Saturday, July 2, 2011

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
Jum'at, 01 Juli 2011
----------------------------------------


AMSTERDAM - JAKARTA

Setelah sebulan berkunjung ke tanah air tercinta ( 01 Juni -- 29 Juni) --- Banyak yang hendak ku 'sharing'-kan. (Rupanya kata "sharing" jadi ungkapan Jakarta yang sering digunakan dewasa ini). Telah kumulai dengan mentayangkan tulisan sahabatku yang masih menggeluti studinya di 'Gajah Mada', Lubabun Ni'am. Ia menulis tentang impresinya setelah berkunjung ke perpustakaan 'Wertheim Collection' di 'Universitas Gajah Mada'. Mengenai perpustakaan Wertheim Colletion' akan kutulis lebih lanjut belakangan.



Rangkaian 'sharing' yang dimaksud, akan kumulai dengan 'corat-corét' yang telah kumuat di kolom Notisi Facebook pada permulaan Juni. Pada saat itu aku masih di Indonesia. Dengan sedikit modifikasi corat-corét itu disiarkan lagi.

* * *

Rabu, 8 Juni 2011

PERANGKO SBY

Macam-macam suara yang kedengaran bila berkunjung ke Indonsia kali ini. Satu misal menyolok. Biasanya 'komentar' mengenai 'sikon' sehari-hari, dituangkan dalam bentuk 'lelucon'. Yang ini, -- berasal dari daerah Bogor. Begini 'lelucon' tsb: Dulu bila orang menémpélkan perangko pada amplop atau kartupos yang hendak dikirim lewat pos, perangkonya 'diludahi' dulu, baru ditémpél. Sekarang ini pak, kata yang empunya cerita, -- pada perangko dengan gambar SBY, maka perangkonya ----- 'diludahi' dulu, . . . . baru ditémpél. Kan gawat! Bukankah perangko dengan gambar SBY belum ada? Tapi, jelas apa yang dimaksud dengan ' lelucon' tadi itu.



* * *

POLISI

Suatu ketika kami sedang di jalan antara Bogor dan Cisarua: Tiba-tiba polisi berspeda motor meluncur dengan lajunya. Di belakangnya berdérét menyusul puluhan motor partikelir. Seolah-olah-olah mereka itu dapat ' voorrang' . Berhak istimewa. Persis seperti iring-iringan mobil presiden atau petinggi lainnya. Kutanyakan supir di sebelahku: Kok ada polisi membawa rombongan motor partikelir bisa dapat jalan duluan?

Oh, kata pak supir: Disini biasa pak, asal membayar paling sedikit Rp 100 ribu untuk satu motor, maka bisa 'diantar' polisi. Meluncur di jalan raya tanpa gangguan. Masya Allah!

Pak supir Supir menambahkan: Sampai sekarang kalau mau dapat SIM (Surat Izin Mengemudi) mobil, gampang, pak. Biasalah -- . . . 'némbak', pak. Dengan ongkos tertentu SIM segera bisa diperoleh, tanpa ujian.

Sudah tahu enggak, pak, tambah pak supir lagi: Di Indonesia hanya ada 3 polisi yang jujur: 1. Pak Hugeng, mantan kepala kepolisian RI pada zaman Presiden Sukarno. 2. Polisi 'tidur'. Maksudnya bagian yang ditinggikan dari suatu jalan, agar, demi keamanan kendaraan mengurangi laju cepatnya. 3. Polisi yang sudah mati.



ORANG-ORANG ARAB DI CISARUA

Lewat daerah Cisarua, pak supir menunjuk ke suatu lokasi di Cisarua: Itu tu pak, di sini orang Arab melulu. Mereka tinggal di sini satu dua bulan lalu berangkat lagi. Ada urusan apa, tanyaku. Mereka ' kawin' dengan perempuan setempat, pak. Beberapa bulan kemudian dengan bayaran tertentu mereka cerai lagi. Pulang ke negerinya. Istrinya ditinggalkan begitu saja. Tidak jarang lalu sang perempuan yang dikawininya itu, kemudian melahirkan bayi Arab-indo.

Media Indonesia, kuingat memang pernah heboh soal ini. Kalau tak salah ada tanggapan (ketika itu) wakil presiden J. Kala. Kata beliau: Kan bagus kalau ada anak-anak turunan Arab. Rupanya ganteng-ganteng dan cantik-cantik, kan?. Ramai lagi tanggapan pers.Ada-ada saja mantan wapres yang satu ini.



* * *

MEDIA DAN KORUPSI

Bagaimana orang tidak géléng-géléng kepala, penuh prihatin mengenai haridepan bangsa dan negeri ini. Media Indonesia belakangan ini penuh dengan berita korupsi dan kolusi. Hampir semua yang korup dan menipulasi itu adalah para pejabat tinggi negeri. Pantas juga orang bertanya apa tidak ada kegiatan lain di negeri tercinta ini selain korupsi dan 'kegiatan pemberantasannya'?



Dikatakan 'kegairahan' media sekitar korupsi ada latar belakang kepentingan politik elite. Tujuannya adalah saling tuding dan saling menghitamkan.Saling ancam dan saling bongkar. Tapi juga saling menutupi. Semua itu dengan latar belakang pemilu tahun 2014.



Suatu ketika muncul di media ungkapan baru bagiku. "INDONESIA MENJURUS KE KLEPTOKRASI". Maksudnya Indonesia dipimpin oleh maling-maling, rampok-rampok, tukang copet dan penggiat 'pungli', tukang bohong dan penipu. Di lembaga-lembaga negara tertinggi, di instansi-instansi ada 'mafianya'. Termasuk di bidang pendidikan. Hari ini misalnya di media disiarkan bahwa: Rp 1,3 trilyun Proyek DAK Pendidikan Jatim dijarah mafia.

Tambah lagi kejadian menyayat hati, yang kudengar sendiri dari seorang dosen Gajah Mada, Abdul Wahab (nama ini fiktif). Putri Abdul Wahab baru lulus ujian negeri dan mestinya bisa masuk Uni Gajah Mada. Tapi uang masuk yang berjumlah Rp 50 juta tahun pelajaran ini tidak bisa dibayarnya. Mana mungkin seorang dosen universitas negeri bisa punya uang sebanyak itu.

Jadi putrinya Abndul Wahab yang meraih angka termasuk tertinggi, nyaris tidak bisa masuk GM. Di saat sang dosen bingung dan tak tahu jalan, para dosen sahabat-sahabatnya tampil mengumpulkan uang seperti pada arisan. Jumlah Rp 50 juta itu akhirnya bisa tercapai. Selamatlah sang putri dosen tsb bisa masuk GM.

Dari kejadian ini jelas bahwa kebijakan pemerintah yang mengharuskan universitas negeri 'cari uang sendiri', ternyata punya dampak mematikan pada orang-orang miskin. Seperti dosen Abdul Wahab. Di lain fihak, dari kejadian ini, terungkap bahwa para dosen GM, kawan-kawan Abdul Wabah, punya rasa solidaritas tinggi!



Namun media memberitakan bahwa kejujuran dikatakan hancur dan masyarakat 'permisif korupsi'. Jika tidak kritis terhadap pemberitaan media, -- maka yang pesimis, sinis dan 'pasrah' semakin menjadi-jadi.



Tapi jangan khawatir, masih ada yang optimis dan realis yang tidak permisif terhadap peristiwa dan berita-berita buruk yang memenuhi media dewasa ini. Disela-sela pemberitaan media yang minor itu, bila rajin mencarinya, bisa ditemukan yang malah bikin orang-orang optimis semakin jadi yakin.



* * *

Seorang putri anak pejuang yang kukenal menyatakan: Meski persoalan bangsa ini tampaknya bertambah terus, namun ia tetap cinta pada bangsa dan tanah airnya. Tidak semua orang 'jelek' di negeri ini, katanya. Ya, kataku, justru hal-hal positif itu yang kutemui di kalangan generasi muda yang punya kesedaran berbangsa yang tinggi. Semangat besar dan daya juangnya konstan menghadapi kesulitaqn dan kendala. Sehingga siapa saja yang menyadari ini dengan sendirinya ikut merasa bangga jadi orang Indonesia.





/* * */
















No comments: