Monday, July 14, 2014

BACA ESAY JOSS WIBISONO - "MERASA PERKASA" MENGGUGAH, MENCERAHKAN DAN MENGESANKAN!



Kolom IBRAHIM ISA
Selasa sore, 08 Juli 2014
----------------------------------

BACA ESAY JOSS WIBISONO - "MERASA PERKASA"
MENGGUGAH, MENCERAHKAN DAN MENGESANKAN!


* * *

Terima kasih atas kiriman tulisan ini . . Mas Joss . . . Dengan foto bersama Fitri Nganthi Wani yang . .  menarik . . .
Lebih sepuluh tahun yang lalu aku berkenalan dengan putri Widji Thukul ini di rumahnya di Solo.. . .
Sekarang Wani sudah seorang ibu . . . . . . .

* * *

Aku sarankan teman-teman dan pembaca umumnya BACA ESAY JOSS WIBISONO - "MERASA PERKASA"

Aku bisa mengkhayatinya , meskipun kewarganegaraanku dicabut rezim Orde Baru, hampir setengah abad y.l.

* * *

Baca esay Joss !.

Sungguh menggugah, menyemangati, juga mencerahkan . . .

SANGAT LUGU DAN TRANSPARAN

Tidak 'asbun' seperti sementara corat-coret di mailist dan FB.

Good for you JOSS BISONO! 

GOD BLESS YOU JOSS!

* * *

JOSS WIBISONO:
Merasa Perkasa” ,
06 Juli 2014

Hari ini 5 Djuli 2014, saat berlangsung tjoblosan di KBRI Den Haag, diriku tiba2 merasa perkasa, perkasa sekali. Perkasa karena ternjata diriku diminta untuk menentukan nasib empat orang jang ber-tjita2 memimpin negeriku. Untuk tjita2 itu betapa mereka sekarang begitu tergantung pada suaraku. Memang bukan suaraku semata, tapi paling sedikit suaraku ikut menentukan berhasil tidaknja mereka mentjapai tjita2 itu. Kesadaran inilah jang membuwatku merasa perkasa.

Tak pernah aku punja perasaan seperti ini. Dan harus kuakui bahwa setelah orde bau bubaran baru pertama kali ini aku dengan sadar menentukan pilihanku. Selama orang kuwatnja berkuwasa tak pernah aku sudi ikut pemilu. Seingatku hanja pada pemilu 1999 aku memberikan suara. Waktu itu aku ikut pemilu lantaran tidak mau Golkar kembali berkuwasa. Djadi bukan lantaran aku benar2 mendukung PDIP, partai jang waktu itu kutjoblos.

Tapi sekarang beda sekali. Sekarang ini, tatkala aku memberikan swara untuk keduwa kalinja dalam hidupku, aku sadar sekali siapa pilihanku. Jang djelas aku tak mau mengchianati Fitri Nganthi Wani dan Mugiyanto Sipin jang Kamis 3 Djuli kutemui di Amsterdam. Tentu djuga Fajar Merah jang belum pernah kutemui dan ibu mereka Sipon.
Medjeng bareng Fitri Nganthi
                Wani di Nationaal Monument, Dam, Amsterdam
Medjeng bareng Fitri Nganthi Wani di Nationaal Monument, Dam, Amsterdam

Begitu pula diriku tak ingin mengchianati Nezar Patria, Raharja Waluya Jati, Faizol Riza, dan Aan Rusdianto jang pada hari itu djuga, di tanah air, mengumumkan surat terbuka kepada Jokowi dan Jusuf Kalla. Kepada keduwanja mereka menghimbau supaja membereskan masalah orang hilang kalau terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.
Mendengar penuturan Wani tentang nasib keluwarganja ketika ajah tak ketahuan lagi rimbanja, betapa diriku merasa sangat tidak berdaja.

Kubajangkan zaman di Salatiga, ketika sering gujonan dengan Wiji Thukul, bahkan dia ku-budjuk2 supaja ikut kuliah dosenku, sebagai pendengar. Sekarang ternjata ada orang jang menjatakan bahwa penjair Wiji Thukul sebenarnja masih hidup tjuma dia telah menggunakan djati diri lain. Apa jang bisa kuperbuwat menghadapi orang jang tidak punja hati ini? Belum lagi memikirkan 12 orang lain jang sampai sekarang belum djuga kembali, seperti Wiji Thukul, ajah Wani dan Fajar, suami Sipon.

Betapa diri ini lunglai tak berdaja, tak bisa berbuwat apa2.
Tiba2 ketidakberdajaan itu hilang ketika tanganku menggenggam surat swara. Inilah saatnja kutentukan pilihanku. Dan djelaslah siapa jang kupilih. Aku memilih Ir H Joko Widodo dan Jusuf Kalla: bukan hanja karena aku tak mau mengchianati teman2 jang pernah ditjulik dan keluarga mereka. Aku memilih tjapres nomer duwa ini djuga karena aku berharap masalah teman2 ini akan dibereskan. Lebih dari itu, aku memilih mereka untuk membuktikan keperkasaanku terhadap tjapres pertama.

Sekarang aku tak sabar lagi menunggu Rabu 9 Djuli mendatang ketika hasil pemungutan suara akan diumumkan. Aku sangat berharap pilihanku adalah djuga pilihan sebagian besar elektorat tanah air. Dengan begitu aku akan bisa berkata pada diriku sendiri bahwa, kalau terpilih, tjapres keduwa ini adalah djuga pilihanku. Dia presiden pilihanku, presiden kebanggaanku.

* * *
Medjeng
            bareng Fitri Nganthi Wani di Nationaal Monument, Dam,
            Amsterdam

No comments: