Thursday, April 19, 2012

MULAILAH Dng Yang Paling Gawat – KASUS 1965

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 19 April 2012
------------------------------


PRESIDEN NIAT MINTA MAAF – MULAILAH Dng Yang Paling Gawat – KASUS 1965


Bicara mengenai Peristiwa Tragedi Nasional 1965, meski terdapat saling hubungan yang erat sekali, antara segi yang satu dengan segi lainnya ---- Namun, harus dipisahkan paling tidak antara dua segi atau dua hal. Satu hal adalah kasus sekitar G30S itu sendiri, Gerakan 30 September 1965. Segi di-demisionerkannya pemerintahan Presiden Sukarno, dibunuhnya enam jendral dan seorang perwira menengah di Lubang Buaya, dan hal dibentuknya Dewan Revolusi oleh G30S di bawah pimpinan Letkol Untung, yang memproklamasikan Dewan Revolusi sebagai badan kekuasaan tertinggi di Indonesia ketika itu.


Itu semua terjadi pada masa pra-dimulainya persekusi besar-besaran, pembunuhan masal yang berlangsung terhadap warga negara yang tak bersalah.


Mengenai kasus G30S itu “an sich”, pelaku-pelakunya sudah di-Mahmilubkan, sudah divonis dan dilaksanakan vonisnya. Dengn catatan bahwa Pengadilan Mahmilub itu samasekali tidak independen. “Proses hukum” ketika itu, merupakan sandiwara penguasa belaka untuk melikwidasi lawan-lawannya. Mengenai G30S sudah banyak dilakukan studi dan penulisan, seminar, diskusi dan konferensi. Di dalam maupun di luarnegeri. Telah banyak diterbitkan bahan-bahan tertulis mengenai hal tsb, terutama sejak digulingkannya Presiden Suharto dan setelah Indonesia memasuki masa REFORMASI dan DEMOKRATISASI.


Pelbagai kesimpulan dan teori bisa dibaca di ribuan, bahkan puluhan ribu bahan tertulis. Dan kegiatan ini akan berlangsung terus. Sampai menjadi jelas-jemelas masalahnya.


* * *


Satu segi atau satu hal lainnya lagi, ialah, masalah persekusi terhadap PKI, orang-orang yang dianggap PKI, simpatisan PKI, pendukung Presiden Sukarno dan orang-orang Kiri lainnya. Persekusi tsb terutama mengenai dibunuhnya, dilakukannya eksekusi ekstra-judisial terhadap orang-orang yang tak bersalah, orang-orang yang tanpa proses hukum papapun dibantai, disiksa, dibunuh dan atau dipenjarakan dan dibuang ke Pulau Buru, disekap di situ lebih dari sepuluh tahun lamanya. Hal yang ini – ini, tak lain dan tak bukan adalah pelanggaran HAM yang terbesar yang dilakukan oleh aparat negara, militer dan polisi, serta oleh parpol-parpol pendukungnya, atas tuduhan terlibat atau ada indikasi terlibat dengan G30S. Jumlahnya bergeser antara 100.000 sampai 3 juta korban (angka Jend. Sarwo Edhie).


Mengenai hal, -- bahwa kejadian itu adalah pelanggaran HAM terbesar di Indonesia selama sejarah Republik Indonesia, -- bahwa hal itu adalah suatu CRIME AGAINST HUMANITY, suatu KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN, --- itu tak memerlukan terlalu banyak teori dan kesimpulan, karena mengenai hal itu, yang bersangkutan, yang melakukan kejahatan itu sendiri secara langung atau tidak, sudah ada yang mengakuinya. Bukankah Jendral Sarwo Edhie sendiri telah mengakuinya dan merasa “menyesal”?


* * *


Cara atau metode mempersoalkan kasus Peristiwa Tragedi Nasional 1965 demikian itu, sering dinyatakan padaku oleh sahabat karibku, sarjana hukum, mendiang Wiyanto SH, mantan dosen di Universitas Airlangga, dan terakkhir (1965-1970) bertugas di Sekretariat Juris Asia-Afrika di Conakry, Republik Guinea,. Dan lebih sering lagi di pertemuan-pertemuan internasional maupun seminar-seminar bersangkutan dengan masalah pelanggaran HAM di Indonesia.


* * *


Ketika menyatakan bahwa pemerintah akan minta maaf sekitar pelanggaran HAM dimana aparat kekuasasan menjadi pelaku aktif dan langsung terlibat, ----- tidak dikemukakan ingin minta maaf mengenai kasus dan periode yang mana. Karena, pelanggaran HAM dimana aparat adalah pelakunya, sering sekali terjadi sejak berdirinya Orba.


Pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar PERISTIWA TRAGEDI NASIONAL 1965, terutama berlangsung setelah Jendral Suharto mengalahkan G30S dan mulai melakukan KUP MERANGKAK terhadap Presiden Sukarno . Pelanggaran itu --- adalah PELANGGARAN HAM YANG TERBESAR.


Maka mulailah dari Peristiwa Tragedi Nasional 1965.



* * *


Sebagai bahan pemikiran tambahan, di bawah ini dimuat tulisan YT Taher dari Australia.


Beranikah Kepala Negara RI sekarang ini menegakkan hukum dan meminta maaf kepada puluhan juta korban Peristiwa 1965 dan Kejahatan HAM lainnya.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Oleh – Y.T. Taher – Australia, 19 April 2012.


Tahun 1984, Eks . Komandan RPKAD Letjen. Sarwo Eddi Wibowo, pernah bertemu

dengan Ilham Aidit, putra bungsu D.N. Aidit, Ketua PKI, di puncak Gunung
Tangkubanperahu. Saat itu, kepada Ilham, Sarwo Edhi berkata, bahwa dirinya
hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya
benar. Tapi setelah peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang
dilakukannya itu salah. Ilham terpana. Sarwo mengulurkan tangan, dan tangan
Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan.

Akan tetapi, kendatipun Sarwo Edhi Wibowo barangkali “menyesal” dan
menyatakan “sadar bahwa yang dilakukannya itu salah”, apakah kasus
pembantaian tiga juta manusia itu bisa dianggap selesai dengan “jabatan
tangan” Sarwo Edhi Wibowo dan Ilham? Suharto memerintahkan Sarwo Edhi dan
Sarwo memerintahkan 400 orang anggota RPKAD untuk melaksanakan pembunuhan di
Jakarta, Jateng, Jatim dan Bali dan diikuti oleh para militer dan golongan
agama diseluruh Indonesia. Teror yang dilakukan atas perintah Jenderal
Suharto menjadikan Indonesia dipenuh dengan mayat-mayat orang tak berdosa.
Berapa puluh juta bangsa Indonesia menderita akibat tindakan pemerintah
“ordebaru” Suharto itu?.

Kasus Peristiwa 1965, bukanlah kasus antar-personal. Bukanlah kasus antara
manusia Sarwo Edhi dan manusia Ilham Aidit, tetapi adalah masalah bangsa dan
negara, yang harus diselesaikan secara kenegaraan pula. Beranikah Kepala
Negara RI sekarang ini menegakkan hukum dan meminta maaf kepada puluhan juta
korban Peristiwa 1965 dan Kejahatan HAM lainnya? Beranikah? Kita lihat
sampai di mana keberaniannya! Ataukah ibarat pepatah “Tiba di mata
dipicingkan, tiba di perut dikempiskan?” Rakyat dan bangsa Indonesia akan
melihat dan menjadi saksi!!!


* * *






No comments: