Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 12 April 2012
MEMANFAATKAN CUACA AMSTERDAM YG LANGKA
* * *
Pagi ini cuaca baik sekali! Nyaman tapi masih sejuk. Musim semi masih belum kiprah betul. Pemandangan mulai menghijau dimana-mana dan ratusan bunga bermekaran. Taman bunga terbesar di Eropah, “Keukenhof” sudah dua minggu dibuka. Dan minggu lalu Taman Floriade, yang diadakan setiap dasawarsa, dibuka di Venlo oleh Ratu Beatrix.
Sang surya berkenan menampakkan dirinya hari ini. Meskipun belum “pol” betul. Tak ada hujan. Di kejauhan tampak awan menggumpal abu-abu. Berita tadi malam tidak melaporkan akan turun hujan. Cuaca yang begini ini merangsang orang untuk keluar rumahnya. Demikianlah aku siap-siap untuk 'jalan'.
Murti terpaksa tinggal di rumah. Ada pembantu yang bekerja “bersih-bersih”. Jadi harus ditunggui. Pembantu itu, seorang wanita asal Ghana, berbadan besar dan tegap. Umurnya hampir 40th. Punya dua anak. Satu perempuan dan satunya lelaki. Dua-duanya masih di sekolah menengah. Dia sudah setahun lebih membantu kami. Diatur melalui sebuah kantor bernama ”Thuiszorg” yang dapat subsidi pemerintah kotapraja. Urusannya adalah memperhatikan warga yang sudah senior atau sakit-sakitan yang dalam hal pekerjaan “bersih-bersih” rumahnya perlu ada bantuan. Bukan tanpa bayaran. Ia datang seminggu sekali, setiap hari Kemis. Ia bisa berhasa Inggris lumayan. Bahasa Belandanyapun … bolehlah.
Menarik untuk mengetahui bahwa hubungan kami, --- antara yang punya rumah dengan 'pembantu' (kalau di Indonesia) istilahnya: “PRT”, pembantu rumah tangga. ---- sepenuhnya SAMA DERAJAT. Bila ia menuliskan laporan pekerjaanya di buku LOGBOEK yang disediakan di rumah kami oleh “Thuiszorg” , pembantu itu duduk di kursi tamu. Ini ada baiknya kuangkat sedikit.
Karena menyangkut bagaimana orang di Belanda memperlakukan 'pembantu rumah tangganya”.
Memang di Belanda, tidak sedikit mahasiswa bahkan yang sudah S-1, bekerja sampingan sebagai 'pembantu tumah tangga'. Dari fihak mahasiswa dan masyarakat umumnya tidak ada perasaan bahwa pekerjaan “bersih-bersih rumah tangga” itu “rendah” martabatnya.
Perhatikan ini: ---- Setelah bekerja kira-kira dua jam, maka Murti mengajaknya makan siang BERSAMA. Duduk sama-sama di kursi meja makan kami. Dan makan bersama.
Bisakah dibayangkan di negeri kita yang 'demokratis', hal seperti itu bisa terjadi? Karena di negeri kita, yang mengangap demokratis itu, mana ada seorang pembantu rumah tangga dibolehkan duduk di kursi yang disediakan untuk tamu atau makan bersama di meja makan tuan rumah. Di beberapa keluarga Indonesia, aku saksikan sendiri, bila pembantu rumah tangga datang menyuguhkan teh atau kopi untuk yang punya rumah atau untuk tamu, ----- maka ia “merendah”, bahkan “berjongkok”. Katanya itu sesuai dengan “toto-kromo Timur”. Padahal itu tak lain sisa-sisa budaya feodal yang masih sulit ditinggalkan. Sekian dululah mengenai sikap masyarakat di Belanda terhadap pekerjaan “bersih-bersih”.
* * *
Maka, atas rangsangan cuaca musim yang langka itu, aku iseng-iseng jalan-jalan keluar. “Jalan-jalan” namanya, tapi tokh perlu juga naik metro. Karena tujuannya ke pusat kota. Ke Toko Buku “Antiquariaat Kok”, di Oude Hoogstraat 14-18 Amsterdam. Maksudnya hendak membeli buku yang pernah kubicarakan di sini: “de Indonesië Weigeraars”, “Para pembangkang Indonesia”, oleh dua jurnalis Belanda Kees Bals dan Martin Gerritsen. Ternyata toko buku “Antiquariaat Kok” yang menjual ribuan buku bekas dan baru itu, tidak menjual yang kucari itu. Seorang pelayannya mengklik di komputernya. Ya, memang buku itu ada diterbitkan, katanya. Tapi di toko buku “Antiquaraat Kok” tidak ada. Apa boleh buat.
Karena sudah 'kadung' jauh-jauh sampai di toko buku, aku melihat-lihat buku lainnya. Di tingkat atas, diantara ribuan buku lainnya, dan beberapa ratus buku tentang Indonesia, kutemukan tiga buku bersangkutan dengan Indonesia. Satu diantaranya berjudul “Geschiedenis van Indonesië”, 1949 ( “Sejarah Indonesia”), oleh Dr H.J. De Graaf. Seorang historikus Belanda <1899 - 1984.>. Ia pernah guru HBS di Indonesia “tempo doeloe”, dan seorang sarjana. Yang menarik mengenai Dr De Graaf ini, ialah, bahwa dari 1927 s/d 1930, setiap minggu sekali, -- ia belajar bahasa dan kebudayaan Jawa dari Prof Dr Purbatjaraka. De Graaf menganggap Prof Dr R.M. Ng Purbatjaraka sebagai gurunya yang bermurah hati mau mengungkapkan sebagian dari rahasia rakyat Indonesia kepadanya.
* * *
Belakangan nanti, kita singgung lagi buku Dr H.J. De Graaf.
Buku berikutnya yang kubeli di toko buku “Antiquaat Kok” adalah buku tentang Indonesia oleh jurnalis dan juru-potret kawakan Belanda, Peter Schumacher. Judul buku: “Ogenblikken van genezing Indonesische ervaring” – 1996 - (“Saat-saat pemulihan pengalaman Indonesia”). Masih kenal dengan nama Peter Schumacher, kan? Mantan redaktur salah satu surat kabar terbesar Belanda “NRC Handelsblad”, Rotterdam.
Ia kelahiran Sungasinga Dalam, Kalimantan Barat (1 Mei 1933). Pernah diinternir Jepang selama pendudukan Jepang. “Tempo Online” 07 Agustus 1972 pernah menulis artikel tentang “perginya” wartawan Schumacher dari Indonesia. Permintaan Schumacher untuk memperpanjang izin tinggal sebagai wartawan , DITOLAK pemerintgah Orba. Karena tulisan-tulisan Peter Schumacher tentang Indonesia dan teristimewa yang melaporkan kunjungannya ke P. Buru, terlalu kritis. “Tidak menyenangkan pemerintah Indonesia”. Memang saat itu rezim Orba sedang 'jaya-jayanya'. Dua wartawan asing lainnya dari “Asia Magazine”, juga tidak boleh lagi melapor dari Indonesia. Mereka itu sering menulis “yang tidak menyenangkan” pemerintah Indonesia sekitar P. Buru. dll.
“Dari tulisan “Tempo” tsb.tampak sekali betapa “hati-hati” dan takutnya Tempo pada rezim Orba. Tulisan sekitar DITOLAKNYA Peter Schumacher lebih lama lagi di Indonesia -- sama sekali tidak mencerminkan kritik Tempo terhadap rezim Orba yang hakikatnya mengusir P. Schumacher dan dua wartawan Barat lainnya. Memang benar, pada periode itu, kalau wartawan berani-berani menulis tentang ketiadaan kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia, pasti akan menemui nasib seperti s.k. “Pedoman”, yang dibreidel dan akhirnya tutup. Ingat: Ketika Presiden Suharto dilaporkan sekitar permintaan wartawan s.k. “Pedoman” agar surat kabar itu bisa terbit lagi, jawab Suharto pendek saja:
“PATENI WAÉ!”. Benar saja -- matilah s.k. “Pedoman”.
Dalam kata pengantarnya, Schumacher, menulis, bahwa bukunya itu samasekali bukan buku karya pengetahuan sejarah. Sekadar impresi subyektif mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masa kehidupannya di Hindia Belanda, lalu di Indonesia dan di Belanda.
Bukan pengetahuan sejarah, kata Schumacher tentang bukunya. Tetapi cukup berbobot. Mencakup a.l. “Petisi Soetardjo di “de Volksraad” pada zaman kolonial; Perang Hindia-Belanda dengan Jepang; masa kamp interniran dan “analisa” Jendral Spoor tentang perang itu. Lalu tentang Revolusi Indonesia, KMB sampai RIS hingga terjadi Peristiwa 1965. Cukup padat. Siapa tidak ingin membacanya?
Mengenai buku Schumacher ini nanti kita akan kembali lagi mempercakapkannya.
* * *
Buku ketiga yang kubeli, berjudul “Ons Indië – Voor de Indonesiërs” (1985) – “Hindia Kita Untuk Orang-orang Indonesia”: Penulisnya: Jan Bosdriesz da Gerard Soeteman.
Kali berikutnya akan kita singgung lagi mengenai tiga buku diatas.
Tulisan ini sekadar sebagai pemula untuk menggugah pembaca terus mencari, meneliti, menstudi dan menulis segala sesuatu menyangkut sejarah bangsa ini.
* * *
No comments:
Post a Comment