Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 14 Juli 2011
-----------------------------
Sejarawan, Peneliti Senior LIPI, ASVI WARMAN ADAM Yang Konsisten!
< Rentetan Catatan Kunjungan Ke INDONESIA, Bg. – 06 >
Pada hari itu, 21 Juni 2011, di suatu pagi yang cerah, aku diundang Pusat Penelitian Politik LIPI. . . . . Surprise, surprise, dan merasa itu . . . . Suatu kehormatan! Yang memberikan kata pengantar pada pertemuan itu adalah Peneliti Senior LIPI, Aswi Warman Adam. Padaku diberitahukan, bahwa, adalah Kepala Peneliti Perkembangan Politik Lokal, Muridan S. Widjojo, yang berprakarsa mengundang aku ke LIPI. Tak kurang dari tigapuluhan para sejarawan dan peneliti LIPI dari generasi muda yang hadir pagi itu.
Secara agak rinci Asvi menguraikan mengapa dan bagaimana sampai begitu banyak warga Indonesia, yang 'kelayaban' di luarnegeri sebagai orang 'stateless'. Sebabnya ialah karena paspor mereka dicabut yang berwewenang di Jakarta sesudah terjadinya G30S.
* * *
Pembicaraan juga, tak bisa tidak, --- menyangkut masalah hubungan Indonesia-Belanda. Asvi sempat menyinggung adanya sidang pengadilan (20Juni 2011) di Den Haag mengenai kasus RAWA GEDE, Jabar. Pada tanggal 09 Desember 1947, sepasukan tentara KL Belanda, menyerbu desa tsb mencari gerilyawan Indonesia. Tidak dijumpai yang dicarinya, mereka membantai tidak kurang 431 penduduk Desa Rawagede. Sebagai 'peringatan' pada penduduk, supaya jangan berani-berani lagi membantu gerilyawan Republik Indonesia. Kejahatan tsb akhirnya diakui juga oleh Belanda. Tetapi menolak untuk menghukum pelaku pembantaian tsb, dan tak mau memberikan kompensasi pada keluarga korban. Jaksa dan wakil pemerintah Belanda, menolak tuntutan keluarga korban dengan alasan bahwa kasus itu sudah 'daluwarsa'. Inilah salah satu 'ganjalan' hubungan Indonesia-Belanda.
Aku sempat pula menjelaskan bahwa di Belanda juga terdapat tidak sedikit orang dan cendiakawan muda, penulis maupun sejarawan yang bisa dengan obyektif menilai kejahatan kolonialisme Belanda di masa lampau terhadap Indonesia. Salah seorang dari sejarawan itu adalah Herman Burgers, yang tahun lalu menulis buku sejarah hubungan Indonesia-Belanda, berjudul 'DE GARUDA EN DE OOIEVAAR'. Diterbitkan oleh KITLV, tahun 2010. Buku sejarah ini menurutku cuku obyektif dan berani dalam mengungkap kejahatan kolonialisme, serta kekerasan kepala politik Belanda mengenai masalah Irian Barat. Sehingga hubungan Indonesia-Belanda berlarut-larut memburuk terus oleh karenanya.
Juga kuceriterakan bahwa di Belanda ada sebuah buku yang ditulis oleh 9 orang sejarawan dan penulis berjudul “DE GRROOTSTE NEDERLANDER”, Orang Belanda terbesar. Diantara orang Belanda terbesar mereka masukkan nama Ir Sukarno. Yang telah berjuang sejak muda untuk kemerdekaan bangsanya. Aku bilang kepada teman-teman LIPI: Tidak pernah kubaca tulisan orang Belanda yang demikian baiknya tentang Ir Sukarno.
* * *
Aku merasa gembira dan kagum serta memberikn penghargaan, bahwa seorang Peneliti Senior LIPI, Asvi Warman Adam, hampir setengah abad sesudah terjadinya Tragedi 1965, masih memberikan perhatian begitu besar pada kasus pelanggaran HAM terhadap warga oleh penguasa ketika itu.
Sikap Asvi Adam Warma ini konsisten dengan yang ditulisnya dalam bukunya “MENGUAK MISTERI SEJARAH” (Juli, 2010). Mari kita baca apa yang ditulisnya dibukunya pada halaman 205, a.l sbb:
“Pentingnya sejarah untuk melegitimasi kekuasaan telah disadari oleh Nasution serta Suharto dan pada masa Orde Baru dijalankan secara sepihak. Namun perang sejarah yang terbuka telah berkecamuk terutama pada era reformasi, bahkan belum berakhir sampai hari ini. Masarakat dapat membandingkan dan menilai sendiri. Namun yang jelas, berbagai pelanggran HAM yang terjadi pada masa lampau terlepas dari masa pemilu atau tidak, PERLU DIUNGKAP AGAR TIDAK TERULANG LAGI (huruf besar dari I.I.) pada masa mendatang.”
Aku berterima kasih memperoleh buku tsb. Sebagai kenang-kenangan dari penulisnya.
Makanya, meskipun sudah berlalu lebih setengah abad pelanggaran HAM yang terjadi SESUDAH terjadinya Peristiwa Gestok (menurut istilah Bung Karno), Asvi Adam menekankan perlunya diungkap untuk mencegah jangan sampai terulang lagi.
Ini nyambung dengan kata penutup dari pengacara pagi itu di LIPI, seorang sarjana muda, yang menggaris bawahi kata-kata seorang sejarawan Czechi. Yang menekankan bahwa SEJARAH ADALAH PERJUANGAN MELAWAN LUPA.
* * *
Tidak pernah sebuah lembaga negara di Indonesia, seingatku, mengundang orang yang 'keadaannya' seperti aku ini, -- untuk bicara di tempat mereka di LIPI. Kecuali bila itu dilakukan secara informal.
* * *
Kali ini memang agak lain rasanya. Panta Rei! Segala sesuatu berubah. Sikap Pusat Penelitian Politik LIPI ini, adalah suatu perubahan yang progresif. Demi kepentingan suksesnya pelaksanaan program kerja penelitan politik, dalam rangka studi dan pendokumentasian LIPI, demi mencari kebenaran, sebaiknya (ini saran ) lebih sering diminta bicara di LIPI, orang-orang, yang, menurut kebijakan 'bersih lingkungan' Kopkamtib-nya rezim Orba, dijadikan 'orang pinggiran', yang 'bermasalah', -- yang nasibnya lebih jelek dari orang-orang India-Hindu asal kasta 'paria'.
Ini bukan seladar omongan yang sudah usang atau bosan didengar. Aku langsung mengalami sendiri bahkan setelah jatuhnya Suharto. Seorang sahabat lama, yang termasuk terpandang, –- tidak berkenan, bila namanya 'terlalu sering' diasosiasikan dengan namaku: IBRAHIM ISA. Alasannya jelas; Aku ini kan orang 'bermasalah' yang namanya masih tercantum di daftar (orang yg 'wanted'), yang dicari Kopkamtib (entah apa nama badan ini sekarang) -- sebagai 'agen G30S di luarnegeri ? Kawanku tsb 'khawatir', yang 'berwewenang' melihat dia itu 'dekat-sekali' dengan aku. Karena hal itu akan ada dampak serius terhadap nasib dan 'kariernya' selanjutnya.
Mereka-mereka itu, yang dianggap 'bermasalah', sebagai warisan sejarah 'Peristiwa 1965' , dikwalifikasikan sebagai 'yang terlibat atau 'berindikasi'. Memang kenyataan menunjukkan, bahwa, -- dibandingkan dengan nasib para korban Peristiwa 1965, jauh, . . . . jauh lebih baik adalah nasib para 'mantan' pemberontak bersenjata separatis PRRI/Permesta, DI/TII, pemberontak separatis bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ataupun koruptor-koruptor, manipulator, pelbagai mafia di lembaga negara dan pencoleng-pencoleng kas negara lainnya. Mereka-mereka itu telah kembali menjadi warga terhormat. Merka boleh dan bisa jadi apa saja, asal mau! Sebab mereka-mereka itu bukan tergolong 'orang bermasalah'.
Namun, para korban Peristiwa 1965, mereka-mereka itu tetap di diskriminasi sejadi-jadinya dan 'dipermalukan', nama baiknya sebagai warganegara yang setia pada Republik Indonesia dan UUD 1945, sebagai pembela Presiden Sukarno, telah dirusak dan dibusukkan tak alang kepalang.
Lalu orang ingat nasib mendiang mantan perwira Auri, Heru Atmodjo. Perwira AURI itu divonis terlibat dengan G30S. Belakangan, seolah-olah Heru Atmodjo telah 'direhabilitasi'. Kesan ini diperoleh dengan dimakamannya jenazah Heru Atmodjo di Makam Pahlawan Kalibata. Tetapi, tak lama kemudian terjadilah keadaan yang sulit dimengerti oleh logika normal yang waras. Kuburan Heru Atmodjo di Makam Pahlawan Kalibata, d i b o n g k a r kembali. Jenazahnya dipindahkan pada suatu hari tengah malam.
Padahal pada waktu pemakamannya perlakuan terhadap mantan perwira AURI Heru Atmodjo lengkap dengan upacara militer oleh Mabes AURI. RESMI dan FORMAL Transaparan dan riil.
Penanggungjawab tertinggi negara ini, Presiden RI, SBY, tidak mungkin, tidak mengetahui sebelumnya duduk perkaranya. Parahnya ialah bahwa sebagian besar pers dan masyarakat, termasuk Presiden SBY, bungkam seribu bahasa. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Bukankah amat mengerikan menyaksikan begitu seriusnya kemerosotan mental dan politik penguasa, elite dan pers 'kita'. Barangkali hanya pakar-pakar ilmu psikologi dan dokter-dokter akhli penyakit syaraf saja yang bisa menjelaskan keadaan mental penguasa seperti itu.
* * *
Tentu semua tuduhan dan fitnahan terhadap korban Peristiwa 1965 adalah rekayasa belaka. Diregisir demikian rupa demi kepentingan politik penguasa. Mereka-mereka yang difitnah dan tertuduh itu tidak pernah diadili. Begitu saja dijebloskan dalam penjara atau dibuang ke P. Buru dengan alasan klasik 'diamankan'. Padahal sebagian besar dari orang-orang yang dicap sebagai 'orang yang bermasalah', adalah orang-orang yang kaya-pengalaman kegiatan perjuangan politik, Bahkan tidak sedikit yang telah memberikan sumbangsihnya dalam revolusi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mereka-mereka itu adalah pejuang patriotik yang sepenuh hati telah memberikan sebagian besar dari umurnya demi bangsa dan tanah air.
Sejarawan muda seperti Aswi Warman Adam, dan banyak lainnya adalah yang selalu mencanangkan JANGAN LUPA SEJARAH.
* * *
Kiranya pembaca sependapat dengan apa yang ditulis ST Sularto (Kompas 23 September 2009), mengenai sejarawan Asvi Warman Adam bahwa,
“ Dia ajak pemerintah, sesama sejarawan, dan masyarakat berpikir ulang tentang narasi-narasi masa lampau, utamanya tragedi 1965.
“Mengenai kemungkinan pelanggaran berat HAM, sekitar Peristiwa 1965, menurut ahli peneliti utama LIPI itu, peristiwa Pulau Buru sebagai peristiwa paling jelas. Tempatnya jelas, tahun terjadinya jelas, pelakunya jelas, serta korban dan jumlahnya jelas. Dengan tujuan mengamankan Pemilu 1971, lebih dari 10.000 orang yang digolongkan tahanan politik 1965 golongan B dimasukkan ke kamp kerja paksa lebih dari 10 tahun. Stigma buruk diterapkan kepada mereka, selain pembunuhan, penangkapan tanpa proses dan pengadilan.
“Kasus Pulau Buru merupakan mata rantai peristiwa sekitar 30 September 1965. Selama bertahun-tahun narasi tentang peristiwa itu hanya satu versi, yakni versi Orde Baru, bagian dari upaya justifikasi kekuasaan dan pengumpulan kekuatan. Justifikasi itu diawali dengan pembunuhan besar-besaran setelah 1 Oktober, ada yang memperkirakan jumlahnya lebih dari setengah juta orang. Penciptaan narasi tunggal disusul proyek Pulau Buru. Gugatan yang muncul dibungkam.
“Seiring deru reformasi tahun 1998, masyarakat mulai kritis dengan narasi dan pencitraan versi tunggal. Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diputar luas setiap akhir bulan September digugat. Menurut dia, tidak lagi diputarnya film itu secara luas merupakan satu keberhasilan. ”Inilah pertama kali terbuka munculnya upaya meluruskan sejarah Peristiwa 1965. Disusul kemudian berbagai versi yang ditulis para korban dan analis-analis yang sebelumnya tidak terkuak ke permukaan,” kata Asvi Warman Adam.
“Asvi mengutip sejarawan Inggris, EH Carr, bahwa kebenaran sejarah gugur manakala ditemukan data baru. Munculnya narasi-narasi baru itu adalah bagian dari ajakan menemukan dan meluruskan. Keputusan politik, katakan ketetapan MPR, adalah produk politik bagian dari justifikasi kekuasaan. Oleh karena itu, ketika data baru semakin banyak ditemukan, versi tunggal perlu ditinjau ulang, kalau perlu, ditindaklanjuti dengan rehabilitasi nama baik dan permintaan maaf dari pemerintah.
Sampel yang representatif
“Demi pelurusan sejarah dan hapusnya pembohongan, Asvi tidak hanya memimpikan sekitar Peristiwa 1965 atau peristiwa lain, seperti Peristiwa Mei 1998, tetapi bahkan sejak awal Indonesia merdeka. Tidak perlu semuanya, tetapi dipilih peristiwa dan masalah sebagai sampel yang representatif. Misalnya, kurun 1945-1955, 1955-1965, dan seterusnya, sehingga diperoleh sekitar 10 kasus.
“Asvi setuju bahwa demi alasan politis ada bagian-bagian peristiwa yang ditutupi, tergantung dari perspektif masing-masing. Namun, kalau narasi itu adalah kebohongan, itu perlu dibongkar. Taruhlah kisah tentang Serangan Oemoem 1 Maret dengan cara menghilangkan peran tokoh lain. Itu kebohongan sejarah.
“Awal ketertarikannya ke sejarah Peristiwa 1965 dimulai pada satu peristiwa pada tahun 1999. Dia diminta ceramah oleh Yayasan Hidup Baru, sebuah yayasan yang mengurusi bekas tahanan politik 1965. ”Saya terharu atas semangat juang mereka. Saya terharu ketika mereka, bapak-ibu berusia sepuh itu, mengumpulkan uang recehan. Hasilnya sekitar Rp 25.000, diserahkan sebagai honorarium ceramah saya,” kenang Asvi.
“Dengan ketekunan, dia ikuti dan teliti segala narasi Peristiwa 1965 yang berkembang selama ini. Dia sampaikan obsesi itu dalam berbagai tulisan dan karangan pengantar buku, yang semuanya berfokus ajakan menguak kebohongan sejarah, utamanya sekitar Peristiwa 1965.
“Dari tujuh buku yang sudah ditulisnya, menulis Peristiwa 1965 tidak hanya berkenaan dengan peristiwa satu malam tanggal 30 September, tetapi juga penangkapan, penahanan, perburuan massal yang memakan korban lebih dari setengah juta orang, pencabutan paspor mahasiswa Indonesia di luar negeri, serta pembuangan paksa 10.000 tapol ke Pulau Buru tahun 1969-1979. Hal itu termasuk stigma dan diskriminasi jutaan orang keluarga korban Peristiwa 1965. Peristiwa-peristiwa itu disebutnya ”pancalogi”, sebagai rangkaian prolog, peristiwa, dan epilog G30S (Asvi Warman Adam, 1965. Orang-orang di Balik Tragedi, Galangpress, 2009).
“Bagi Asvi, Peristiwa 1965 merupakan tanda atau pembatas zaman. Dari banyak peristiwa sejarah yang dialami bangsa Indonesia, Peristiwa 1965 merupakan pembatas zaman dalam berbagai bidang. Perubahan politik yang besar terjadi dalam bergesernya kedudukan Indonesia dari pemimpin negara nonblok dan dunia ketiga menjadi ”murid yang baik” AS. Kebijakan ekonomi berdikari menjadi kebijakan ekonomi pasar yang bergantung pada modal asing. Tidak ada kritik, tidak ada polemik, semua dalam satu versi, yakni versi pemerintah.
Demikian ST Sularto tentang Asvi Warman Adam. Aku kutip lengkap tulisannya itu dalam rangka mengapresiasi sejarawan dan Peneliti Senior LIPI, Asvi Warman Adam.
* * *
* * *
No comments:
Post a Comment