ke Havana. Terus panitia mengatakan, kalau begitu Bung Isa saja yang mewakili karena Bung kan mewakili Indonesia di Kairo di gerakan Asia Afrika. Saya jawab saya tidak bisa sendiri, mesti bersama-sama dengan yang lain. Kebetulan banyak teman lain yang ada di luar negeri. Saya minta mereka, akhirnya ada tujuh atau delapan orang membentuk delegasi Indonesia. Dua Delegasi Tiba-tiba datang delegasi dari Indonesia, diketuai Brigjen Latief Hendraningrat. Saya lihat komposisi delegasi ini, ketuanya jenderal, salah satu orang terpenting letkol, yang lain-lain saya tidak kenal. Saya jelaskan pada panitia. Saya bilang ini bukan delegasi rakyat, non governmental, tapi dikontrol militer. Dilemanya, Pak Latief ini adalah teman saya. Dia Anggota Parlemen Komisi Luar Negeri, mewakili PNI (Partai Nasional Indonesia, Red), tapi masih jenderal. Secara hirarkis, dia di bawah Soeharto. Ketika ketemu Pak Latief, saya tanya apa yang mau dibicarakannya dalam konperensi. Dia bilang: "Saya garis PNI, garis Presiden Soekarno, anti imperialisme, ganyang Malaysia, dan sebagainya." Saya jawab mereka tidak mau dengar tentang itu. Mereka tahu ada pergolakan di Jakarta dan mereka ingin tahu bagaimana Presiden Soekarno. Sebab Presiden Soekarno diketahui sebagai tokoh yang mendukung gerakan kemerdekaan. Karena dia bilang tidak bisa jelaskan hal itu, saya bilang saya yang akan jelaskan. Tapi dia bilang tidak bisa. Tidak tercapai sepakat, maka diajukanlah ke komite. Mereka putuskan menerima wakil yang dipimpin Isa. Jakarta Marah Di situlah Jakarta marah sekali. Di Jakarta hanya ada dua koran, Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Di situ dimuat bahwa Isa ini adalah orangnya G30S yang ada di luar negeri, melakukan subversi, menjelek-jelekkan Indonesia, dan sebagainya. Itulah yang menyebabkan paspor saya dan teman-teman dicabut tanpa proses, tanpa ditanya. Kalau boleh dibilang, itulah satu titik balik besar pada hidup saya. Tapi kalau ditanya apakah saya menyesal? Tidak. Saya tidak menyesal. Kalau kita berbuat demi cita-cita yang kita anggap benar, adil, dan mulia, itu pasti ada resikonya. Ini saya anggap sebagai resiko yang harus dihadapi. Saya hanya sedih ... sampai sekarang, melihat teman-teman yang ditangkap, banyak yang disiksa, dan juga banyak yang sudah tidak ada. Ini sangat sedih. Tapi kesedihan ini tidak merintangi saya untuk meneruskan kegiatan." Ibrahim Isa dalam laporan J.Wahjana * * *

No comments: