Saturday, February 4, 2012

Kolom IBRAHIM ISA

Minggu, 05 Februari 2012

---------------------------------


WANI DAN KUMPULAN PUISI --- “SELEPAS BAPAKKU HILANG” <3>

Ini tulisan ketiga. Menyambut “SELEPAS BAPAKKU HILANG”, Kumpulan Puisi (1999-2007) – Fitri Nganthi Wani). Judul yang diberikan pada kumpulan puisi Wani ini, tidak kebetulan. Seluruh cerita mengenai Wani, berkisar pada bagaimana ia begitu merasakan “hilangnya bapaknya” dan bagaimana ia tumbuh mendewasa dalam nurani, semangat dan realita kehidupan..


Wani adalah salah satu KISAH DARI RIBUAN KISAH yang telah dan belum terungkap, tertulis dan terdengar. Yang memilukan dan gemasnya betapa kekejaman dan kebiadaban rezim Orba. Seorang seniman, penyair dan budayawan seperti WIDJI THUKUL, --- karena mengikuti kata hati sanubarinya, karena keberanian dan perlawanannya terhadap ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan rezim Orba, terpaksa membayarnya dengan nasib sebagai orang 'buronan' dan menjadi ORANG YANG DIHILANGKAN dengan PAKSA. Diduga Widji Thukul telah jadi korban (entah yang keberapa dari) “Tim Mawar` Kopassus. `Tim Mawar` dituding bertanggung jawab terhadap kegiatan penculikan dan penghilangan nyawa beberapa aktivis pro demokrasi (Wikipedia').


* * *


Namun. . . . . . WANI, bukan meratapi dan menyesali keyakinan dan sikap serta kegiatan perlawanan bapaknya terhadap rezim Orba! Wani keluar dari trauma dan 'kirisis' sebagai anak yang kehilangn bapaknya, yang ia tidak tahu dimana rimbanya, kalaupun sudah tewas tidak tahu dimana kuburnya. WANI TELAH LAHIR DARI PENDRITAANYA, muncul menjadi seorang yang berani berlawan. Berlawan dengan berani melalui kary-karya puisinya.


Menakjubkan, betapa gadis remaja Wani ini, mengingat usianya yang masih begitu muda,---

mendewasa dalam kancah pergolakan, kebiadaban penguasa dan dimulainya suatu proses perubahan.


* * *


Seperti ditulis oleh cendekiawan Australia, Richard Curtis, dalam KATA PNGANTAR untuk kumpulan puisi Wani, (kutip), a.l. Sbb:


Sementara massa belalu, Wanipun sadar dia perlu menjauh dari kepedihannya. Merindukan bapaknya pulang adalah sia-sia. Dua puisi sedikit bertentangan ditulis hampir dalam waktu bersamaan. Dalam puisi “Kenangan” memperlihatkan perasaan campur aduk atas bapaknya yang hilang, juga lewat perasaan kanak-kanaknya, dengan kemarahan luar biasa bahwa bapaknya tidak kembali ke rumah. Wani belum bisa berpikir, bukan salah bapaknya bahwa dia tidak bisa pulang. Itu semua diluar kehendak bapaknya. Tahun-tahun pertama ketika bapaknya hilang, Wani sangat merindukan perhatian dan kasih sayang bapaknya. Sementara dalam puisi

Dosakah aku”, Wani sudah sangat muak dengan kepedihan yang dia derita akibat penungguan bertahun-tahun. Hal itu ditumpahkan menjadi kekeceweaan dan kemarahan yang besar. Wani sadar, sesudah sekian lama menunggu, kwmungkinan besar bapaknya tidak akan pernah kembali lagi, tetapi merasa bersalah kalau harus merelakan bapaknya pergi …


Mari mengkhayati puisi Wani di bawah ini, seperti yang ditafsirkan oleh Richar Curtis, sbb:



KENANGAN


Waktu kecilku

Teringat selalu

Ayah gendong aku

Ayah timang aku


Ayah mengajakku keliling kota

Dengan sepeda butut kesayangnnya


Ayah mengajarkan pada diri ini

Untuk menjadi anak yang pemberani


Namun kini

Manis atau pahitkah kenangan itu?


Sosok seorang ayah itu

Telah pergi

Hilang bersama dirinya


5 Agustus 2005


* * *


Lalu selami lagi jiwa Wani yang menuliskan puisi di bawah ini±


DOSAKAH AKU ?

(satu puisi lagi buat ayah)


Kini kusadari kubukan anak-anak lagi

Aku adalah gadis remaja

Yang dihadapkan pada realita dunia


Di sini kupunya seorang ibu

Kupunya adik, kawan, dan saudara

Dan aku tahu kenyataan

Bahwa aku sebenarya punya ayah

Namun layaknya tak punya ayah


27 Juli '96

Peristiwa bodoh yang dibilang kedjam

Itulah mulanya ayahku hilang

Aku heran dengan penguasa

Sebenarnya tidak buta tapi pura-pura buta

Sebenarnya tidak dungu tapi pura-pura dungu


Akupun semakin bosan dengn keinginan

Mimpi di mana kelak ayahku kembali

Juga bosan dengan pertanyaan nurani

Bagaimana dan dimana ia kini


Terkadang ada hasrat untuk melupakan

Bila yang ditunggu tak merasa ditunggu

Aku sudah terbiasa dengan hidupku

Hidup dengan ibu tanpa ayahku


Andai kau tahu, ayah

Aku hanya kasihan pada ibuku

Dan menaruh harapan pada adikku


Aku yakin kelak aku bisa mandiri

Membiayai sekolah adikku sendiri

Membiayai biaya hidup sendiri

Menemani ibu dan membuatnya bangga!

Tak usah suruhanmu datang lagi

Hanya untuk menjenguk kami

Karena kami selalu baik

Baik dalam ketabahan dan cobaan


Ingin sekali ku teriak

Tapi berbisikpun aku enggan

Adakah dosa gadis remaja

Bila kecewa pada impiannya?


Dosakah aku

Bila tak mengharap kepulanganmu?

Dosakah aku

Bila terlalu bosan menungumu?



18 Maret 2005



* * *






No comments: