Monday, July 14, 2014

"MEREKA YG TAK TERUSIK HATI NURANINYA DLM MEMFITNAH . . . "TAK AKAN TERUSIK HATINYA DLM MELAKUKAN KECURANGN LAIN . .

Kolom Ibrahim Isa
Sabtu Pagi, 12 Juli 2014
------------------------------


"MEREKA YG TAK TERUSIK HATI NURANINYA DLM MEMFITNAH . . .

"TAK AKAN TERUSIK HATINYA DLM MELAKUKAN KECURANGN LAIN . .

*    *    *

Budayawan Goenawan Mohamad, yang dengan teliti, tekun mengikuti dan menelusuri serta menganalisis perubahan mental, 'kemerosotan' hati nurani di kalangan politisi menjelang dan selama kampanya pilres 2104 . . . a.l. memberikan kesimpulan yang dikutip diatas . .

Dengan prihatin dan gundah Goenawan mengemukakan bahwa;

"Kita tengah mengalami sebuah sejarah baru di Indonesia: sejarah kekerasan dalam bentuk bukan pembunuhan, atau belum pembunuhan, melainkan dalam bentuk penghancuran nilai-nilai dasar itu.

*    *    *

Berita pertama sudah masuk mengenai kejanggalan SURAT SUARA di beberapa tempat, yang menunjukkan adanya ketidak beresan, Ini kiranya yang dimaksudkan oleh Goenawan, sebagai 'kecurangan lain'.

Esay padat Goenawan Mohammad adalah manifestasi keprihatinan terhadap nasib bangsa kita. Sekaligus merupakan canang untuk mewaspadai dan menjaga agar penghitungan suara berjalan mulus dan lancar. Setiap kecurangan segera diungkap, dibongkar dan ditindak . .


*    *    *


GOENAWAN MOHAMAD

TAK TERUSIK

Mereka yang tak terusik hati nuraninya dalam memfitnah sedemikian rupa seperti selama pemilihan presiuden 2014 ini, tak akan terusik hati nuraninya dalam melakukan kecurangan-kecurangan yang lain. Bagi mereka, kemenangan -- biarpun untuk lima sampai 10 tahun saja -- adalah segala-galanya. Bagi mereka, apa yang efektif lebih penting ketimbang apapun.

Saya tak akan heran bila pelan-pelan kerusakan akan terjadi pada kejiwaan mereka sendiri -- hanya berbeda dalam derajat dengan kerusakan yang umumnya terjadi pada psike pembunuh bayaran. Kasihan, sebenarnya, tapi lebih merisaukan ialah kerusakan yang terjadi kepada pergaulan sosial. Dan, dalam persaingan politik yang seperti ini, bisa menimbulkan keretakan serius dalam kehidupan kebangsaan kita.

Perilaku politik memang sering tak bisa diukur dari moralitas. Baik Sengkuni maupun Machiavelli menegaskan itu. Tapi ketika fitnah dan kecurangan jadi halal, bahkan jadi pola operasi, ketika dengan kekuasaan uang dan organisasi nilai-nilai dasar ("jujur", "saling menghargai") ditiadakan, persoalan politik menjadi persoalan moralitas.

Kita tengah mengalami sebuah sejarah baru di Indonesia: sejarah kekerasan dalam bentuk bukan pembunuhan, atau belum pembunuhan, melainkan dalam bentuk penghancuran nilai-nilai dasar itu.

Bersikap netral dalam pemihakan politik bisa saya terima. Tiap pihak punya cacat dan kelebihannya. Tapi bisakah kita diam menyaksikan penghancuran itu?
*    *    *

No comments: