Sunday, April 1, 2012

Sekali lagi tentang “De INDONESIË WEIGERAARS”

    Kolom IBRAHIM ISA
    Minggu, 01 April 2012
    ----------------------------


    Sekali lagi tentang “De INDONESIË WEIGERAARS”
    < Prajurit-prajurit Belanda Yg Menolak Memerangi Republik Indonesia>

    * * *

    Sebuah episode, satu peristiwa amat penting dalam sejarah hubungan Indonesia-Belanda ialah, ketika sejumlah prajurit Koninklijke Leger (KL) Belanda MENOLAK BERANGKAT KE INDONESIA, untuk berperang melawan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Aksi protes prajurit-prajurit Belanda ini teramat penting. Sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kemiliteran Belanda. Bahwa, begitu banyak yang melakukan desersi dengan alasan, yang, ya politis, ya manusiawi!


    Coba bayangkan, --- Dengan tujuan menghancurkan Republik Indonesia, pemerintah Belanda mengirimkan sebanyak 120.000 prajurit KL dari Holland ke Indonesia (1946 – 1949). Tapi, dari jumlah tsb tidak kurang 4050 orang yang menanggalkan pakaian seragam militer mereka. Mereka “membangkang”, melakukan “desersi”. Mereka menolak berperang melawan Republik Indonesia.

    Bukankah peristiwa ini LUAR BIASA?

    Bukankah ini suatu manifestasi HATI NURANI Belanda, yang sekaligus merupakan tindakan solidaritas dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia?

    'De Indonesië Weigeraars” adalah prajurit-prajurit Belanda yang melakukan 'desersi' pasca Perang Dunia II. Desersi terbesar dalam sejarah ketentaraan Belanda itu, dilakukan atas dorongan hati-nurani serta sebab-sebab lainnya yang dianggap benar dan adil. Walhasil, mereka MENOLAK dikrimkan ke Indonesia pada tahun-tahun 1946-1947. Mereka menolak memusuhi rakyat Indonesia, karena menganggap tidak adil dan tgidak benar, bahwa Belanda berbuat demikian, karena negeri itu baru saja bebas dari pendudukan nazi Jerman.

    * * *

    Bila hendak bicara soal terjadinya jembatan antara kedua bangsa kita, Indonesia dan Nederland, maka aksi “INDONESIË WEIGERAARS” itu adalah salah satu jembatan penting dalam hubungan Indonesia -Belanda. Jelas bukan dilangsungkannya perundingan Indonesia-Belanda, yang berakhir dengan Persetujuan Linggarjati. Karena, kemudian persetujuan itu dicabik-cabik oleh Belanda sendiri dengan tindakan agresi pertama Belanda terhadap RI, yang mereka sebut sebagai “Politionele Actie”.

    Pada 10 Maret yang lalu, telah kutulis sebuah esai berjudul “DE INDONESÏE WEIGERAAS” , --- NILAI-NILAI YANG HARUS DIBELA . . . . . .

    Maka dari itu, -- Kiranya, tidak cukup sekali saja menulis tentang peristiwa penting tsb. Mengenai episode penting dalam sejarah hubungan Indonesia-Belanda, apalagi itu terjadi setelah bangsa kita memproklamasikan kemerdekaannya, ---- itu harus ditulis lagi, diriset terus, dan dilengkapi lebih lanjut. Penguasa Den Haag bernafsu mengkolonisasi kembali Indonesia. Maka kasus tsb ditutup-tutupi di negeri Belanda sendiri. Banyak kalangan enggan menyinggung, apalagi membicarakannya. Mereka tidak mau membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

    Juga di Indonesia tidak banyak orang, --- sedikit sekali pakar dan historikus, yang meneliti dan mengetahui seluk-beluk kasus tsb selengkapnya. Di sinilah arti penting buku kecil yang terbit di Belanda pada bulan Juni, 1989, berjudul “DE INDONESIË WEIGERAARS” oleh dua orang jurnalis Belanda, Kees Bals dan Martin Gerritsen. Kemudian keluar cetakan kedua dalam bulan Juli 1989 dan cetakan ketiga yang diperbaiki pada bulan Desember 1993.

    Di bawah rezim Orba tak ada perhatian baik dari masyarakat, termasuk tidak dari sejarawan, untuk menterjemahkan karya tsb ke dalam bahasa Indonesia. Barangkali membaca bukunyapun tidak pernah. Apalagi dari pihak penguasa Orba. Mungkin sikap itu disebabkan oleh kenyataan bahwa anggota-anggota Partai Komunis Belanda (CPN) dan ANJV (organisasi pemuda Kiri) dan EVC (serikat buruh Kiri) banyak yang ambil bagian penting dalam aksi itu sendiri maupun yang memberikan bantuan kepada para “pembangkang militer” tsb ketika mereka jadi 'orang buronan', ketika mereka terpaksa 'menghilang', menyelelamatkan diri dari tangkapan Polisi Militer Belanda.

    Sementara dari kalangan 'pembangkang” militer Belanda itu, kita kenal nama dan ceriteranya. Seperti H. Poncke Princen. Ia 'tiarap', 'menghilang' tetapi kemudian ditangkap aparat. Lalu dijebloskan ke dalam 'kamp pendidikan kembali' di Schoonhoven. Dari situ ia tokh berangkat juga sebagai tentara Belanda ke Indonesia. Lebih baik ke Indonesia ketimbang dijebloskan dalam penjara lagi, fikir kopral Princen. Di Indonesia ia 'nyeberang'. Bergabung dengan TNI. Ia ikut aktif dalam perang gerilya TNI melawan tentara Belanda. Ikut 'long mars' dari Yogya ke Jawa Barat. Kemudian sebagai anggota DPR-RI dari parpol IPKI, menjadi aktivis hak-hak azasi manusia. Masih di bawah periode rezim otoriter Orba, Poncke Princen mengungkap pembunuhan masal oleh aparat Jendral Suharto, di Purwodadi di sekitar Peristiwa 1965.

    Untuk menghitamkan nama Poncke Princen, fihak penguasa Belanda menguar-uarkan berita, bahwa Poncke Princen, setelah masuk TNI, dengan mengenakan pakaian seragam militer Belanda, mengecoh pasukan-pasukan Belanda, menjerat mereka ke suatu perangkap yang diatur oleh TNI. Di situlah pasukan Belanda itu dibantai. Poncke Pirncen, begitu cerita penguasa Belanda, ambil bagian dalam menembaki tentara Belanda yang terjebak itu. Dengan itu fihak Belanda hendak menunjukkan: Lihatlah Poncke Princen si pengchianat yang membelot ke pihak Republik Indonesia, membunuhi teman-temannya sendiri. Tentu cerita itu samasekali rekayasa belaka.

    Princen membantah cerita bohong yang disiarkan penguasa Belanda itu. Ketika ia masuk wajib militer, jelas baginya bahwa ia disuruh berperang melawan Indonesia. Ia menolak dan menghilang ke Perancis. Ketika ia kembali ke Belanda mendengar ibunya sakit keras, ia ditangkap polisi militer Belanda. Princen dikirim ke 'kamp pendidikan kembali' di Schoonhoven. Di situ ia banyak bertemu dan tukar fikiran dengan 'pembangkang-pembangkan' lainnya. Orang-orang Komunis Belanda menentang pengiriman tentara ke Indonesia. Salah seorang profesor (Komunis) mengeluarkan seruan agar jangan berangkat. “Saya sepenuhnya terpengaruh oleh sikap mereka itu. Tidak ada yang kami diskusikan selain masalah (perlawanan terhadap pengiriman tentara ke Indonesia) itu”. Demikian Poncke Princen dalam wawancaranya dengan mingguan 'De Groene Amsterdammer', 43 tahun kemudian.

    Ketika dihadapkan di sidang mahkamah militer Belanda karena desersinya itu, Princen menyatakan bahwa bangsa Indonesia mempunyai hak elementer untuk merdeka. Dan pengirimannya ke Indonesia, menurut Princen bertentangan dengan Fasal 192 Undang-Undang Dasar Belanda. Pengadilan Militer samasekali tidak menggubris argumen-argumen Princen. Kata Hakim Ketua: -- “Kopral Princen, kita disini bukan di parlemen” -- kemudian Princen divonis setahun penjara (dengan 4 bulan 'masa percobaan').

    Setelah dengan terpaksa masuk militer lagi Princen dikirim ke Purwakarta. Menurut ceriteranya, di Purwakarta ia banyak diskusi dengan seniman-seniman dan budayawan muda Indonesia.

    Dari diskusi itu berangsur-angsur mata saya terbuka tentang perjuangan mereka itu. Tibalah saya pada pandangan: bila fihak sana yang benar (maksudnya Indonesia) maka saya juga harus ada di fihak sana”. Pada tanggal 25 September 1948, Poncke Princen mengambil langkah bersejarah, yang menentukan jalan hidupnya selanjutnya. Princen menanggalkan pakaian seragam KL-nya dan bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia.

    Fihak TNI tidak segera percaya. Princen ditahan dan dikirim ke Yogyakarta. Ketika Belanda melakukan agresi kedua (19 Desember 1948) TNI membebaskan Princen dari penjara. Kepadanya diberikan peluang untuk memilih apakah mau kembali ke tentara Belanda, atau, berjuang bersama TNI. Princen memilih menjuadi pejuang kemerdekaan Indonesia. Keputusan yang diyakininya benar. Dimantapkannya ketika ia ambil bagian dalam 'long mars' ditengah-tengah hujan peluru Belanda.

    Kepada ibunya Princen menulis: “Selama dua setengah bulan kami jalan kaki tanpa sepatu (dari Jogya ke Jawa Barat). Jalan sepanjang kurang-lebih 900 km bukan jalan beraspal. Siang hari kami dihujani peluru, malam hari dibom. Kami juga menyaksikan perkampungan rakyat yang dibakar (tentara Belanda)... Ketika itu adalah saat-saat sulit, tetapi adalah pada saat itu kita menyadari bahwa . . . . kawan-kawan kita sendiri, hakikatnya tidak beda samasekali dengan orang-orang (nazi) Jerman. Lewat 'long mars' itulah saya betul-betul yakin bahwa saya adalah bagian dari orang-orang yang ditembaki (tentara Belanda). Karena itulah saya mengidentifikasikan diri saya dengan pemuda-pemuda itu (TNI)”.

    * * *

    Nama lainnya adalah *Piet van Staveren ( lahir 1925), alias PITOYO*.Bersama 25 orang 'pembangkang' lainnya, Pitoyo 'nyeberang' ke TNI, memihak Republik Indonesia dan aktif sebagai penyiar Radio Republik Indonesia, Yogyakarta, pada zaman perang kemerdekaan Indonesia.

    Piet van Staveren adalah seorang Komunis, anggota ANJV, organisasi pemuda Belanda yang berorientasi ke CPN (Partai Komunis Belanda). Setibanya di Indonesia , ia berfihak pada RI setelah Belanda melakukan agresi pertama (1947).

    Jelas dinyatakan oleh Pitoyo bahwa ia “menolak untuk mengabdi pada kepentingan kolonial klas yang menindas.”. Ia ditangkap (1949 dan di kirim kembali ke Belanda dan divonis 7 tahun penjara (Leeuwarden).

    Mereka-mereka itu, prajurit-prajurit Belanda yang melakukan 'desersi', tidak mau disuruh berperang melawan Republik Indonesia. Untuk itu mereka diganjar hukuman, yang berkisar dari beberapa bulan sampai lima tahun penjara. Melakukan desersi adalah bentuk protes dan perlawanan mereka terhadap perang kolonial pemerintah Belanda terhadap Republik Indonesia, terhadap pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia.



    * * *

Menulusuri kembali sejarah hubungan Indonesia-Belanda beberapa ratus tahun ke belakang, kita menyaksikan bahwa hubungan ini ditandai, dicirii oleh kolonialisme Belanda yang bersekutu dan bersandar pada feodalisme yang masih kokoh di Indonesia. Kekuasaan kolonialisme itu ditandai oleh pemerasan dan penindasan atas bangsa kita.


Orang-orang Belanda yang berpandangan kolot, feodal, konservatif dan reaksioner, dengan bangga memandang ke Zaman Keemasan Kerajaan Belanda. Mereka merasa heibat sebagai turunan Jan Pieterszoon Coen (1587-1629), gubernur-jendral VOC yang melakukan genosida terhadap rakyat Banda demi memaksakan monopolinya atas perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku dan Banda. Yang membakar kota Djajakarta demi membangun Batavia. Dan peranan gubernur-jendral van de Bosch yang memaksakan 'Cultuur Stelsel' (tanam paksa 1830-1870), yang telah menggendutkan kas negeri di Den Haag, tapi membangkrutkan kaum tani Indonesia sehingga hidup seterusnya sebagai kuli-kuli di antara bangsa-bangsa. Serta dibangumya oleh gubernur-jendral Daendels, 'Jalan Raya Pos' ( De Grote Postweg-1880) dari Anyer di Banten sampai ke Panarukan, di Jawa Timur, sejauh 1000 km, yang telah minta korban matinya ribuan petani Indonesia.


Belum lagi bicara kasus pembantaian masal Kapten Westerling di Sulawesi Selatan atas rakyat Sulawesi Selatan, dan pembunuhan masal tentara Belanda di desa Rawagede, Jawa Barat. Dan sejumlah kekejaman Belanda selama dua kali perang agresi Belanda terhadap Republik Indonesia.


Semua itu adalah catatan sejarah yang mengisahkan kekuasan angkara murka rezim kolonial Belanda atas Indonesia.


* * *


Tapi . . . . Juga dengan menelusuri kembali sejarah hubungan Indonesia-Belanda, kita bertemu dengan tokoh-tokoh lainnya.


Sepertu MULTATULI dengan bukunya yang anti-kolonial dan anti feodal “Max Havelaar . . .”; dengan Prof Dr Wertheim dengan bukunya “Indonesian Society in Transition”, dan didirikannya Komite Indonesia serta Stichting Werheimnya; dengan Prof Dr Jan Breman dengan bukunya dan tulisan-tulisannya yang membelejeti kejahatan 'Cultuur Stesel' (antara lain yg berjudul “Koloniale Profijt van Onvrije Arbeid – Het Preanger Stelsel van Gedwongen Koffieteelt of Java) dan tulisan-tulisannya yang mengungkap dan menganlisisis pelbagai bentuk pemerasan kolonial Belanda atas Indonesia; dengan Prof Dr Pluvier yang dengan jujur dan obyektif menulis buku sejarah gerakan nasional Indonesia; dengan Prof Dr Bob Hering yang menulis buku sejarah Indonesia, tentang Bung Karno sebagai Bapak Nasion Indonesia; dengan Joop Morriën dengan bukunya “Vijftig Jaar Antikoloniale Strijd – INDONESIË Liet Me Nooit Meer Los”; dengan Herman Burger dengan bukunya “De Garuda en de Ooievaar” yang dengan obyektif menulis tentang sejarah hubungan Nederland-Indonesia; dengan Ewald van Vugt dengan bukunya “Zwarte Boek Van Nederland Overzee”, yang membelejeti kekejaman dan kebiadaban kolonialisme Belanda terhadap dunia, khususnya terhadap Indoensia; dengan Dr H. Poeze yang menulis tentang sejarah salah seorang founding father Indonesia -- TAN MALAKA;

dengan Poncke Princen dan Piet van Staveren, yang menentang perang yang dilancarkan Belanda atas RI dan kemudian berpihak total pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan masih banyak lagi cendekiawan, pakar dan sejarawan yang berpandangan obyektif, yang mengutuk kolonialisme Belanda atas Indonesia dan membela perjuangan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pasti banyak tulisan dan kegiatan lainnya yang dilakukan orang-orang Belanda yang jujur dan bersahabat terhadap Indonesia.


Maka tibalah kita pada suatu kesimpulan: Yaitu – Keharusan melihat sejarah hubungan Indonesia-Belanda selalu dari dua seginya, yaitu segi gelap dan segi terangnya, SEGI NEGATIF DAN SEGI POSITIFNYA.


* * *


Aksi dan tindakan sejumlah besar prajurit Koninklijke Leger Belanda, yang 'membangkang' yang melakukan “desersi” demi menolak dan melawan perang agresi Belanda atas Republik Indonesia, jelas adalah segi indahnya, segi positifnya dalam sejarah hubungan dua bangsa dan dua negeri ini.



* * *







No comments: