Kolom
IBRAHIM
ISA
Kemis, 26 Juni 2014-----------------------------
Pesan
Penting
Untuk JOKOWI -- (2)
“LUKA BANGSA LUKA KITA”
*
* *
Di
Bagian-2,
--- Tulisan mengenai buku Romo Baskara, berjudul “LUKA BANGSA
LUKA KITA”, kita fokuskan pada bagian Penutup buku. Disitu
penulis Baskara menggaris-bawahi arti penting REKONSILIASI
sebagai jalan keluar bangsa ini dari kegelapan sejarah yang
disebabkan oleh pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 1965.
Sedangkan
penerbit
Pustaka Galang Yogyakarta, menekankan dengan kuat sekali, agar
disadari sedalam-dalamnya oleh setiap warga, bahwa:
“Banyak negara di dunia memiliki rekam jejak buruk,
terkait kolektif dan pelanggaran HAM pada masa lalu. Sebut saja,
Jerman, Afrika Selatan, Korea Selatan dan Argentina. Begitu pula
Indonesia. Berbeda dengan negara-negara lain yang berani
mengakui, mengolah, dan menmuntaskan kejahatan terhadap
kemanusiaan, Indonesia sepertinya masih berjalan di tempat.
*
* *
Dalam
kata
penutup bukunya, Baskara menyimpulkan arti penting REKONSILIASI
bangsa, sebagai jalan keluar. Bukan untuk melakukan balas
dendam. Proses seperti yang telah berlangsung di Palu, Sulawesi
Tengah, menunjukkan bahwa usaha rekonsiliasi telah membuat
langkah permulaan. Suatu langkah menuju REKONSILIASI NASIONAL
yang di luar dugaan banyak orang. Tetapi nyatanya telah terjadi.
Halmana menunjukkan bahwqa bangsa ini, punya kemampuan dan
kesabaran untuk menyelesaikan masa lampau kekerasan yang telah
melanda bangsa.
Yang
bersalah
mengakui kesalahannya dan minta maaf. Ini dilakukan oleh Wali
Kota Palu. Para korban mendengarkan dan memberikan maaf. Para
korban yang tidak bersalah itu wajar dipulihkan nama baiknya. .
. dst.
Baskara
T.
Widjaya: “Kiranya peristiwa langka seperti itu bisa menjadi
contoh baik yang selanjutnya bisa menjadi inspirasi bagi
banyak orang di tingkat lokal maupun nasional.”
Baik
kita
ikuti dengan seksama kesimpulan jalan keluar yang disarankan
oleh
Baskara
dalam
bukunya. Ini bisa dibaca a.l dalam KATA PENUTUP bukunya, sbb:
PENUTUP
Pembaca
budiman,
di awal buku ini telah dikatakan bahwa salah satu tujuan
penerbitnya adalah agar kit bnisa mendapatkan gambaran yng lebih
jelas mengeni pelanggaran HAM yang berat terkait Peristiwa
1965-1966, dan menjadi lebih paham mengenai apa saja sebenarnya
yang terjadi pada waktu itu, berikut dampaknya. Untuk itu, pada
bagian depan buku ini, telah kita simak bersama gambaran umum
dan konteks yang kurang lebih melatarbelakangi terjadinya
Tragedi '65. Kemudian melalui Laporan Komnas HAM telah kita
lihat pula bagaimana tragedi itu berlangsung dengan segala
dampak yng diakibatkannya. Kita lihat disitu, tindak kekerqasan
kolektif ternyata terjadi hampir secara merata di berbagai
tempat di penjuru tanah air, meskipun pembantaian yang paling
massal terjadi di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.
Dari
laporan
akhir Tim Pengkajian Pelanggaran HAM berat Soeharto yang disusun
oleh Sub- Tim Pengkajian Kasus 1965 juga bisa kita lihat bahwa
pembantaian massal itu disertai dengan berbagai bentuk
pelanggaran HAM lain yang tidak hanya merata, melainkan juga
sistimatik. Pelanggarannya tidak hanya dalam bentuk siksaan
fisik atau penghilangan secara paksa, melainkan juga melalui
sistim politik yang represif dengan segala jenis aparat
pendukung yang menjadi impelimentornya. Sebagaimana ditunjukkan
dalam dua tulisan Aswi Warman Adam berikutnya, selama
bertahun-tahun rakyat Indonesia berada dalam kungkungan rezim
yang bengis seperti itu. Waktu itu, banyak orang berpikir bahwa
sepertinya tak ada lagi harapan untuk menemukan jalan keluar.
Untunglah
pikiran
seperti itu tak sepenuhnya benar. Betapapun represifnya rezim
pemerintahan yang berkuasa, ternyata harapan tetap ada. Kini,
harapan itu bahkan semakin berkembang. Tulisan Stanley Adi
Prasetyo dan Yosef Djakababa telah mengajak kita untuk tetap
memiliki harapan itu, bahkan mencari jalan keluar serta
menemukan alternatif atas situasi yang demikian. Harapan itu
bisa diwujutkan salah satunya dalam bentuk usaha penulisan
sejarah alternatif yang berbeda dari narasi resmi yang sarat
kepentingan. Bisa juga dalam bentuk-bentuk lain.
Salah
satu
dari bentuk-bentuk lain itu adalah menyalakan kembali dan
menjaga nyala api rekonsiliasi. Di bawah terang api rekonsiliasi
ini para mantan pelaku dan para mantan korban diharapkan bisa
saling bertemu, saling menceriterakan peristiwa tragis masa lalu
itu dari pandangan dan pengalaman masing-masing, lalu
bersama-sama mencari jalan keluarnya. Tujuannya bukan untuk
melakukan balas dendam. Bukan pula untuk menuntut dilakukannya
hal-hal yang tidak mungkin dilakukan. Tujuannya adalah untuk
sekadar saling membuka diri sejujur-jujurnya. Yang bersalah
diharapkan mengakui kesalahannyta; sedang yang waktu itu telah
menjadi korban tanpa salah, segera dikemblikan nama baiknya.
Sebagaimana telah kita lihat dalam tulisan Nurlaela Lamasitudju,
pertemuan seperti itu sangat mungkin terwudjut. Dalam kasus di
Palu, Sulawesi Tengah, Pak Wali Kota bahkan tak segan-segan
mengakui kesalahannya dan meminta maaf secara publik. Para
korban pun memahami dan memberikan maaf kepada Pak Wali Kota.
Kiranya peristiwa langka seperti itu bisa menjadi contoh baik
yang selanjutnya bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang di
tingkat lokal maupun nasional.
Apakah
gagasan
dan contoh-contoh yang ada dalam buku ini akan menginspirasi
kita atau tidak; apakah akan kita biarkan berlalu begitu saja
atau tidak, tentu semuanya terpulang kepada kita masing-masing.
Namun demikian, apapun pilihan yang kita ambil, sekarang kita
tahu bahwa bangsa kita pada masa lalu pernah melakukan tindak
kekerasandan pelanggaran HAM secara massif dan sistematik
terhadap wartanya sendiri, dan oleh sebqab itu perlu untuk
segera mengambil langkah-langkah tertentu guna mengatasi dan
mengolahnya. Jika tidak, bangsa kita akan terus-menerus beraqa
dalam kegelapan dan dihantui beban sejarah kekerasan masa lalu,
sehingga sulit untuk bisa melangkah maju dengan derap langkah
yang penuh keyakinan. Kita mendukung setiap upaya untuk
melibatkan sebanyak mungkin warga masyarakat dalam menarasikan
kembaloi apa yang terjadi seputar Tragedi '65 dan setelahnya,
serta mendorong setiap langkah menuju rekonsiliasi bangsa.”
Demikian
KATA
PENUTUP Baskara dalam bukunya tsb.
*
* *
“Banyak negara di dunia memiliki rekam jejak buruk,
terkait kolektif dan pelanggaran HAM pada masa lalu. Sebut saja,
Jerman, Afrika Selatan, Korea Selatan dan Argentina. Begitu pula
Indonesia. Berbeda dengan negara-negara lain yang berani
mengakui, mengolah, dan menmuntaskan kejahatan terhadap
kemanusiaan, Indonesia sepertinya masih berjalan di tempat.
“Jangankan sampai pada penuntasan, pada fase
pengungkapan pun aktivis HAM seringkali menghadapi jalan
buntu. Sebagai bukti, ketika Komnas HAM menyampaikan hasil
penyelidikan dan kerja kersnya selama empat tahun kepqada
pemerintah, laporan tsb langsung ditolak dan tidak pernah
ditindaklanjuti. Upaya penuntasan masalah pelanggaran HAM pun
akhirnya mengambang.
“Buku ini hendak mengajak masyarakat mengupayakan
penuntasan masalah pelanggran HAM di Indonesia bisa
terrealisasi. Buku ini menyajikan Laporan Eksekutif Hasil
Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang
Berat Peristiwa 1965-1966, dan disertai laporan pelanggaran HAM yang terjadi
selama Orde Baru. selain itu ditampilkan pula tulisan-tulisan
mengenai konteks terjadinya pembunuhan massal tahun
1965-19667, kekeraan terhadap para tapol di Pulau Buru, dan
gagasan mengenai bagaimana seharusnya penanganan dan jalan
keluar masalah pelanggarqn HAM.
“Buku ini sangat penting bagi para pejuang
kemanusiaan dan semua elemen maswyarakat yang peduli
terhadpnya tegaknya keadilan di negeri ini. Secara khusus,
buku ini penting bagi generasi muda Indonesia yangingoin
mengenal lebih dalam sejarah bangsa dari sudut pandang yang
lebih luas.
*
* *
No comments:
Post a Comment