Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 13 Februari, 2012
------------------------------
hhttp://ibrahimisa.blogspot.com/
TERGUGGAH OLEH PUISI-PUISI FITRI NGANTHI WANI – Putrinya WIJI THUKUL
* * *
Pagi ini punya arti penting bagiku!
Mungkin penting sekali.
Karena pagi ini kami, Murti dan aku, selesai membaca bersama (buku) berisi semua puisi-puisi Fitri Nganthi Wani – putrinya Widji Thukul. Kumpulan puisi-puisi Wani, 1999-1007 itu, diterbitkan oleh PUSDEP, Pusat Sejarah Dan Etika Politik Universitas SANATA DHARMA, Yogyakarta (2009)-- Wah, begitu disebut Universitas Sanata Dharma, aku ingat lagi sahabat-karibku Prof. Dr. Baskara T. Wardaya--)
Penting karena aku ingin 'share' dengan pembaca, puisi-puisi seorang (bayangkan) gadis 10 tahun (lahir di Solo, 6 Mei 1989), --- yang ketika itu, masih duduk di SD, sampai jadi mahasiswa Universitas Gajah Mada sekarang ini. Bagaikan mutiara cemerlang yang menginspirasi!
Wani tidak meratapi atau meneyesali nasibnya tetapi BERONTAK BERLAWAN. Mengilhami didikan dan ajaran bapaknya: HARUS BERANI BERLAWAN terhadap ketidak-adilan. Tidak kebetulan Widji Thukul menamakan putrinya WANI. Melalui puisinya Wani berani berlawan terhadap pengkucilan, diskriminasi dan persekusi rezim Orba terhadap bapaknya, keluarganya, ibunya dan terhadap rakyat Indonesia.
Itulah sebabnya --- Karya seni Wani itu begitu mengharukan, menggugah, mempengaruhi dan menginspirasi kami-kami yang sudah gaék-gaék ini. Menakjubkan sekali. Sehingga sempat aku berfikir puisi-puisi Wani itu merupakan seakan monumen perlawanan generasi baru terhadap rezim Orba dan pendukungnya yang masih kuasa sekarang ini, berani berlawan terhadap ketidak adilan yang diderita rakyat sampai kini.!
Apa yang hendak kulakukan ini belum dan juga tidak ada maksud untuk 'lapor dulu' atau mengkonsultasikannya dengan penerbit buku Wani itu, Pusdep Universitas Sanata Dharma,maupun dengan penulisnya. Pokoknya jalan dulu lah. Urusan belakangan, kalau ada yang tak setuju siaran ini.
Mengapa mengharukan? Karena, justru buah pena Wani itu, ditulisnya dalam situasi persekusi rezim Orba, terhadap siapa saja yang berani menentang kesewenang-wenangan, ketidak-adilannya. Kongkritnya a.l. 'menghilangkan' Widji Thukul, bapaknya Wani.
* * *
Yang hendak aku 'sharekan ' dengan pembaca tanpa seizin penerbit dan penulisnya terlebih dahulu, ialah MENYIARKAN SATTU-SATU ATAU DUA-DUA ATAU TIGA-TIGA sekaligus puisi-puisi Wani itu.
Agar pembaca segera bisa mengkhayatinya, dimulai saja dengan Tiga Puisi berikut ini: SURAT BUAT INDONESIA (17 Agustus 1999), PULANGLAH PAK!! ( 15 Mei, 2000) dan MAAFKAN AKU INDONESIA ( 17 Agustus 2000). Ketika itu Wani baru berumur 10-11 tahun).
* * *
SURAT BUAT INDONESIA
Kepada:
Indonesiaku.
Kamulah tempat lahirku
Kamulah tumpah darahku
Wahai Pertiwiku
Inginku mohon padamu
Perhatikan nasib rakyatmu
Mereka tak bisa nikmati hari bahagiamu
Mereka masih menderita
Mereka hanya memikirkan makan untuk keluarga
Sampai di sini dulu permohonanku
Wahai Indonesiaku
17 Agustus 1999
* * *
PULANGLAH PAK !!
Pulanglah, Pak
Kami sekeluarga menunggumu, Pak
Kawan-kawanmu juga menunggumu, Pak
Pulanglah, Pak
Apakah kamu tidak tahu
Indonesia pecah, Pak?
Pipa-pipa menancap di tubuh pertiwi kita
Asap-asap dari pabrik-pabrik
Mengotori pertiwi kita, Pak
Limbah-limbah membuat sungai-sungai
Dan kali-kali tercemar
Kami terpaksa tutup hidung, Pak
Pertiwi kita menangis
Pertiwi kita butuh kamu, Pak
Pulanglah, Pak
Apakah kau tidak ingat aku lagi
Aku anakmu, Pak
Aku, adik, ibu dan semua orang merindukanmu, Pak
Apakah hanya dengan doa-doa saja
Aku harus menunggu?
Penguasa, Kembalikan Bapakku!!!
15 Mei 2000
* * *\
MAAFKAN AKU INDONESIA
Bendera-bendera merah putih
Dipasang di depan rumah-rumah
Melambangkan arti hari bahagia Indonesia
Tapi maafkan aku Indonesia
Karena tak punya bendera
Benderaku hanya dua potong kain bekas
Yang disambung
Yang merah robek seperempat
Tapi dijahit lagi oleh nenekku
Maafkan aku Indonesia
Karena hanya bisa neyanyikan
Lagu Indonesia Raya
Sekali lagi maafkan aku Indonesia
Karena hanya puisi ini
Hadiah yang dapat kuberi.
17 Agustus 2000
* * *
Rangkuman puisi-puisi Wani yang kita baca diatas sungguh mengharukan dan menggetarkan perasaan keadilan yang membacanya. Mengingatkan pembaca bahwa Indonesia sudah merdeka, tapi rakyat masih menderita. Mengingatkan penguasa atas tanggungjawabnya terhadap negeri, bangsa dan rakyat yang masih papa.
Sebuah puisi lagi Wani, kita rasakan betapa rindunya Wani akan Bapaknya yang “HILANG” itu.
Tidak kebetulan bahwa judul bukunya adalah SELEPAS BABAPPKU HILANG.
* * *
No comments:
Post a Comment