Monday, July 4, 2011

Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 04 Juli 2011

-------------------------

Sarjana Sejarah Prof. Dr SARTONO KARTODIRDJO Dan Perpustakaan “WERTHEIM COLLECTION”, Jogyakarta



Rentetan Catatan Kunjungan ke Indonesia sudah sampai pada Bagian 3. Bagian satu adalah yang bertjudul “LUBABUN NI'AM Tentang Perpustakaan Wertheim Collection di UGM. Jogyakarta” (30 Juni 2011). Bagian 2, berjudul “Jakarta-Amsterdam” (1 Juli 2011). Yang ini, adalah bagian ke-3.



* * *



Suatu ketika pada musim semi tahun ini, kami: --- Murti, Farida Ishaya (Anggota Bestuur Stichting Wertheim, Amsterdam) dan putrinya, Revina ---, berempat kami berkunjung ke rumah Anne Ruth Wertheim (penulis, salah seorang putri Prof Dr W.F Wertheim). Ketika itu Anne Ruth Wertheim memperlihatkan kepada kami, foto-foto yang dibuatnya ketika mereka sekeluarga berkunjung ke Perpustakaan “Wertheim Collection” di UGM, Yogyakarta, dan ke rumah Ibu Sri, istri mendiang Prof Dr. Sartono Kartodirdjo, sang sejarawan piawai Indonesia.



Sejak saat itu tak pernah luput dari fikiranku, --- bahwa sekali tempo, aku akan mengunjungi dua tempat penting tsb: Perpustakaan “Wertheim Collection” dan sowan ke Ibu Sri Sartono Kartodirdjo, di Jogyakarta.



Alkisah, terlaksana juga hasratku menemui Ibu Sri Sartono Kartodirdjo di rumah beliau di Bulaksumur, di daerah perumahan para dosen UGM, Jogyakarta (24/6/2011). Pada suatu pagi Murti dan aku diantar oleh kemenakan kami, Anton, yang berdomisili di Jogyakarta, berkunjung ke Ibu Sri yang sudah berusia 90.. Beliau tampak masih segar bugar, gembira dan dengan lincah bercerita mengenai pengalaman beliau yang menarik ketika mendampingi suaminya, Sartono Kartodirdjo, memperdalam studi, mengambil gelar doktor di bawah bimbingan Prof Dr W.F.Wertheim, di Universitas Amsterdam (1966).



* * *



Keterkaitan nama mahaguru sejarah Indonesia Prof Dr Sartono Kartodirdjo dengan Perpustakaan “Wertheim Collection” di UGM, singkatnya bisa dicatat sbb:

Ketika sarjana Sartono Kartodirdjo pada paro kedua tahun enampuluhan abad lalu, memperdalam studinya di Amsterdam, hal itu berlangsung di bawah bimbingan Prof Dr Wertheim, gurubesar pada Universitas Amsterdam. Tidak kebetulan juga, bahwa tema yang dipilih oleh Sartono Kartdirdjo untuk desertasi doktoralnya adalah masalah “Pemberontakan tani 1888 di Banten”, berjudul : “The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia”. Sartono menunjukkan bahwa ia memelopori penulisan sejarah dengan cara pandang Indonesia.



Tidak sedikit sejarawan Indonesia dan mancanegtara,yang menilai bahwa desertasi Sartono Kartodirdjo tsb merupakan batu loncatan dalam studi sejarah Indonesia. Sartono sendiri menyatakan bahwa desertasinya itu merupakan protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensionil dan Neerlandosenteris.


Sarjana UGM, M.Munam, penulis biografi Sartono Kartodirdjo menilai bahwa: --- Dengan menggunakan social scientific approach, Sartono memberikan cahaya terang dalam perkembangan dan arah historiografi Indonesiasentris. Petani atau orang-orang kecil yang dalam sejarah konvensional menjadi nonfaktor, dalam karya Sartono menjadi aktor sejarah. Sebuah karya sarjana sejarah Indonesia pertama yang mengangkat peran wong cilik ke atas panggung sejarah, yang sebelumnya selalu diisi kaum elite, konvensional dan Neerlandosentris


'Nyambungnya' sarjana muda Sartono Kartodirjo dengan sang pembimbing Prof Dr Wertheim ialah kepedulian mereka dengan nasiab rakyat kecil, dengan mereka yang miskin dan menderita. Kesetiaan mereka pada sejarah yang benar. Kepedulian pada rakyat dan pada kemajuan dua tokoh, itulah yang menjadikan mereka dalam satu 'barisan'.


Diantara mahasiswa Indonesia lainnya yang pernah memperoleh didikan dan bimbingan Prof Wertheim, adalah sarjana-sarjana Indonesia seperti Go Gien Tjwan, Sayogo, Sediono Tjokjronegoro, Bachtiar Rifai, Basuki Gunawan, Harsja Bachtiar dan Soeksmono.


* * *


Orba berusaha keras memojokkan Sartono Kartodirjo, menyasar sekitar 'kedekatannya' dengan mantan gurubesarnya, Prof Dr Wertheim. Dalam tahun 1994, Sartono ambil bagian dalam Konferensi Sejarah Nasional di Universitas Udayana, Bali. Dalam konferensi itu Sartono Kartodirdjo memberikan analisis yang paling mengagumkan. Ia mengemukakan tentang ketiadaan konsepsi mengenai 'warisan' di Indonesia. Dikemukakannya tentang perlunya Indonesia memiliki lembaga warisan sejarah bangsa.


Ketika itu, di bawah rezim Orba yang memproklamasikan 'keterbukaan', kebanyakan akademisi Indonesia menjadi kecut karena bertahun-tahun diintimidasi serta tekanan pada kehidupan di kampus yang selalu dimata-matai. Mereka ketakutan sekali, untuk mengemukakan soal-soal politik. Beberapa orang mahasiswa yang mungkin saja ada 'penugasan' dari atas, mulai mengajukan pertanyaan sekitar masalah pendidikan yang diperoleh Sartono Kartodirdjo. Pertanyaan yang diajukan ialah, apakah ia, Sartono Kartodirdjo, menganut teori Wertheim tentang kudeta 1965. Pertanyaan yang diajukan tidak jelas-jelas menyebut kudeta 1965. Tapi semua mengerti bahwa yang dimaksudkan dengan pertanyaan itu, adalah yang menyangkut teori Wertheim yang menuding bahwa sesuyngguhnya adalah Suharto yang menjadi biang keladi Peristiwa 1965.


Keetika itu Sartono Kartodirdjo memberikan jawaban yang pandai sekali. Ingat ketika itu Indonesia masih di bawah kekuasaan Orba yang otoriter dan opresif. Sartono menyatakannya bahwa ia punya banyak 'guru'. Yang maksudnya ialah bahwa ia tidak terikat dengan teori Wertheim itu. Tapi ia juga tidak membantah bahwa teori Wertheim tsb mungkin benar. (Dari catatatan Prof Adrian Vickers, profesor Studi Asia Tenggara pada Universitas Sidney).


* * *


Sudah diceriterakankan oleh Lubabun Ni'am, mengenai “Wertheim Collection”, Jogyakarta setelah ia berkunjung ke sana:


Dalam tahun 2002, lebih dari 3.500 buku koleksi Indonesianis Wim F. Wertheim dikirim dari Amsterdam menuju Jakarta. Ini kejadian tak lazim: gelondongan "berhala pengetahuan" justru meninggalkan Belanda, apalagi menuju Indonesia. Tetapi, atas permintaan personal Sartono Kartodirdjo---seorang mahasiswa Wertheim ketika menempuh studi doktoral ilmu sejarah di Universitas Amsterdam---sebagian koleksi yang menuntun kepakaran Wertheim tentang Indonesia itu "disemayamkan" di Indonesia. Perjalanan pengiriman melalui jalur laut tersebut memakan waktu sekitar tiga bulan. Menembus samudera dan dua benua. Demikian L. Ni'am.


Dari kejadian tsb menjadi jelas lagi keterlibatan, 'nyambungnya' tokoh sarjana Belanda W.F. Wertheim dengan tokoh sarjana sejarah Indonesia, Sartono Kartodirdjo.


Memberikan arti penting pada tokoh sejarawan Sartono Kartodirdjo, A.N. Luthfi, M.A, dari Sayogo Institute (SAINS), Bogor, bersama Amien Tohari dan Tarli Nugroho, telah mempublikasikan buku berjudul -- “PEMIKIRAN AGRARIA BULAKSUMUR”, Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun dan Mubyarto.


Dalam kata pengantarnya, penulis menjelaskan bahwa buku tsb diatas adalah hasil studi mengenai pemikiran agraria. Bahwa obyek kajian buku tsb adalah pemikiran tiga sarjana terkemuka, yang kesemuanya adalah mahaguru pada Universitas Gajah Mada. Yaitu Sartono Kartodirdjo (1921-2007), Masri Singarimbun (1930-1997) dan Mubyarto (1938-2005). Latar belakang ketiganya yang berasal dari Bulaksumur itu pula yang salah satunya kemudian membuat studi ini bisa disebut sebagai “STUDI PEMIKIRAN AGRARIA BULAKSUMUR”.


* * *


Dari 'sowan' ke rumah Ibu Sri Sartono Kartodirdjo, kami langsung menuju ke gedung Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gajah Mada, di komplek Bulaksumur itu juga. Di ruangan tingkat dua, pada sebuah kamar, terpampang nama 'WERTHEIM COLLECTION”. Di situlah kami diterima oleh Dr.Ir Dyah Ismoyowati, direktur PSPK UGM, sert mendengarkan penjelasan beliau sekitar keberadaan Perpustakaan Wertheim Collection.


Meskipun kecil tetapi punya arti besar, kata Dr Suherman dosenh dan salah seorang penanggungjawab PSPK UGM. Karena, --- sementara buku dan bahan yang tidak ada di perpustakaan lain, dapat dijumpai di perpustakaan Wertheim Collection. Maka dikunjungi oleh para dosen dan siswa untuk memenuhi keperluan studi dan riset mereka.




No comments: