Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 05 Februari 2012
---------------------------------
WANI DAN KUMPULAN PUISI --- “SELEPAS BAPAKKU HILANG” <3>
Ini tulisan ketiga. Menyambut “SELEPAS BAPAKKU HILANG”, Kumpulan Puisi (1999-2007) – Fitri Nganthi Wani). Judul yang diberikan pada kumpulan puisi Wani ini, tidak kebetulan. Seluruh cerita mengenai Wani, berkisar pada bagaimana ia begitu merasakan “hilangnya bapaknya” dan bagaimana ia tumbuh mendewasa dalam nurani, semangat dan realita kehidupan..
Wani adalah salah satu KISAH DARI RIBUAN KISAH yang telah dan belum terungkap, tertulis dan terdengar. Yang memilukan dan gemasnya betapa kekejaman dan kebiadaban rezim Orba. Seorang seniman, penyair dan budayawan seperti WIDJI THUKUL, --- karena mengikuti kata hati sanubarinya, karena keberanian dan perlawanannya terhadap ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan rezim Orba, terpaksa membayarnya dengan nasib sebagai orang 'buronan' dan menjadi ORANG YANG DIHILANGKAN dengan PAKSA. Diduga Widji Thukul telah jadi korban (entah yang keberapa dari) “Tim Mawar` Kopassus. `Tim Mawar` dituding bertanggung jawab terhadap kegiatan penculikan dan penghilangan nyawa beberapa aktivis pro demokrasi (Wikipedia').
* * *
Namun. . . . . . WANI, bukan meratapi dan menyesali keyakinan dan sikap serta kegiatan perlawanan bapaknya terhadap rezim Orba! Wani keluar dari trauma dan 'kirisis' sebagai anak yang kehilangn bapaknya, yang ia tidak tahu dimana rimbanya, kalaupun sudah tewas tidak tahu dimana kuburnya. WANI TELAH LAHIR DARI PENDRITAANYA, muncul menjadi seorang yang berani berlawan. Berlawan dengan berani melalui kary-karya puisinya.
Menakjubkan, betapa gadis remaja Wani ini, mengingat usianya yang masih begitu muda,---
mendewasa dalam kancah pergolakan, kebiadaban penguasa dan dimulainya suatu proses perubahan.
* * *
Seperti ditulis oleh cendekiawan Australia, Richard Curtis, dalam KATA PNGANTAR untuk kumpulan puisi Wani, (kutip), a.l. Sbb:
“Sementara massa belalu, Wanipun sadar dia perlu menjauh dari kepedihannya. Merindukan bapaknya pulang adalah sia-sia. Dua puisi sedikit bertentangan ditulis hampir dalam waktu bersamaan. Dalam puisi “Kenangan” memperlihatkan perasaan campur aduk atas bapaknya yang hilang, juga lewat perasaan kanak-kanaknya, dengan kemarahan luar biasa bahwa bapaknya tidak kembali ke rumah. Wani belum bisa berpikir, bukan salah bapaknya bahwa dia tidak bisa pulang. Itu semua diluar kehendak bapaknya. Tahun-tahun pertama ketika bapaknya hilang, Wani sangat merindukan perhatian dan kasih sayang bapaknya. Sementara dalam puisi
“Dosakah aku”, Wani sudah sangat muak dengan kepedihan yang dia derita akibat penungguan bertahun-tahun. Hal itu ditumpahkan menjadi kekeceweaan dan kemarahan yang besar. Wani sadar, sesudah sekian lama menunggu, kwmungkinan besar bapaknya tidak akan pernah kembali lagi, tetapi merasa bersalah kalau harus merelakan bapaknya pergi …
Mari mengkhayati puisi Wani di bawah ini, seperti yang ditafsirkan oleh Richar Curtis, sbb:
KENANGAN
Waktu kecilku
Teringat selalu
Ayah gendong aku
Ayah timang aku
Ayah mengajakku keliling kota
Dengan sepeda butut kesayangnnya
Ayah mengajarkan pada diri ini
Untuk menjadi anak yang pemberani
Namun kini
Manis atau pahitkah kenangan itu?
Sosok seorang ayah itu
Telah pergi
Hilang bersama dirinya
5 Agustus 2005
* * *
Lalu selami lagi jiwa Wani yang menuliskan puisi di bawah ini±
DOSAKAH AKU ?
(satu puisi lagi buat ayah)
Kini kusadari kubukan anak-anak lagi
Aku adalah gadis remaja
Yang dihadapkan pada realita dunia
Di sini kupunya seorang ibu
Kupunya adik, kawan, dan saudara
Dan aku tahu kenyataan
Bahwa aku sebenarya punya ayah
Namun layaknya tak punya ayah
27 Juli '96
Peristiwa bodoh yang dibilang kedjam
Itulah mulanya ayahku hilang
Aku heran dengan penguasa
Sebenarnya tidak buta tapi pura-pura buta
Sebenarnya tidak dungu tapi pura-pura dungu
Akupun semakin bosan dengn keinginan
Mimpi di mana kelak ayahku kembali
Juga bosan dengan pertanyaan nurani
Bagaimana dan dimana ia kini
Terkadang ada hasrat untuk melupakan
Bila yang ditunggu tak merasa ditunggu
Aku sudah terbiasa dengan hidupku
Hidup dengan ibu tanpa ayahku
Andai kau tahu, ayah
Aku hanya kasihan pada ibuku
Dan menaruh harapan pada adikku
Aku yakin kelak aku bisa mandiri
Membiayai sekolah adikku sendiri
Membiayai biaya hidup sendiri
Menemani ibu dan membuatnya bangga!
Tak usah suruhanmu datang lagi
Hanya untuk menjenguk kami
Karena kami selalu baik
Baik dalam ketabahan dan cobaan
Ingin sekali ku teriak
Tapi berbisikpun aku enggan
Adakah dosa gadis remaja
Bila kecewa pada impiannya?
Dosakah aku
Bila tak mengharap kepulanganmu?
Dosakah aku
Bila terlalu bosan menungumu?
18 Maret 2005
* * *
No comments:
Post a Comment