Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 08 Juli 2011
-----------------------------
Patriot SEDIONO TJONDRONEGORO , – – – PROFESOR Dng IMAJINASI KAUM TANI
< Rentetan Catatan Kunjungan ke Indonesia, Bagian : 04 >
Kunjugan ke Indonesia kali ini, tujuan utamanya adalah melepas rindu dengan tanahair dan keluarga tercinta. Bersilaturakhmi dengan sanak-keluarga. Tanpa disadari, aku sudah termasuk yang 'tertua' di keluarga besar kami sekarang ini. Diatas delapan puluh. Dua kakakku perempuan beberapa tahun lebih tua. Masih sehat, Tetapi ingatan beliau-beliau itu sudah menunjukkan ciri-ciri 'manula'. Ini proses alamiah. Maka, sanak keluarga memandangku sebagai 'yang paling tua' di dalam keluarga.
Di kala usia tambah lanjut, --- rasanya seperti dikejar-kejar waktu. Bagaimana sebaiknya memanfaatkan sisa umur. Maksusdnya diperuntukkan bagi hal-hal yang bermanfaat untuk sesama. Aku ingat, sering berpesan pada yang muda-muda. Mereka mengeluh kekurangan bahkan tak ada waktu untuk melaksanakan dan merampungkan kegiatan mereka. Kukatakan kepada mereka:
Waktu duapuluh empat jam sehari tak akan bertambah. Tujuh hari sepekan juga tak akan bertambah sampai kapanpun. Dimana lagi dicari waktu ? Hanya satu jalan-keluarnya, kataku. DAHULUKAN, PRIORITASKAN YANG PALING PENTING DAN PALING MENDESAK. Yang lain harus dinomor dua atau nomor tigakan. Maka: Pastikanlah mana yang prioritas. Lalu . . . . Just do it!
Bagaimana memanfaatkan sebaik-baiknya kunjungan ke Indonesia kali ini? Tampaknya yang paling mendesak ialah, menghirup dalam-dalam udara segar perkembangan positif yang tumbuh di Indonesia dewasa ini. Berusaha menemukan faktor-faktor positif yang muncul, yang pasti ada dan tumbuh. Di dalam masyarakat itu sendiri. Meskipun, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, dibanjiri berita korupsi, kolusi, nepotisme dan mafia ini dan mafia itu, lengkap dengan mafiosonya. Ternyata, orang tak perlu jadi jenius untuk menemukan yang positif dan menginspirasi di kalangan masyarakat Indonesia dewasa ini, khususnya di generasi baru!!
Terasa perlunya mengkhayati sumber inspiratif yang terdapat di kalangan masyrakat. Dijumpailah kawan-kawan lama dan digalanglah yang baru. Siapa mereka-mereka itu? Tentu, pertama-tama yang muda-muda harapan bangsa dan tanah air. Juga yang senior yang punya pengalaman dan kebijakan guna dimanfaatkan untuk haridepan bangsa ini. Yang merupakan warisan bangsa yang tak ternilai, tetapi nyaris terlupakan atau dilupakan. . . .
* * *
Kunjungan dan perkenalanku antara lain, dengan sahabat lama dan baru di Pusat Penelitian Politik dari LIPI, Jakarta; dengan Romo Dr. Baskoro T. Wardana SJ, serta siswa-siswanya dari Pusat Sejarah Dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma, Jogyakarta; dengan Koesalah Soebagio Toer dari YPKP HAM dan dengan Bejo Untung dari YPKP 65, Jakarta --- adalah dalam rangka menghirup udara segar dan belajar dari yang 'tua'.
* * *
Prof SEDIONO M.P. TJONDRONEGERO
Dalam tulisan ini kutampilkan seorang tokoh sarjana ulung: Prof SEDIONO M.P. TJONDRONEGERO, Bogor. Dalam siaran situs “Studi Agraria Dotkom”, kuingat, tak terlupakan, sebuah liputan berkenaan dengan ulangtahun Sang Profesor. A.N. Lutfhi (dari SAINS, Sayogo Institute), yang menyunting buku otobiografi sang profesor tsb, berjudul “Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua, Otobiografi Prof. Dr. Sediono M. P. Tjondronegoro”, Prof Sediono Tjondronegoro disebutnya sebagai seorang 'PROFESOR DENGAN IMAJINASI KAUM TANI'.
Bagiku pribadi, belajar kenal dengan tulisan dan tokoh Prof Sediono Tjondronegoro, bersumber dari pidato beliau pada kesempatan seminar “DE LEEUW EN DE BANTENG” yang diadakan di Den Haag pada bulan Maret 1996. “De Leeuw En De Banteng”, maksudnya “Singa dan Banteng”. Di situ ditelusuri pengalaman sejarah hubungan Indonesia-Belanda. Yang diucapkannya dalam bahasa Belanda yang 'foutloos', tanpa salah sedikitpun.
Dibaca teliti, pidato Prof Sediono dalam seminar tsb adalah suatu kursus yang baik sekali mengenai hubungan Indonesia-Belanda sejak periode penjajahan sampai pembebasan Irian Barat. Orang-orang Belanda yang di alam fikirannya masih bersemayam 'nostalgi' zaman ke-emasan 'tempo doeloe', amat disarankan untuk membaca tulisan Prof Sediono itu berulang-ulang. Meresapi baik-baik isi dan maksud pidato tsb, akan membantu mereka memahami inti sari hubungan Indonesia-Belanda. Sampai sekarang hubungan Indonesia-Belanda masih saja 'kesandung' dengan sikap bersikeras-kepala bertahan tidak mau mengakui bahwa Republik Indonesia Merdeka berdiri pada tanggal 17 Agustus, 1945, di atas puing-puing kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Dan bahwa yang mereka sebut 'politiëonele-actie' 1 dan 2 pada tahun 1947 dan 1948, sesungguhnya adalah agresi militer Kerajaan Belanda terhadap sebuah negara merdeka, yaitu Republik Indonesia.
Bagi generasi baru, khususnya para sejarawan muda, tulisan Prof Sediono ini, khususnya yang menyangkut analisis mengenai hubungan kolonial di Indonesia pada masa itu, periode pendudukan Jepang serta meletusnya REVOLUSI AGUSTUS 1945, merupakan bahan pelajaran yang baik sekali.
* * *
Yang paling merupakan 'eye opener' bagiku adalah, analisis Prof Sediono mengenai situasi HUBUNGAN AGRARIA di Indonesia dewasa ini.
Di bawah sub-judul “Naar een welvaarstaat”, (Menuju ke negara makmur), Sediono Tjondonegoro, menulis (alihbasa bebas dari bahasa Belanda):
“Sesudah mengalami banyak kesengsaraan dan kemiskinan di dalam suatu negara yang “Kurang Makmur”, sebagaimana keadaannya sekitar pergantian abad (1900), – – - maka dapatlah dimengerti, bahwa lapisan luas penduduk, melihat Negara Makmur sebagai tujuan ekonomi revolusi dan di situ terrealisasinya suatu distribusi yang samarata dan kemakmuran. HAL ITU BERARTI, -- SEBAGAI SUATU NEGERI AGRARIA SEPERTI INDONESIA, LAHAN PERTANIAN SEBAGAI MODAL AWAL TIDAK HANYA PENTING, TETAPI AMAT MENENTUKAN” (huruf besar dan tebal dari I.I.).
Tulis Prof Sediono selanjutnya:
“Bertolak dari pemikiran tsb, pemerintah Republik Indonesia dalam tahun 1947, telah membentuk sebuah komite untuk mempelajari perubahan agraria, halmana baru dalam tahun 1960 dilahirkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5/1960. Perhatian utama diberikan pada Pacht Wet dan Undang-undang Perubahan Tanah, dengan tujuan agar terutama jutaan petani-kecil di Jawa dapat memperoleh perbaikan nasib mereka.
“Sebagaimana diketahui, perkembangan politik antara tahun 1960-1965, adalah sedemikian rupa, sehingga (ditempuh jalan) untuk mencegah kerusuhan dan pertumpahan darah lebih lanjut, sehubungan dengan pembagian kembali lahan, (proses itu) ditunda, Sesudah terjadinya kudeta 1965, proses tsb tidak lebih lanjut dilaksanakan.” Demikian Prof Sediono Tjondronegoro dalam analisisnya mengenai situasi agraria Indonesia sampai saat ini.Walhasil pelaksanaan 'UUPA 1960' sampai dewasa ini, menjadi macet samasekali.
* * *
Juga interesan dan edukatif adalah analisis Prof Sediono berikutnya mengenai 'EEN ONEVENWICHTIGE GROEI', 'Suatu Pertumbuhan yang Tak Seimbang'.
“Begitu mengesankan perkembangan ekonomi dan infrastruktur, demikian lambannya yang terjadidi bidang perkembangan sosial, yang tidak berlangsung dengan langkah sama. Yang menurut banyak pendapat, itu adalah kelanjutan dari penekanan berat pada pertumbuhan ekonomi negeri. Dengan itu aspek-aspek seperti pembagian-kembali yang lebih merata dari keuntungan yang diperoleh, menjadi dikebelakangkan. Kritik terhadap ketiadaan persamaan sosial yang lebih baik dan suatu percepatan 'trickle down effect' menjadi lebih dimengerti. Bahkan lebih cepat dari di masyarakat-masyarakat Barat, -- disini telah tumbuh suatu klas yang terdiri dari konglomerat dan suatu (klas) b u r –
j u a s i. Hal ini secara hakiki merupakanj suatu penyebalan menyolok dari ideal yang dikumandangkan pada periode revolusi.”.
Selanjutnya, “Munculnya kaum konglomerat dan burjuasi dimungkinkan dengan adanya perusahaan-perusahaan besar negara, yang memainkan peranan besar dalam melaksanakan proyek-proyek pembangunan yang besar-besar.
Yang dinamakan 'trickel down effect' ternyata lebih banyak menguntungkan lapisan atas ekonomi terbanding bagi kaum golongan menengah bawah, dan bagi sebagian besar rakyat”.
Baru pertama kali aku membaca lagi apa yang dulu biasa disebut suatu 'analisa klas' terhadap masyarakat Indonesia.
* * *
Justru perhatianku terhadap masalah-masalah gawat yang dikemukakn oleh Prof. Dr. Sediono Tjondronegoro, itulah, yang membikin aku berusaha dan berhasil menghubungi, menemui dan mendengarkan langsung penjelasan-penjalaan beliau lebih lanjut mengenai masalah agraria negeri kita.
Mengenai terbentuknya lapisan konglomerat di Indonesia, dalam pertemuan di Bogor itu, Prof Sediono menambahkan bahwa sejak perwira-perwira TNI menempati posisi-posisi dominan dalam perusahaan-perusahaan BUMN, sebagai kelanjutan dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, pada saat itulah lahir dan terbentuk lapisan konglomerat Indonesia, yang berhasil memanfaatkan kedudukan mereka sebagai pimpinan perusahaan-perusahaan BUMN.
* * *
Dr Gunawan Wiradi, peneliti, aktivis untuk perubahan agraria dan perubahan tanah di Indonesia dan juga konsultan pada berbagai NGO, yang memperoleh pendidikan politik agrikultur dan sosiologi pedesaan di IPB (1963), kemudian menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Khewan, IPB, juga hadir dalam pertemuan kami yang mengambil tempat di SAINS, Sayogo Institut, Bogor.
Menggaris bawahi penjelasan Prof Sediono tentang macetnya pelaksanaan UUPA 1960, Dr Gunawan Wiradi mengemukakan, bahwa, pada akhir tahun 1960-an dan permulaan tahun 1970-an di Asia, teristimewa di Indonesia, perhatian terhadap perubahan tanah (landreform) berangsur-angsur melenyap, dan akhirnya dicampakkan samasekali, digantikan dengan kampanye besar-besaran untuk 'green revolution' ('revolusi hijau').
Selanjutnya Dr Wiradi menunjukkan bahwa politik besar pemerintahan Orde Baru, justru bertentantangan dengan politik pemerintah sebelumnya. Dari slogan yang dikemukakan dapat disaksikan perbedaan politik pemerntah Presiden Sukarno dan politik Presiden Suharto. Pada periode pemerintahan Presiden Sukarno, slogan-slogan yang populer, adalah, 1) Berdaulat di bidang politik, 2) Berdikari di bidang ekonomi, dan 3) Berkepribadian di bidang kebudayaan. Sedangkan slogan pemerintahan Orba adalah, Politics, No!, Economy, Yes!
Sejak jatuhnya Suharto, dengan naiknya pemerintah Presiden Habibie, Gus Dur dan Megawati, rupanya terlalu sedikit perhatian diberikan terhadap masalah-masalah agraria. Untuk dikatakan”Samasekali tidak ada perhatian!” Oleh karena itu terurtama dalam tahun-tahun 2000 dan 2001, sejumlah NGO dan organisasi tani menggalakkan kegiatan mereka (dilakukan seminar dan diskusi, demo-demo, melakukan pendekatan-pendekatan dengan politisi, melakukan loby-loby, dsb. Ini dilakukan tidak saja di Jaskarta, tetapi juga di sejumlah daerah lainnya.
Meskipun pelbagai kegiatan diadakan oleh organisas-organisasi masyarakat berkaitan dengan masalah petani, namun, sampai-sampaipun Presiden SBY yang dua kali dipilih langsung, tampak enggan untuk bicara mengenai reform-agraria.
Adalah teramat penting dan perlu menjadi perhatian terus-menerus, kenyataan berikut ini:
Tampaknya ada pergeseran dalam pola konflik agraria dewasa ini. Dalam tahun-tahun 1960-an kebanyakan konflik terjadi di kalangan penduduk desa itu sendiri. Tentu tidak semua demikian, yaitu antara tani kecil dan tani tak bertanah dengan tuan-tanah besar. Tetapi, dewasa ini, konflik yang terjadi adalah antara tani pemilik tanah atau kaum tani keseluruhan, lawan keseluruhan modal perusahaan swasta dan . . . . lawan pemerintah.
Dr Wiradi menambahkabn, . . . . Ketika dalam tahun 1957 secara sefihak RI membatalkan Persetujuan KMB, dan kemudian menasionalisasi perkebunan (asing, yang ketika itu sudah dikembalikan kepada Belanda sesuai Persetujuan KMB), dimkasudkan tanah-tanah perkebunan itu akan merupakan salah satu obyek dari suatu reform agraria. Tetapi, sayang sekali, pas pada saat itu muncul militer, yang menempati posisi-posisi kekuasaan di hampir semua perkebunan-perkebunan tsb.
* * *
Analisis dan canang yang diberikan oleh Prof. Dr Sediono Tjokronegoro dan Dr |Gunawan Wiradi sebagai pakar dan aktivis bidang land-reform, merupakan bahan penting sekali untuk direnungkan dan difahami oleh pemerintah yang berwenangl.
Bagi generasi baru hal-hal yang dikemukan oleh kedua sarjana dan cendekiawan petanian Indonesia itu, merupakan bahan input dan penyuluh tegas bagi kegiatan-kegiatan selanjutnya, dalam rangka pelaksanaan perubahan tanah seperti sudah diundangkan dalam UUPA 1960.
* * *
No comments:
Post a Comment