Saturday, June 28, 2014

Pesan Penting Untuk JOKOWI: -- (1) “LUKA BANGSA LUKA KITA”






Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 25 Juni 2014
-----------------------------

Pesan Penting Untuk JOKOWI: -- (1)
LUKA BANGSA LUKA KITA”

* * *

Luka Bangsa Luka Kita – Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Tawaran Rekonsiliasi” adalah judul buku DR BASKARA T. WARDAYA, SJ. Terbit tahun ini. Penerbit GALANG PUSTAKA, Yogyakarta. Aku memperolehnya melalui sahabatku Sutriyanto, di Jakarta.

Baskara menyatakan bahwa bukunya tsb ditulis “Untuk para pejuang kemanusiaan di segenap penjuru tanah air”.

Dalam pembukaan buku berikut ini pesan Editor: “Buku ini mengingatkan kembali masyarakat akan pentingnya Laporan Komnas HAM . . . untuk terus dipelajari, dan selanjutnya untuk dijadikan acuan bagi kerja-kerja kemanusiaan dalam rangka menuntaskan berbagai bentuk pelanggaran HAM masa lalu”.

* * *

Dalam rangka kampanye pilpres 2014, Jokowi berjanji bahwa masalah pelanggaran HAM harus diurus . . . Buku Romo Baskara ini merupakan 'handbook' yang baik sekali, khususnya untuk Jokowi dan Jusuf Kala, sebagai capres dan wacapres. Bila terpilih Jokowi diharapkan tidak melupakan komitmennya untuk mengurus masalah pelanggaran HAM masa lampau. Amat disarankan agar capres Jokowi dan cawapres Jusuf Kala, mempelajari dengan seksama buku Romo Baskara ini.

Mengapa Jokowi harus membaca buku ini? Karena, untuk memulai REVOLUSI MENTAL yang merupakan fundamen dan titik tolak program pemerintahnya, pertama-tama mengenai masalah HAM dan Rekosiliasi Bangsa harus jelas dan jernih terlebih dahulu. Ini terutama bagi pemerintah, lembaga hukum serta aparatnya. Untuk selanjutnya disosialisasikan ke masyarakat.

Revolusi Mental tidak akan mungkin dilakukan dengan baik selama masalah LUKA BANGSA, masalah REKONSILIASI tidak difahami, ditangani dan dituntaskan dengan seksama.

* * *

Dalam pengantar bukunya tsb, Romo Baskara menulis sbb:

Pembaca budiman, ketika pada bulan Juli 2012 Komisi Nasional Hak-phak Azasi Manusia ( Komnas HAM) mengumumkan laporan hasil penyeledikan Tim Ad Hoc-nya tentang pelanggaran HAM yang terkait dengan pembunuhan masal tahun 1965 -1966, masyarakat menyambut gembira. Baik di dalam maupun di luarnegeri, baik di media masa cetak maupun elektronik, sambutan gembira itu sangat terasa. Hampir semuanya memandang laporan ini sebagai sebuah langkah maju, bahkan sebagai sebuah babak baru dalam perjalanan bangsa Indonesia, ketika sebuah lembaga yang dibentuk oleh negara telah berani untuk secara serius melakukan penyelidikan mengenai pelanggaran HAM berat masa lalu. Apalagi tim Komnas HAM tak segan-segan menghabiskan waktu selama empat tahun (2008-2012) untuk menyelidikinya. Pada akhir penuyelidikan tersebut, Komnas HAM bahkan telah bersedia menyusun laporan yang jumlahnya mencapai ratusan halaman.

Apa boleh buat, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Ketika laporan hasil penyelidikan itu disampaikan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaaan Agung, tanggapan yang muncul (sebagaimana sudah dicurigai) amat mengecewakan. Dengan alasan teknis yang tidak mudah dimengerti, Kejaksaan Agung mengembalikan laporan itu ke Komnas HAM. Alasannya, karena belum lengkap. Tak terlalu jelas apa yang dimaksud dengan kebelum-lengkapan itu, yang mengakkibatkan laporan itu ditolak dan dikembalikan. Yang jelas, laporan itupun berhenti sebagai laporan. Tidak ada tindak lanjut. Dua rekomendasi penting yang disampaikan di akhir laporan itupun terbang ke udara tanpa seorangpun tahu kapan akan mendarat kembali ke bumi. Bahkan setahun setelah laporan itu diumumkan ke publik, tidak ada sesuatupun yang berarti yang telah dilakukan sebagai tindak lanjut dari laporan dan rekomendasi Komnas HAM itu. Sedikit demi sedikit orang mulai melupakannya.

Situasi demikian tentu membuat banyak pihak merasa kecewa. Pada saat yang sama, situasi ke-mandeg-an atau stagnan seperti inilah yang justru diharapkan oleh pihak-pihak tertentu, yakni pelanggaran HAM pada masa lalu - khususnya berkaitan dengan kekerasan dan pembunuhan masal tahun 1965-1966 (Tragedi '65) – tak akan pernah diselesaikan secara tuntas. Mungkin pihak-pihak ini khawatir jika masaalah ini dbuka dan dibahas secara publik, mereka akan dirugikan. Padahal kekhawatiran seperti itu tidak selalu beralasan. Situasi ini memberi kesan seakan-akan sia-sialah para anggota komnas HAM yang selama tiga tahun telah menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk berkeliling ke Nusantara guna melakukan penyelidikan dan menyusun laporan.

Buku Anda ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kerja keras para anggota Komnas HAM itu tidaklah sia-sia. Buku ini akan menunjukkan, apa yang telah mereka hasilkan melalui kerja keras dalam jangka waktu yang lama itu akan terus hidup dan menjadi acuan bagi penuntasan masalah pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia ini. Buku ini ingin kembali mengingatkan masyarakat akan pentingnya Laporan Komnas HAM tersebut untuk terus dipelajari, dan selanjutnya untuk dijadikan acuan bagi kerja-kerja kemanusiaan sekarang dan pada masa depan. Mengingat laporannya sendiri yag asli dan lengkap belum bisa diakses oleh publik (sebab secara legal, dokumen ini belum memiliki status sebagai dokumen pubik), apa yang bisa disampaikan untuk Anda disini hanyalah Ringkasan Eksekutif dari laporan tersebut. Ringkasan Eksekutif telah menjadi dokumen publik karena pernah dijadikan bahan untuk konferensi pers. Meskipun bentuknya hanya Ringkasan Eksekutif, kita berharap bahwa darinya kita bisa mendapatkan gambaran yang cukup mengenai apa yang telah dilakukan oleh tim Komnas HAM dan apa yang ditemukannya berkaitan dengan Tragedi '65 itu.

Dengan maksud untuk memperkaya pemahaman kita atas Ringkasan Eksekutif tersebut, serta untuk meletakkannya dalam konteks yang lebih luas, dalam buku ini disertakan dokumen serupa, yakni hasil penelitian dan laporan yang pernah dilakukan oleh sebuah tim penyelidik pelanggaran HAM berat pada masa pemerintahan Presiden Suharto (2003). Ditambahkan pula dalam buku ini tulisan-tulisan lain yang terkait, seperti tulisan mengenai konteks domestik dan internasional yang melatarbelakangi terjadi Tragedi '65; dan mengenai upaya-upaya konkret dalam rangka rekonsiliasi atas kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lampau.

Diharapkan dengan terbitnya buku ini, Anda dan kita semua bisa dapat gambaran yang lebih jelas mengenai pelangga 1965-1966, sejauh hal itu tercermin dalam Ringkasan Eksekutif Tim Ad Hoc Komnas HAM tersebut dan tulisan-tulisan lain yang menyertainya. Selanjutnya diharapkan pula bahwa kita akan menjadi lebih mengerti apa yang sebenarnya yang terjadi pada waktu itu, sejauh mana dampak dari peristiwa itu terhadap masyarakat, serta hal apa saja yang kiranya bisa dan perlu kita lakukan dalam rangka memperjuangkan hak-hak azasi setiap warga negara di negeri yang kita cintai bersama ini.

Ucapan terima kasih ingin kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berkenan terlibat dalam penerbitan ini, khususnya kepada teman-teman kami di Komnas HAM periode 2007-2012 maupun periode 2012-2017 yang telah memberikan dukungan bagi penerbitan buku ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepda kontributor yang telah meluaskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menulis dan mengirimkan tulisan untuk buku ini. Secara khusus, terima kasih kami sampaikan kepada Dr Asvi Warman Adam yang telah menyerahkan naskah Laporan Akhir Tim Pengkajian Pelanggaran Ham Berat Suharto (Sub-Tim Pengkajian Kasus 1965) untuk disertakan dalam buku ini . Tak lupa, terima kasih sebesar-besarnya kami tujukan kepada teman-teman kami di Penerbit Galang Pustaka Yogyakarta yang selain menyumbang gagasan awal juga telah bersedia memberikan dukungan tenaga dan biaya sehingga buku Anda ini menjadi kenyatan.

Semoga niat dan usaha baik yang yang telah kita tempuh bersama ini menghasilkan buah yang berguna bagi sebanyak mungkin orang di negeri ini. Terutama, semoga berguna bagi mereka yang masih memiliki harapan atas ditegakkannya kebenaran dan keadilan di Indonesia. Semuanya tentu demi masa depan bersama yang lebih baik.

Baskara T. Werdaya SJ, Editor.

* * *

Ketika Soeharto dipaksa turun dari jabatannya (1998) banyak dari saksi maupun korban mulai berani membuka suara dan berbicara tentang apa yang mereka alami. Namun demikian, ada jauh lebih banyak lagi yang belum berani membuka diri. Oleh sebab itu, mereka ini perlu dibantu agar berani dan rela menceritakan pengalaman dan keasaksian mereka untuk membantu memahami Tragedi '65 di Indonesia secara lebih utuh”.

--Baskara T. Werdaya, SJ.
(Bersambung)

* * *





No comments: