Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 17 Arpil 2012
-----------------------------
Suatu PENGKHAYATAN PADA SAYOGO
Sayogo, . . . . . . Nama yang telah diabadikan dalam lembaga SAYOGO INSTITUE (SAINS, Bogor), meninggal dunia pada tanggal 17 Maret 2012 y.l.
Dunia ilmu , penelitian dan studi pertanian, dunia sejarawan negeri kita kehilangan salah seorang raksasa dalam kepedulian dan pengabdian beliau pada tanah air dan bangsa.
Ahmad Nashih Luthfi, seorang sejarawan muda, telah menulis sebuah buku penting berjudul “MELACAK SEJARAH PEMIKIRAN AGRARIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN MAZHAB BOGOR”.
* * *
Sejarawan Lubabun Ni'am, menulis dalam 'resensi' mengenai buku yang ditulis Lutfhi, a.l sbb: “Saya menganggap buku ini penting tak hanya karena menuliskan tema yang sudah lama ditabukan oleh rezim Orde Baru, yakni wacana agraria. Lebih dari itu, pembaca buku kita memang seharusnya menaruh takzim kepada penulis yang tekun menghayati pemikiran cendekiawan besar dan berdedikasi”.
Buku setebal 348 halaman, yang merupakan buku ilmiah, memang tidak mudah untuk mencernakannya, apalagi bagi orang awam, seperti penulis artikel ini.
'Resensi' yang ditulis oleh sejarawan muda Lubabun Ni'am, seyogianya membantu dan mendorong yang berniat hendak membacanya.
* * *
'Resensi' Lubabun Ni'am, menurut pendapatnya sendiri, merupakan PENGKHAYATAN PADA SAYOGO. Di bawah ini dipublikasikan selengkapnyai: – – – (semua huruf cetak tebal dari saya, I.I.)
Lubabun Ni'am:
Penghayatan pada Sajogyo
17 April 2012
Judul buku: Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor
Penulis: Ahmad Nashih Luthfi ; Penerbit: Sajogyo Institute (Bogor) dan Pustaka Ifada (Jogjakarta)
Cetakan: Pertama, September 2011; Tebal: lii + 348 Halaman
Saya membaca buku ini dalam suasana batin yang tak keruan. Yang jelas, saya tidak bisa menyelesaikan pembacaan buku ini sekali duduk. Berhari-hari saya berkeras untuk terus meluangkan waktu membaca buku ini. Mengapa? Saya menganggap buku ini penting tak hanya karena menuliskan tema yang sudah lama ditabukan oleh rezim Orde Baru, yakni wacana agraria. Lebih dari itu, pembaca buku kita memang seharusnya menaruh takzim kepada penulis yang tekun menghayati pemikiran cendekiawan besar dan berdedikasi. Luthfi, demikian sejarawan muda yang menggarap buku ini biasa disapa, hanya satu di antaranya.
Lalu, siapakah cendekiawan yang ditahbiskan Luthfi sebagai “mazhab Bogor”?
Pertama, Sajogyo (sebelumnya sempat menyandang nama Kampto Utomo), yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia. Pada 1955, Sajogyo lulus sarjana Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (kini Institut Pertanian Bogor (IPB)). Hanya berselang dua tahun, ia meraih gelar doktor di bawah promotor W.F. Wertheim. Kalau kita putar ingatan, sosok Sajogyo lekat dengan konsep “garis kemiskinan ala Sajogyo”. Konsep ini didasarkannya pada pendapatan “setara beras” per tahun (minimal 240 kilogram untuk penduduk desa, 369 kilogram untuk penduduk kota). Bagi Sajogyo, yang mempublikasikan konsep itu pertama kali pada 1977, penduduk miskin adalah mereka yang berpendapatan di bawah itu.
Kedua, Gunawan Wiradi, sang guru studi reforma agraria. Pada 2009, Gunawan Wiradi mendapat anugerah doktor honoris causa dari IPB dalam “bidang sosiologi pedesaan dengan kekhususan kajian agraria”. Bukunya yang berjudul Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir (2000) memberi gambaran ihwal gagasan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Caranya, menurut Gunawan Wiradi, yakni landreform by laverage (didongkrak dari bawah, berdasarkan pemberdayaan petani), bukan by grace (hasil dari kemurahan hati negara). Di tengah eskalasi konflik agraria dan diiringi kecenderungan menuju negara autopilot seperti sekarang ini, gagasan Gunawan Wiradi tersebut kian tampak relevan.
Dua sosok itu, yang di lingkup perguruan tinggi dan aktivis sosial sudah tak asing lagi, dalam buku ini bukan hanya dapat ditelusuri mozaik pemikiran mereka, melainkan juga lintasan pemikiran yang digeluti masing-masing dalam lanskap Indonesia. Pada debat Indonesianisasi ilmu sosial, Luthfi berhasil memosisikan keduanya sebagai nama yang tidak boleh luput untuk dimasukkan dalam rangkaian rujukan. Pada titik itulah buku ini menjadi menonjol, sampai-sampai pembaca dirasa perlu untuk disuguhi tiga bab yang kontekstual sebagai penghantar.
Pertama, bagian yang melacak jauh nuansa pedesaan dalam rumah eksploitasi kolonial. Kedua, mengulas penetrasi Revolusi Hijau di Asia Tenggara yang disandingkan dengan proses transisi agraria di Indonesia. Ketiga, melacak garis kajian agraria Indonesia. Dari segi sistematika penulisan, hal ini jelas merupakan metode untuk membuktikan satu sisi penting dalam ranah keilmuan sosial Indonesia. Yakni, membuktikan kritik Kuntowijoyo (1999) yang menyebut bahwa “sejarah kesarjanaan Indonesia tak terakumulasi dan tak menjadi himpunan pengetahuan yang otoritatif” (hlm. 252) itu tak sepenuhnya dan tak selamanya sahih.
Bagi saya, pembuktian itu sebenarnya tak diuraikan cukup meyakinkan dalam buku ini. Bagian akhir buku untuk menjawab pertanyaan “adakah mazhab itu?” ditulis tak terlalu panjang, hanya dua belas halaman (hlm. 253–264). Kritik dari Kuntowijoyo pun sekadar diletakkan dalam sebuah catatan kaki. “Agar tak terjebak dalam karya filsafat, buku ini mencoba melihat konteks dan prosesnya,” demikian Luthfi (hlm. 20). Dia pun kemudian meminjam pandangan Clifford Geertz (hlm. 127): “… untuk memahami status science sosiologi pedesaan di Indonesia, pertama-tama bukan dengan melihat temuan-temuan teoretiknya, namun juga harus melihat apa yang dilakukan oleh para praktisinya terhadap ilmu tersebut”.
Sebelum menulis buku ini, yang merupakan tesis Luthfi di Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada, sebenarnya Luthfi juga menulis biografi Umar Kayam (Manusia Ulang-Alik, 2007) dan menyunting otobiografi Soediono M.P. Tjondronegoro (Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua, 2008) yang tak kalah menantang. Hanya saja, untuk karya ini, sebagai sebuah studi pemikiran (bukan semata biografi tokoh), pembacaan genealogis-epistemologis terkait pokok pemikiran Sajogyo dan Gunawan Wiradi seharusnya bisa diuraikan lebih abstraktif. Pelacakan terhadap konteks dan proses sebagai metodologi penulisan buku ini ternyata nyaris menutup sama sekali kritik terhadap pemikiran yang dikaji Luthfi.
Di luar hal itu, saya sepakat dengan kesan Gerry van Klinken bahwa buku ini “membuka mata kita pada cara lain untuk berilmu”. Pemikiran dan praksis pemikiran Sajogyo dan Gunawan Wiradi tertuang betul dalam masing-masing bab (V dan VI). Luthfi, bagi saya, lebih dari sekadar kebetulan ketika memutuskan untuk bergumul dalam pemikiran dua cendekiawan agraria tersebut pada momen kini. Pada 2009, ketika tesis ini kelar diuji, kecendekiaan Sajogyo dan Gunawan Wiradi boleh dikatakan sudah solid dan “selesai”, betapapun masih terus berkontribusi dalam beberapa aktivitas. Dedikasi seorang tokoh besar memang tidak akan pernah surut dan terhenti, kecuali kematian yang mendadak menghentikannya.
Tiba-tiba, seolah baru pagi hari kemarin (17 Maret 2012), kabar yang membikin batin tak keruan itu datang: Sajogyo telah tiada.
Maka dari itu, penghayatan pada buku ini mungkin sekaligus sebagai penghayatan yang sederhana atas kepergian Sajogyo. (*)
Resensi ini dimuat Jawa Pos, Minggu, 15 April 2012.
* * *
No comments:
Post a Comment