Monday, July 25, 2011

MENGENANGKAN MAS SETIADI

Kolom IBRAHIM ISA

Selasa, 26 Juli 2011

-----------------------------


MENGENANGKAN MAS SETIADI REKSOPRODJO

Perhatikan “BUKUNYA – “REFLEKSI ORANG BIASA . . . ”


Juni tahun ini, kami berkunjung ke Indonesia ---– Semakin terasa betapa berat perasaan 'kehilangan' Mas Setiadi (Mas Setiadi, itu bukan nama resmi beliau – itu adalah sapaanku dalam pergaulan selama puluhan tahun). Seperti halnya bagi keluarganya, dan masih banyak lagi handai dan taulan, -- Aku merasa benar, kehilangan seorang sahabat karib, teman seperjuangan yang konsisten , berani, gigih dan amat sederhana serta amat rendah hati. Sulit menemukan sahabat seperti Mas Setiadi.


Beliau meninggal dunia tanggal tahun lalu. Dua hari lagi, --- 28 Juli, 2011 nanti, genaplah setahun. Mas Setiadi meninggal dunia.


Bulan Juni itu, putra Mas Setiadi, -- Witaryono, mengajak Murti dan aku untuk ziarah ke makam Mas Setiadi, di Makam Pahlawan Kalibata. Kami segera kesana. Turut bersama kami seorang kawan lama, Bakir Marsudi. Ia salah seorang (mantan) anggota Sekretariat Komite Perdamaian Indonesia pada tahun 1960-an. Setelah 'bebas' dari P. Buru, Bakir Marsudi aktif sebagai ustaz di Jakarta.


Ketika 'nyekar' di makam Mas Setiadi, ketika itulah terasa agak terobat sedikit rasa 'kehilangan' seorang sahabat-karib. Di situlah, pada hari yang amat cerah, di depan makam Mas Setiadi kami menaburkan bunga-bunga berwarna Merah dan Putih.


* * *


Pada saat itu pula terbayang dan tekenang kembali masa-masa ketika bersama banyak kawan-kawan aktivis gerakan perdamaian lainnya, melakukan kegiatan sehari-hari, di Komite Perdamaian, di Jalajn Raden Saleh 52, bersama Eddy A. Martalegawa dan Bakir Marsudi, dll.


Suatu ketika pada periode pemerintahan Presiden Sukarno, kami pernah bersama menghadiri Sidang Biro Dewan Perdamaian Dunia di Warsawa (1964). Aku ingat betul: Ketika itu sejumlah anggota Biro Dewan Perdamaian Dunia, mengajukan saran untuk berdiri sejenak mengheningkan cipta menghormat mendiang Presiden J.F. Kennedey yang tewas oleh peluru asasin ketika berkunjung ke Dallas, Texas, USA. Ketika itu sebagian anggota Biro lainnya termasuk Mas Setiadi dan aku, menolak saran yang tidak pada tempatnya itu. Anehnya, anggota Biro Dewan Perdamaian Dunia dari Uni Sovyet, termasuk berdiri ikut mengheningkan cipta untuk Presiden AS, JFK.


Teringat lagi ketika beliau bermalam di rumah kami di Cairo selesai menunaikan tugasnya, ketika itu nasibnya agak sial. Kopernya hilang. Jadi, kegiatan pokok kami hari itu, adalah berbelanja mencari pakaian untuk ganti seadanya di sementara toko di kota Cairo.


Kemudian (sesudah Peristiwa 1965), kami sama-sama lagi. Kali ini ke Jenewa, Swiss, dengan dr Tjiptaning dan Heru Atmodjo dari Pakorba serta Tatiana Lukman sebagai penterjemah. Kami menghadiri sidang UN Commission On Human Rights.


Di Jenewa, kami menggunakan kesempatan dan forum untuk menjelaskan di muka forum internasional, bahwa dalam tahun-tahun 1965-66-67 di Indonesia terjadi suatu genosida terhadap warganegara tak bersalah, Ditaksir korban sampai sekitar 3 juta. Di situ Delegasi Indonesia menjelaskan bahwa pelaku pelanggaran HAM terbesar di Indonesia tsb masih bebas. Bahwa lembaga-lembaga hukum dan pengadilan Indonesia samasekali tidak berbuat apa-apa untuk minta pertanggungan jawab fihak militer Indonesia di bawah Jendral Suharto ketika itu, yang bertanggung jawab mengenai pelanggaran HAM terbesar di Indonesia tsb.


Kemudian ketika bertemu lagi di Jakarta. Sempat diskusi lagi dengan Mas Setiadi dalam suatu rapat pimpinan Pakorba, di bawah pimpinan dr Ciptaning.


* * *


BUKU MAS SETIADI AMAT PENTING

Memang, penting sekali untuk menyimak BUKUNYA itu, – “Refleksi Orang Biasa” – Bacalah buku itu! Akan jelas. Mas Setiadi itu BUKAN ORANG BIASA! Untuk menggugah pembaca, akan kusinggung juga belakangan nanti

apa yang kuanggap a.l yang signifikan. Dipandang dari pandangan 'penelitian sejarah bangsa', yang dewasa ini sedang tumbuh marak di kalangan para sejarawan muda dan masyarakat pada umumnya.


Buku Mas Setiadi, terbit pada tahun 2007 . . . entah mengapa aku terlewat memberikan perhatian secukupnya dan membacanya 'habis'. Padahal tahun 2008 aku juga ke Indonesia). Perhatikan!! . . . masih akan tertbit lagi jilid-jilid berikutnya. Yaitu jilid 2 dan 3.


Buku Mas Setiadi ini, adalah salah satu 'oleh-oleh berharga' dari kunjunganku ke Indonesia kali ini.


Putra Mas Setiadi, Witaryono, titip beberapa buku Mas Setiadi itu, a.l untuk KITLV, Leiden dan IISG, Amsterdam. Dan untuk beberapa kawan lainnya. Perhatikan, – Mas Setiadi memberikan 'hint' bahwa isi bukunya itu adalah sebuah “KISAH, KESAN DAN PESAN MENGARUNGI JERAM-JERAM 7 ZAMAN”. Membaca buku ini orang akan tercengkam oleh tuturan tentang keadaan Indonesia pada zaman kolonial Hindia Belanda. Melalui mengenangkan kembali periode masa mudanya, pembaca diingatkan pada perjuangan bangsa kita yang susah payah dan berjangka panjang. Suatu perjuangan, mula-mula dengan mendirikan pelbagai organisasi masyarakat, budaya dan kemudian politik sampai membangun partai politik. Suatu alat perjuangan yang terbukti teramat penting melawan kolonialisme Belanda.


Kita diperkenalkan kembali pada peranan para pejuang-pejuang kemerdekaan masa awal sampai dengan periode pendudukan Jepang, masa Proklamasi dan perlawanan terhadap agresi pertama dan kedua Belanda terhadap Republik Indonsia, ---- sampai berdirinya Republik Indonesia Serikat yang akhirnya kembali menjadi Republik Indonesia seperti yang proklamirkan pada 17 Agustus 1945.


Semua itu dituturkannya dengan sangat sederhana, singkat padat tetapi menyeluruh!


* * *


Mas Setiadi dapat menuturkan demikian gamblangnya mengenai peristiwa dan episode dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa terutam mengenai periode perjuangan kemerdekaan SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN. Satu serbab pokok: Karena dia sendiri ambil bagian langsung dalam proses perjuangan itu. Mas Setiadi adalah Menteri Penerangan dalam Kabinet Presiden Sukarno yang pertama, Baliau adealah menteri yang paling muda <26th).


Fakta sejarah, ---- yang baru kuketahui melalui bukunya itu, ialah, bahwa adalah Mas Setiadi yang melalui pidato radionya sebagai Menteri Penerangan, yang pertama-tama mengingatkan dan mempersiapkan rakyat dan seluruh bangsa akan tibanya agresi pertama Belanda terhadap Republik Indonesia. Betul saja agresi Belanda itu terjadi, setelah Belanda mencabik-cabik Persetujuan Linggardjati (Desember 1947).


Tuturan Mas Setiadi sekitar 'Peristiwa Madiun', memberikan sorotan baru pada 'Peristiwa Madiun'. Bahwa kejadian itu didahului oleh provokasi-provokasi terhadap FDR dan golongan Kiri yang menentang program “Re-Ra” pemerintah Moh. Hatta . Program Hatta yang digodok bersama Letkol Nasution, adalah suatu rencana, yang atas nama rekonstruksi dan rasionalisasi angkatan bersenjata Republikein, dari sekitar 400.000 prajurit menjadi sekitar 60.000 - pada hakikatnya adalah penyingkiran golongan Kiri dan kesatuan bersenjata Kiri. Dimulai, dengan antara lain pembunuhan gelap terhadap Panglima Divisi Panembahan Senopati, Kolonel Sutarto.


Epidsode ini tak terpisahkan dengan kenyataan bahwa dalam periode itu AS sebagai negara Barat yang paling dominan sedang sibuk dan terlibat dengan Indonesia, dalam pelaksanaan Strategi Perang Dinginnya melawan negeri-negeri Sosialis.


Tuturan ini membenarkan apa yang dikemukakan oleh Sumarsono, mantan Gubernur Militer Madiun. Sebagaimana halnya tuturan mengenai kunjungan Letkol Suharto yang diutus ke Madiun oleh Jendral Surdirman. Mas Setiadi mengungkapkan, bahwa saran supaya 'peristiwa di Madiun' diselesaikan melalui cara damai dengan mengadakan kompromi, samasekali tidak digubris oleh pemerintah Hatta. Yang terjadi ialah pidato Presiden untuk 'memilih Musso atau Sukarno-Hatta'. Perkembangn selanjutnya . . . . . pertumpahan darah dikalangan bangsa sendiri. Padahal tuntutan Revolusi, tuntutan perjuangan melawan Belanda, adalah diperkokohnya dan diperkuatnya persatuan semua kekuatan nasional.


Baik Sumarsono maupun Mas Setiadi meyatakan bahwa Letkol Suharto menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa di Madiun ketika itu, tak ada pemberontakan terhadap Republik Indonesia, tidak terjadi pembunuhan-pembunuhan dan tidak ada kekacauan, seperti diberitakan oleh pers pro pemerintah Hatta ketika itu.


* * *


Apa yang diungkap Mas Setiadi dalam bukunya menambah bahan penting bagi para sejarawan dan peneliti serta pemeduili sejarah bangsa, untuk lebih mendalami lagi fakt-fakta sejarah, khsuusnya, peristiwa-peristiwa sejarah yang telah menimbulkan perpecahan dan pertumpahan darah di kalangan bangsa sendiri.


Membaca buku Mas Setiadi tsb, menjadi jelas bahwa masih ada beberapa hal signifikan yang perlu difikirkan kembali dan dipertimbangkan mengenai sejarah bangsa ini. Hal ini perlu dalam rangka penulisan kembali atau usaha pelurusan penulisan sejarah bangsa.


* * *


Buku otobiografi Mas Setiadi, berjudul “REFLEKSI ORANG BIASA, dalam keadaan sejarah yang luar biasa”, adalah kenang-kenangan bagiku yang dapat dari Witaryono. Buku tsb diterbitkan oleh Sekretariat DPP-Pakorba., pada bulan September 2007.


Belum pernah kubaca ada tulisan yang dengan serius membicarakan buku Mas Setiadi tsb. Sesudah membacanya aku beranggapan buku ini amat penting. Terutama bagi generasi muda, khususnya para sejarawan dan pemeduli sejarah bangsa dari kalangan muda.


Dalam bukunya itu Mas Setiadi bukan sekadar MEREFLEKSI masa lampau.

Apa yang ditulisnya itu adalah sebuah analisis yang mendalam dan faktual, mengenai perjalanan sejarah bangsa kita sejak tahun 1921.


Pada Daftar Isi, dinyatakan bahwa isi buku terdiri dari tiga babak. Babak 1 (1921-1949). Yang baru terbit nyatanya adalah brtu babak I.


Selqanjutnya adalah Babak II (1949-1965); dan Babak III (1988- . . . . .). dengan subjudulnya QUO VADIS PASCA REZIM MILITER.



Lain kali hal ini bisa dan harus dibicarakan lagi.


* * *


No comments: