Tuesday, October 15, 2013
Inti Konflik Indonesia-Belanda, . . . .
Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 12 Oktober 2013
----------------------
Inti Konflik Indonesia-Belanda, adalah
Mengakui Atau Tidak Mengakui PROKLAMASI KEMERDEKAAN , 17 AGUSTUS 1945
* * *
Adalah mengenai masalah tsb diatas, --- yaitu kasus “Pengakuan DE JURE oleh Belanda Atas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 Oleh Sukarno – Hatta” – – mengenai masalah PENGAKUAN ini yang diperbincangkan dan diangkat dalam kolom ini.
Dilihat dari pandangan perlunya menghkhayati dan memantapkan Kesadaran Sejarah, Kesedaran Berbangsa, maka mempersoalkan masalah tsb diatas merupakan bagian penting, dalam proses mengenal lebih rinci dan kongkrit sejarah bangsa sendiri dan dengan demikian merupakan kegiatan dan usaha pencerahan sejarah Indonesia. Bukankah mengenai sejarah bangsa sendiri masih sangat minim diketahui masyarakat? Khususnya di kalangan generasi muda kita. Karena, semasa sekolah dulu, siswa-siswa melulu dicekoki dengan sejarah yang diplintir, dipalsu dan direkayasa oleh rezim Orde Baru.
* * *
Kemarin malam, hari Jum'at, 11 Oktober 2013, . . . . Meskipun cuaca buruk, sepanjang hari hujan membasahi terus bumi Belanda, namun . . . mulai jam 18.00 s/d jam 20.45, sekitar 20 warga Indonesia berkumpul di Hembrugstraat 148, Amsterdam. Mereka membicarakan masalah sejarah bangsa. Atas undangan Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, para tamu tsb berdatangan dari Amsterdam dan sekitarnya, Almere dan Leiden. Juga hadir dua orang penulis Belanda.
Inti tema diskusi yang dipandu pembicara utama BATARA HUTAGALUNG, “Ketua Komite Utang Kehormatan” (KUKB), . . adalah Sekitar pendirian dan sikap Pemerintah Kerajaan Belanda. . . . Mengakui atau Tidak Mengakui de jure Negara Republik Indonesia yang berdiri di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agusus 1945.
Perhatian peserta diskusi cukup besar . . .. Ambil bagian dalam diskusi atas undangan Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, adalah, a.l Eddy Djoenaedi (Ketua Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, YBTK), dan dua orang anggota Pengurus YBTK – Irma Pasaribu dan Farida Ishaya; Aminah Idris ( Stichting Dian), Sarmaji dan Gogol (Perdoi), dan Mintardjo Sardjio (Diskusi Lintas Generasi, Oestgeest.), dan I. Isa dari Stichting Wertheim.
* * *
Sahabatku Batara Hutagalung, menjelaskan bahwa kunjungannya ke Belanda, adalah untuk bertemu dengan Prof Dr Henk Schulte Nordholt (KITLV) dan dua orang anggota Tweede Kamer (Parlemen) Belanda, Harry Bommel (SP-Partai Sosialis) dan Angeline Eijsink (PvDA – Partai Buruh). Misinya adalah untuk menjelaskan bahwa:
Tuntutan utama KUKB adalah pengakuan de jure terhadap proklamasi 17.8.1945, dan bukan kompensasi untuk 100 atau 200 orang.
* * *
Bagi pemerinth Belanda masalah mengakui atau tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, telah memojokkan dirinya sendiri dalam posisi seperti makan buah simalakama. Belanda ada dalam posisi serba salah.
Bila berkeras tidak hendak mengakui de jure negara Republik Indonesia yang diprokalamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan bersilat lidah, menggunakan perumusan diplomatik yang megecoh, seperti yang dilakukan oleh Menlu Belanda, Ben Bot ( 16/8/2005), < Ben Bot menyatakan di Jakarta a.l “... Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence ...”> . . .maka sikap ini akan selalu merupakan kendala dalam hubungan baik, wajar dan saling menghormati, antara kedua negara yang sama derajat.
Di lain fihak, --- bila pemerintah Belanda mengakui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sebagai hari berdirinya negara Republik Indonesia, situasi ini akan menempatkan pemerintah Belanda harus mempertangungjawabkan dua kali agresi militer yang diselubungi dengan istilah “aksi polisionil” terhadap negara Republik Indonesia. Agresi pertama pada tanggal 21 Juli 1947 dan agresi militer kedua pada tanggal 19 Desember 1948.
Follow-upnya ialah, bahwa Belanda harus membayar pampasan perang terhadap negara Republik Indonesia yang diagresinya. Selain itu harus mengembalikan “pampasan perang” yang (terpaksa) dibayar pemerintah Indonesia kepada pemerinttah Belanda sebagai kelanjutan dari Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Repubik Indonesia dan Kerajaan Belanda (Den Haag, 1949).
Belum lagi persoalan yang pasti timbul dari fihak kalangan militer Belanda. Para mantan Kl dan KNIL, akan mengajukan tuntutan keadilan, atas kerugian dan pengorbanan yang mereka derita di masa lalu. Ketika mereka diperintahkan untuk melakukan dua kali agresi militer besar-besaran terhadap Republik Indonesia., atas nama membela keamanan dan kedaulatan Kerajaan Belanda dari ”serangan kaum teroris dan ekstremis Indonesia.”. Lagipula para anggota militer Belanda, KL, yang ketika itu memolak dikirim ke Indonesia untuk berperang melawan Republik Indonesia, kemudian divonis sebagai disertir, dan dipenjarakan, akan dibenarkan atas tindakan mereka yang ketika itu membangkang terhadap pemerintah Kerajaan Belanda. Dan harus direhabitiasi nama baik dan hak-haknya.
Maka bisa diperkirakan betapa besar tanggung jawab politik, militer dan
keuangan yang harus dipikul Belanda, bila secara jelas dan formal Belanda melakukan pengangkuan de jure atas negara Republik Indonesia yang diprokalamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
* * *
Sikap pemerintah Indonesia, sehrusnya, menurut KUKB, adalah sbb:
Pengakuan de jure terhadap Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah masalah MARTABAT sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Apabila bangsa Indonesia membiarkan sikap Belanda ini, maka dengan kata lain, bangsa Indonesia membiarkan sikap Belanda, bahwa yang ada di makam-makam pahlawan di seluruh Indoesia adalah para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.
Belum ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pemerintah Belanda akan mengubah sikapnya yang “plin-plan” berkenaan dengan pengakuan de jure atas Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945.
Ini tampak dari pemberitaan yang diluncurkan di Belanda sekitar kunjungan mendatang Perdana Menteri Beland Rutte ke Indonesia.
Bulan November yad, PM Rutte dari Kerajaan Belanda akan berkunjung ke Indonesia. Menurut Dubes Belanda untuk Indonesia, kunjungan PM Rutte ke Indonesia tujuannya adalah dalam rangka “melihat kedepan”. Berarti tidak akan membicarakan soal-soal “tempo doeloe”.
Lebih tegas lagi, kunjungan Perdana Menteri Rutte ke Indonesia, tidak untuk a.l minta maaf atas kesalahan dan kejahatan Belanda selama menguasai Hindia Belanda. Beliau ke Indonesia bukan untuk mengakui de jure negara Republik Indonesia, yang dipoklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
* * *
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment