Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 09 April 2012
----------------------------
IA . . .“TAKUT PULANG” KE INDONESIA . . . . . . .
* * *
Melihat raut mukanya, Ibu itu tipikal rupa seorang wanita Indonesia, yang berumur kira-kira 70 tahun. Aku langsung saja menyapanya : “Anda orang Indonesia?” tanyaku kepadanya.
“Saya orang Maluku”, jawabnya santai tapi tegas dalam bahasa Indonesia yang standar.
Aku perhatikan betul! . . . . Bahwa sang ibu Maluku yang kutanyai itu, dengan santun berusaha menjelaskan bahwa ia bukan orang Indonesia, bahwa ia ORANG MALUKU.
Kataku lebih lanjut: “Ibu sudah lama di Belanda sini?”
“Anda pernah berkunjung kembali ke Indonesia?”, tanyaku.
* * *
Sang Ibu itu tiba-tiba duduk di sebelah kami, di bangku yang disediakan untuk orang-orang yang mau duduk-duduk di komplek pertokoan Hoog Catharijn, Utrecht. Murti dan aku sedang duduk istirahat di bangku situ ketika sang Ibu ikut duduk disamping kami. Peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu, tanggal 07 April kemarin dulu.
“Ya, kami sudah 60 tahun di Belanda. Tahun 1951 saya ikut papa berangkat ke Belanda. Papa saya dulu militer, kan?” Sepertinya sudah menjadi pengetahuan umum di Belanda bahwa orang-orang Maluku yang datang pada awal 1950-an itu adalah orang-orang militer, bersama keluarga mereka.
Memang betul! Umumnya masyarakat Belanda (ketika itu) tahu, bahwa, yang datang mengalir ke Belanda bersama keluarganya ketika itu adalah orang-orang KNIL dan keluarganya. Jumlah mereka sampai mencapai kurang lebih 12.500 orang. Orang-orang Maluku yang anggota militer KNIL itu, -- akhirnya didemobilisasi di Belanda. Disuruh menanggalkan atribut militernya. Mereka kecewa sekali didemobilisasi. Mereka sebenarnya ingin mempertahankan status militer Belanda (KNIL – Hindia Belanda).
Ini kekecewaan pertama mereka terhadap pemerintah Belanda. Di zaman “tempo doeloe”, mereka amat setia kepada Sri Ratu Belanda. Patuh ketika menjadi anggota angkatan bersenjata KNIL dan mengorbankan dirinya ikut mempertahankan kedaulatan Nederland atas Hindia Belanda ketika Jepang datang menyerbu, . . . Namun . . . . setelah ditandatangninya persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar) antara Belanda dan Indonesia, dan Belanda “menyerahkan kedaulatan” atas Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), mereka begitu saja didemobilisasi di negeri Belanda. Mereka merasa diperlakukan seperti kata pepatah “Habis manis sepah dibuang”.
* * *
Cakap-cakapku dengan Ibu dari Maluku dilanjutkan:
“Selama 60 tahun Ibu sekeluarga di Belanda apa sudah pernah kembali ke Ambon?”, tanyaku lagi.
--- “Ya”, jawab Ibu Maluku itu. “Kami sekelurga pigi berkunjung ke Ambon. Di sana ketemu banyak keluarga kami. Senang kumpul-kumpul di sana karena sudah lama, kan, tidak ketemu”.
--- “Mana lebih senang, tinggal di sini, Belanda, atau di Ambon. Apa Ibu pergi ke tempat-tempat lainnya.”, tanyaku lagi.
---”Senang di sinilah. Ada jaminan hidup, meski nganggur atau bila sudah tua. Di Indonesia, mana ada seperti itu. Bekerja saja harus ada koneksi dan suap sana, suap sini. Susah, ya . . . . .
--- “Ya, kami juga mengunjungi Bali. Wah, Bali bagus sekali. Hampir dua minggu di sana. Senang sekali”.
Aku menyela:
---“Ke Jakarta dan tempat-tempat lainnya?”
Dengan muka serius dan tegang sang Ibu Maluku itu berkata:
--- “Oh, kami tidak pergi ke tempat lainnya. Kami sebenarnya takut ke Indonesia”.
“Ha??”, kataku. “Takut?”
“Ya, di Indonesia semua orang harus jadi Islam. Semua dipaksa disuruh masuk Islam. Mereka mau bikin seluruh Indonesia jadi Islam. Kami tidak mau dipaksa begitu. Kami betul takut”.
Cerita Ibu Maluku ini bikin aku benar-benar terkejut, kecewa dan sedih. Sedih sekali!! Masih ada pandangan seperti itu pada orang-orang yang menurut pendapatku sebenarnya adalah orang Indonesia.
Fikirku, ini “PR” -- (pekerjaan rumah) untuk Kedutaan Indonesia di Den Haag. Kok sampai saat ini, masih ada keluarga Maluku yang punya pandangan seperti itu . . . . ??
* * *
Pelan- pelan aku jelaskan kepada Ibu Maluku. Bahwa, selama masa panjang sekali di waktu lalu, penduduk Maluku yang beragama Islam dan yang beragama Kristen, hidup bersama dan bergaul bersama dengan damai dan hamonis. Dari fihak Republik Indonesia samasekali tidak ada yang memaksa supaya yang bergama Kristen masuk Islam. Terjadinya konflik sampai pada bentrokan senjata dan pembakaran-pembakaran sert pembunuhan, antara yang beragama Islam dan yang beragama Kristen, itu adalah rekayasa yang didalangi oleh klik militer dan sementara tokoh politik dari pusat. Keterangan ini kuperoleh sendiri dari penulis R. Sarumpaet ketika sempat jumpa dengannya tahun lalu di KITLV, Leiden. Ia pernah khusus berkunjung ke Maluku. Tegas sekali penulis Sarumpaet menandaskan bahwa fihak militer ada 'dibelakang' kerusuhan antar-agama di Maluku tsb.
Kujelaskan kepada Ibu Maluku yang beragama Kristen itu. Bahwa, tidak mungkin bangsa Indonesia memaksakan semua warga-negara jadi Islam. Karena sebagian warganegara Indonesia yang di Sumatera Utara, sebagian yang di Jawa Tengah, Di Indonesia Timur, termasukMaluku, dan tempat- tempat lainnya beragama Kristen, ada yang Protestan dan ada yang Katolik. Sementara warganegara Indonesia lainnya berkeyakinan Konghucu. Di Bali agamanya Hindu. Sedangkan sebagian lagi warganegara Indonesia beragama Budha. Jadi tidak akan dibenarkan dan akan dilawan setiap usaha siapa saja yang hendak memaksa warga yang berkeyakinan lain untuk masuk Islam.
Sang Ibu Maluku mendengarkan penjelasanku dengan penuh perhatian. Tetapi aku tak bisa menduga sampai dimana Ibu Maluku itu bisa diyakini oleh penjelasanku itu. Dan tak jelas,masih berapa banyak orang Indonesia yang beragama lain dari Islam, yang punya pandangan seperti Ibu Maluku itu.
* * *
Bagaimana keadaannya sekarang orang-orang Maluku yang datang ke Belanda permulaan tahun limapuluhan abad lalu itu,?
Baikkah? Seperti apa keadaan mereka itu sekarang ini?
Begitu datang di Belanda mereka disebar di banyak tempat perumahan-perumahan orang-orang Maluku. Perumahan Maluku itu terpencar, tetapi, setiap perumahan, oleh pemerintah Belanda sengaja diatur terpisah dari masyarakat Belanda. Tidak ada maksud penguasa untuk mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Belanda. Karena, katanya, mereka itu sementara saja di Belanda. Di Indonesia ketika itu Manusama dan Soumokil, dari kalangan masyarakat Maluku yang tidak setuju Maluku menjadi bagian dari RIS, Republik Indonesia Serikat (RIS), betindak drastis. Mereka memproklamasikan berdirinya “Republik Maluku Selatan (RMS)”.
Sebagian besar, orang-orang Maluku yang datang ke Belanda ketika itu mendukung RMS. Mereka ada harapan perlawanan RMS yang di Ambon sudah dihancurkan oleh APRIS, Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat, dan mundur ke P. Ceram, akan bisa bertahan di situ dan akhirnya mencapai kemenangan. Maka, orang-orang Maluku yang di Belanda (untuk sementara itu) akan bisa berlayar balik ke negerinya yang baru merdeka, REPUBLIK MALUKU SELATAN. Begitu fikiran dan harapan mereka.
Selanjutnya perkembangan mengenai orangorang Maluku yang diangkut pemerintah Den Haag ke Belanda, melalui lika-liku dan suasana “zigzag” menjadi rumit seperti tak kunjung terpecahkan oleh pemerintah Belanda.
* * *
Meski pandangan (politik) mereka berbeda-beda, mulai dari yang berpendirian keras memperjuangkan negara sendiri, orang-orang Maluku pendukung “Republik Maluku Selatan”, sampai yang tiba pada kesedaran berbangsa satu, BANGSA INDONESIA, dan akhirnya mengambil kewarganegaraan Republik Indonesia, semuanya bagiku ADALAH ORANG-ORANG INDONESIA. Nyatanya paling tidak ada kira-kira 250 orang Maluku yang akhirnya pulang kembali menetap di Indonesia.
Salah satu media pernah menulis menguraikan keadaan orang-orang Maluku di Belanda. Dikatakan antara lain: Cita-cita RMS bagi sementara orang Maluku memberikan perasaan bahwa mereka itu tergolong SATU BANGSA, bangsa Maluku. Bagi sementara lainnya cita-cita RMS itu memberikan harapan, bahwa, suatu ketika orang-orang Maluku benar-benar akan berdiri sendiri, suatu bangsa yang merdeka.
Namun, bagi orang-orang Maluku lainnya, cita-cita RMS itu, sudah tidak relevan lagi. Sudah tak ada artinya lagi.
Menurut suatu sumber, saat ini kira-kira separuh dari orang-orang Maluku tsb sudah tidak lagi tinggal di kalangan masyarakat Maluku. Mereka menetap di masyarakat orang-orang Belanda 'bule'. Mereka, katakanlah, sudah 'berintegrasi' di masyarakat Belanda. Namun juga tampak bahwa sementara orang-orang Maluku hidup dalam keadaan serba kekurangan.
Tapi, juga ada yang telah menjadi 'celebrity'. Diantaranya kita lihat seperti mantan anggota Eerste Kamer (
Senat) Belanda, SAM PROMES. Sam Promes adalah Senator Nederland pertama yang berasal dari etnis Maluku.
Yang juga sangat populer di Belanda, terutama di kalangan penggemar sepak-bola, adalah mantan kapten kesebelasan Oranje, kesebelasan nasional Belanda, dalam Kejuaraan Sepak Bola Sedunia y.l di Afrika Selatan. Dia adalah Giovanni Christiaan Van Bronckhorst. Giovanni adalah keturunan Ambon. Marga ibunya adalah Sapulette. Lalu kita kenal nama seorang aktris dan penyiar berita di TV dan Radio, Carolijn Lilipaly, putri dari Johan J. Lilipaly, mantan anggota Tweede Kamer (Parlemen Belanda).
Masih ada lagi celebirity Maluku yang kita kenal. Ia seorang penyanyi tenar keturuan Ambon bernama Daniel Sahuleka. Ia seorang penyanyi Belanda yang berdarah Ambon-Sunda. Ia amat peduli dengan keadaan kehidupan rakyat Indonesia. Dalam salah satu wawancara Daniel Sahuleka mengatakan bahwa ia mengharapkan tidak akan ada lagi kerusuhan dan bentrokan agama seperti apa yang terjadi di Maluku belum lama. Karena, kata Daniel. Ibu saya juga beragama Islam. Ketika itu ia baru saja memberikan sumbangan sebesar Rp. 33 juta, untuk meringankan para korban musibah Gunung Merapi.
* * *
"Dari dulu saya ingin sekali bisa pergi ke Indonesia. Berkat musik saya akhirnya bisa ke sini. Dalam pikiran saya dulu negeri jauh, namun sekarang sudah sekitar 12 kali bolak balik Indonesia," ujar pria yang dibawa ke Belanda oleh kedua orangtuanya saat berumur 10 bulan.
Musisi berdarah Maluku-Sunda ini tidak menginginkan jika negeri di mana ia dilahirkan, terus menerus dirundung masalah seperti bencana alam yang terjadi di Merapi dan Mentawai akhir tahun 2010.
Ia juga tidak menginginkan timbul kerusuhan berdarah di daerah asal nenek moyangnya, seperti yang terjadi beberapa tahun lalu.
"Saya tidak menginginkan adanya kerusuhan antar agama terjadi lagi di Maluku, karena ibu saya juga beragama Islam," cetus pria yang baru saja menyumbangkan dana untuk korban Merapi sebesar Rp 33 juta.
* * *
Itulah sekadar berbagi cerita mengenai percakapanku dengan seorang Ibu Maluku yang sudah 60 tahun bermukim di Belanda. IA TAKUT PULANG KE INDONESIA.
* * *
2 comments:
Menarik membacanya, karna saya pun sedang menulis tentang Maluku dan RMS di blog saya (mutiaohorella.blogspot.com) Sebuah masukan berarti buat saya,Nice story :)
Jual Cytotec Obat Aborsi Asli
Obat Aborsi Pil Penggugur Kandungan
Post a Comment