Monday, September 12, 2011

BISAKAH Den HAAG MEMBENARKAN TUNTUTAN . . . . .

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 12 September 2011
----------------------------------


BISAKAH Den HAAG MEMBENARKAN TUNTUTAN PARA JANDA KORBAN PEMBANTAIAN “RAWAGEDE”?


Lusa, --- Rabu yad, 14 September 2011, diberitakan bahwa Pengadilan Den Haag akan mengambil keputusan: -- Apakah membenarkan atau menolak gugatan dan tuntutan ganti rugi akibat pembantaian oleh tentara Kerajaan Belanda atas penduduk Rawagede, Jawa Barat, pada tanggal 09 Desember 1947. Gugatan dan tuntutan tsb diajukan kepada Pengadilan Den Haag, oleh para korban Peristiwa Pembantaian Rawagede tsb.


Persis pada hari itu, Radio Hilversum akan mengadakan SIARAN KHUSUS dengan fokus masalah yang sama.


Seorang sahabatku, -- jurnalis kawakan, menanyakan tadi malam: Bagaimana menurut Bung? Apakah Pengadilan Den Haag akan membenarkan gugatan dan tutntutan ganti rugi para janda korban Rawagede itu? Aku tidak bisa meramalkan. Lagipula, aku awam mengenai prosedur dan mekanisme proses suatu Pengadilan di Belanda bila ada gugatan dan tuntutan seperti itu.


Yang masih nyangkut dalam ingatan: -- Beberapa hari menjelang rencana kunjungan Presiden SBY ke Belanda fihak perwakilan “RMS” di Belanda mengajukan 'kortgeding' kepada Pengadilan Den Haag. Fihak “RMS” menuntut agar yang berwewenang segera MENANGKAP PRESIDEN SBY BEGITU IA MENDARAT DI LAPANGAN TERBANG SCHIPHOL. SBY dituduh melakukan pelanggaran berat HAM terhadap rakyat Maluku. Kelanjutan dari 'kortgeding' tuntutan “RMS” tsb, -- Presiden SBY mendadak membatalkan kunjungannya ke Belanda. Habis cerita! Orang akan menyimpulkan: Pengadilan Negeri Den Haag ketika itu tak bisa dikatakan 'tidak berfihak'. Karena mereka mengatur sekitar 'kortgeding' itu, waktunya, PAS pada hari yang direncanakan akan berkunjungnya Presiden Indonesia ke Belanda.


Sekarang bagaimana? : Disaat Pengadilan Den Haag harus mengambil keputusan mengenai gugatan dan tuntutan para janda korban pembantaian Rawagede. Di Belanda, seperti halnya, di banyak negeri di dunia Barat, sistim kenegaraanya didasarkan pada konsep “Trias Politica'. Lembaga judisial dikataqkan 'bebas berdiri sendiri'. Tidak boleh dicampuri atau dipengaruhi oleh fihak luar, khususnya oleh badan eksekutif ataupun legeslatif. Tapi siapa tidak tahu bahwa Pengadilan Negeri itu, orang-orangnya adalah abdi negara yang peri-kehidupannya dibayar dari kas negara. Maka dalam praktek seringkali pengadilan mengambil keputusan, yang hakikatnya menguntungkan kepentingan mereka-mereka yang kebetulan sedang berkuasa waktu itu.


Yang berkuasa di Belanda sekarang adalah kabinet Kanan. Terdiri dari parpol CDA, VVD dengan 'dukungan gedoogd' dari parpol ultra-Kanan, anti-migrasi Muslim dan anti-Islam, PVV yang dipimpin oleh Geert Wilders. Selain itu 'pressure group' yang dikenal sebagai “Oud Indisch Veteranan”, yaitu para mantan tentara KNIL dan KL yang terlibat dengan agresi pertama dan kedua terhadap Republik Indonesia (1946, 1948). -- masih terus melakukan loby-loby kuat untuk mencegah jangan sampai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia, dibongkar, -- apalagi divonis salah!. Silakan analisa sendiri kira-kira bagaimana keputusan Pengadilan Den Haag lusa itu.


* * *


Dalam ulasan berjudul “Dilema Belanda antara Ekses dan Kejahatan Perang”, 9 September y.l Jan Lepeltak dari Redaksi Indonesia, RANESI, a.l mengutip Prof Dr Breman, historikus dan Indonesianis, yang menyatakan, bahwa:

"Ketika itu, pemerintah Indonesia (di bawah presiden Suharto) sama sekali tidak punya minat untuk mengangkat berbagai kasus pembunuhan yang dilakukan oleh tentara Belanda pada warga wilayah jajahan. Karena Jendral Soeharto sendiri melakukan hal yang sama, justru pada warga masyarakatnya sendiri," kata Breman.

Breman selanjutnya, . . . . sampai sekarang Belanda selalu bersuara paling lantang kalau dalam urusan pelanggaran hak-hak asasi manusia.
. . . . Pemerintah Belanda memang punya sejarah panjang dalam soal tidak bersedia memikul tanggung-jawab. Selalu tidak mau membicarakan kasus-kasus yang terjadi di bawah tanggung-jawab mereka. Apalagi mengaku bersalah.

Hal tersebut berkaitan dengan sikap banyak kalangan di Belanda, yang masih berlaku hingga sekarang, bahwa dampak hubungan kolonial sebenarnya sangat positif bagi negeri dan rakyat Indonesia. "Dan sekarang kita tahu, bahwa hal itu sama sekali tidak benar," demikian Prof. Jan Breman.

Sejauh ini, tidak banyak orang di Indonesia yang berusaha mengangkat kasus-kasus kejahatan perang atau pelanggaran HAM yang terjadi pada masa perang kemerdekaan dulu. Padahal Soeharto sudah lama lengser dan Indonesia bagaimana pun juga telah makin demokratis.
Prof. Jan Breman menjelaskan, "itu sepenuhnya karena sikap yang diambil oleh kebanyakan orang di Indonesia sendiri. Sampai sekarang, orang di Indonesia masih enggan untuk membicarakan proses bagaimana Jendral Soeharto dulu muncul menjadi penguasa, yaitu melalui kudeta."

Ketika itu, demikian Jan Breman, jumlah korban pembunuhan diperkirakan satu juta jiwa atau lebih, terutama di pulau Jawa dan Bali, tapi juga di berbagai tempat lain di Indonesia, menyusul pecahnya Peristiwa G30S pada tahun 1965.

Selanjutnya Breman, “ . . . . baik di Belanda mau pun di Indonesia, banyak orang beranggapan rakyat biasa sudah tidak memperdulikan lagi masa kolonial dan masa perang kemerdekaan.
Prof. Jan Breman membantah hal ini. Rakyat biasa tidak melupakan kekejaman yang terjadi. Sebagaimana yang ia alami sendiri, ketika melakukan penelitian di Desa Curug, Kecamatan Karangsembung, Kabupaten Cirebon.

* * *


Lagi-lagi, sebagai 'warming-up' menyambut SIARAN KHUSUS RADIO HILVERSUM sekitar Rawagede, disiarkan ulang di bawah ini sebuah tulisan mengenai Rawagede yang disiarkan tiga tahun yang lalu:



Kolom IBRAHIM ISA, Desember 2001.


RAWAGEDE” -- BISAKAH R.I. BELAJAR DARI BELANDA!?
(Bg 2 - Selesai)


Mengapa tulisan ini kuberi subjudul seperti diatas – BISAKAH R.I. BELAJAR DARI BELANDA? Benarkah kita-kita ini, orang-orang Indonesia, bisa dan juga boleh belajar dari orang-orang Belanda? Bolehkah sekali tempo orang-orang asing seperti orang Belanda menjadi guru kita?

Terkilas sejenak dalam fikiranku: - Mungkinkah pertanyaan yang kuajukan begini ini, akan dianggap orang sebagai sesuatu yang 'asbun' (asal bunyi saja) atau bahkan 'provokatif'?

Soalnya 'kan begini -- , dalam waktu panjang mengenai hubungan Indonesia Belanda, lebih-lebih bila itu menyangkut masa lampau, masalah sejarah, kita dan Belanda selalu berhadap-hadapan, bertolak belakang. Ambillah sebagai misal, kasus yang baru ini saja: Mengenai SOAL PEMBANTAIAI RAWAGEDE (09 Desember 1947 ). Putih kita bilang, hitam kata Belanda. Kita anggap sikap kita benar, tepat dan adil, patriotik, nasionalistik dan juga progresif. Para korban 'Rawagede 1947' mengajukan beberapa tuntutan. Pendirian para korban itu sesuai dengan logika perjuangan yang berlangsung antara penjajah versus rakyat yang dijajah. Tetapi fihak (pemerintah) Belanda (sampai pada saa-saat belakangan ini) menolak tuntutan para korban: agar Belanda menyatakan tanggungjawabnya atas pembantaian Rawegede; minta maaf dan memberikan konpensasi.

Sampai sekarangpun, mereka-mereka itu, kaum kolonialis dan imperialis sering menunjukkan mentalitas, semangat dan politik 'tempo doeloe'. Mereka merasa, bahwa sebagai 'tuan atas Hindia Belanda' – dulu itu- mereka lebih 'super' terbanding kita-kita yang dulunya diberi nama julukan 'inlander'. Sehingga bisa disimpulkan: Pada pokoknya sikap mereka, khususnya di kalangan yang berkuasa, dan juga di kalangan masyarakat masih konservatif.

Oleh karena itu, tepatlah sikap para korban seperti yang dikemukakan oleh Batara Hutagalung, ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), bahwa para korban tidak akan berhenti mengajukan tuntutan mereka sampai pemerintah Belanda memenuhinya.

* * *

Tentu, kita samasekali tak boleh menutup mata, tak mungkin melupakan, peranan positif Multatuli, penulis Belanda yang progresif serta yang memberikan inspirasi pada kita, dalam perjuangan bangsa kita untuk mencapai kemerdekaan. Kita juga akan selalu ingat solidaritas kaum progresif Belanda, Komunis, Sosial Demorat, Kristen dll yang dengan tulus memberikan sokongan terhadap perjuangan kongkrit bangsa kita melawan kolonialisme Belanda. Bisa disebut disini kaum buruh Belanda, kaum 'diensweigeraar' , tentara Belanda yang menolak dikirim ke Indonesia untuk memerangi Republik Indonesia. Juga perlu di sebut a.l. Dr Douwes Decker, Prof Dr W.F. Wertheim, Piet van Staveren (Pitoyo), Haji Poncke Prinsen dll. Mereka itu secara kongkrit dan nyata melimpahkan solidaritas mereka pada perjuangan kemedekaan Indonesia.
Ini adalah segi lain, 'wajah lainnya' dari hubungan Indonesia – Belanda, yang sekali-kali jangan dilupakan.

* * *

Kiranya jelas: Fokus pembicaraan dan sikap kritis kita tertuju pada sikap, kebijakan dan politik pemerintah Belanda dan kekuatan politik konservatif di dalam masyarakat Belanda, yang sampai sekarang masih mempertahankan pendirian kolonial sehubungan dengan perjuangan kemerdekan Indonesia.

Yang termasuk kasus paling gawat adalah berkenaan dengan sikap pemerintah Belanda yang dalam waktu panjang menolak untuk mengakui Hari Proklamasi RI, 17 Agustus 1945, sebagai HARI KEMERDEKAAN INDONESIA. Menolak, bahwa sejak itu kedaulatan Indonesia sudah di tangan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Fakta itu dianggap 'sepi'. Tidak digubris. Bahkan Belanda melakukan segala sesuatu untuk menghapuskan Republik Indonesia dari permukaan bumi Nusantara. Bagi Belanda tempat itu, yang dulu bernama Hindia Belanda, adalah wilayah kedaultan Kerajaan Belanda di Seberang Lautan. Belanda tetap bertahan bahwa sampai dengan tanggal 29 Desember 1949, saat diserahkannya kedaulatan atas Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, barulah Indonesia merdeka.

Contoh lainnya. Misalnya, kasus hari ultah ke-400 VOC, 20 Maret 2002 yang lalu. Ketika itu pemerintah dan masyarakat Belanda secara besar-besaran memperingati hari ultah VOC yang didirikan di Haagse Ridderzaal Holland empat abad yang lalu.. Belanda menganggap VOC dan peranannya dalam sejarah, sebagai suatu periode kemegahan, keunggulan Belanda, sebagai abad keemasan Belanda, yang amat mereka bangga-banggakan.

Sedangkan bagi kita: Kita secara tepat dan adil menilai bahwa VOC itu adalah pangkal bencana bagi Indonesia. Sejak VOC masuk Indonesia, negeri ini menjadi jajahan Belanda. VOC adalah suatu angkara murka. Pada tempatnya kita mengarahkan telunjuk tudingan ke jurusan Den Haag. Dan memang begitu seharusnya. Jelas dimana masing-masing berpijak.

* * *

Namun, kali ini agak lain masalah yang hendak diangkat. Yaitu, seperti yang tecantum pada subjudel tulisan ini: BISAKAH R.I, BELAJAR DARI BELANDA?

Pada tanggal 09 Desember yang lalu telah berlangsung peringatan PEMBANTAIAN MASAL yang dilakukan oleh rentara kerajaan Belanda 61 tahun yang lalu di Rawagede. Saat itulah, 09 Desember 2008, terjadinya peristiwa yang punya arti penting dalam sejarah hubungan Indonesia-Belanda. Dimaksudkan adalah kehadiran Dutabesar Kerajaan Belanda unuk Republik Indonesia, Nicolau van Dam pada peringatan Rawagede tsb.

Seperti diberitakan 'Jawa Pos', 10 Desember yl, pemerintah Belanda akhirnya meminta maaf kepada korban dan keluarga peristiwa pembantaian masal terhadap penduduk Rawagede yang terjadi 61 tahun lalu. Duta Besar Belanda untuk Indonesia Nicolaus Van Dam datang langsung ke makam para pejuang di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat. ''Pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya kepada bangsa Indonesia atas peristiwa yang terjadi pada 1947 itu,'' katanya dalam bahasa Inggris. Demikian kutipan dari s.k. 'Jawa Pos'.

Sikap pemerintah Belanda mengenai pembantaian Rawagede seperti yang dikemukakan oleh dubes Belana Nikolaus Van Dam tsb, bisa disimpulkan merupakan hasil perjuangan fihak Indonesia, khususnya para korban yang masih hidup dan keluarganya. Juga keuletan Komite Utang Kehormatan Belanda yang mengkordinasikan kegiatan tuntutan para korban selama ini.

Di segi lainnya, ini merupakan p e r u b a h a n b e s a r pada fihak Belanda. Melalui jangka waktu enampuluh satu tahun, AKHIRNYA PEMERINTAH BELANDA MENGAKUI tanggungjawab atas pembunuhan masal yang dilakukan tentara kerajaan Belanda terhadap rakyat Indonesia yang tak bersalah di Rawagede. Apa yang terjadi di Rawegede adalah suatu GENOSIDA, suatu kejahatan perang, suatu KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN. Pelanggaran terhadap HAM. Meskipun tidak sejelas itu perumusannya. Juga punya arti penting penyesalan serta minta maaf secara terbuka yang diucapkan oleh Dubes Nicolaus Van Dam kepada para korban.

* * *

Sejak mula rezim Orba yang dikepalai oleh Jendral Suharto, penguasa Indonesia juga punya 'utang darah' terhadap rakyat Indonesia yang tak bersalah. Pada tahun-tahun 1965-66-67, setelah dikalahkannya G30S, telah berlangsung persekusi, pemenjaraan, pembuangan ke pulau Buru dan pembantaian masal terhadap orang-orang Kiri, PKI atau dikira/dituduh PKI dan terhadap para pendukung Presiden Sukarno. Suatu KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN, pembunuhan masal yang teramat biadab telah berlangsung di Indonesia ketika itu. Jumlah korban berlipat kali jauh lebih besar dari jumlah korban yang disebabkan oleh tentara kerajaan Belanda di Rawagede. Menurut penelitian dan sudi banyak pakar dan penulis mengenai pembantaian masal 1965 itu, jumlah itu berkisar antara ratusan ribu sampai sejuta lebih. Tak terbantahkan lagi bahwa yang berlangsung ketika itu adalah pembunuhan eksra-judisial, tanpa proses hukum apapun, terhadap manusia-manusia yang tak besalah yang patuh hukum dan cinta kepada Republik Indonesia dan kepala negara Presiden Sukarno.

Tentu muncul pertanyaan ini: Bagaimana sikap pemerintah Presiden SBY?. Meski pemerintah SBY sekarang ini, bukan yang langsung bertanggung jawab terhadap pembunuhan masal 1965, tetapi berkesinambungan dengan masa lampau, merupakan kekuasaan kelanjutan pemerintah Orbanya Jendral Suharto. Tokoh-tokoh dan orang-orangnyapun masih 'yang itu-itu juga'. Dengan sendirinya pemerintah Indonesia yang sekarang ini harus berani mengambil oper tanggungjawab CRIME AGAINST HUMANITY yang dilakukan oleh Orba di waktu yang lalu.

* * *

Sebagian terbesar korban Peristiwa Pembantaian Masal 1965,masih belum diketahui dimana kuburannya. Tetapi para keluarga mereka masih ada, masih hidup. Penderitaan mereka sampai sekarang masih belum berakhir. Karena, mereka masih didisksriminasi, masih distigmatisasi, masih dianggap 'eks-tapol', yaitu 'orang-orang bermasalah', yang harus 'dicurigai' dan 'diawasi. Nama baik dan hak-hak kewarganegaraan serta hak-hak politik mereka masih belum DIREHABILITASI!

Kenyataan ini merupakan tantangan terhadap pemerintah dan penguasa Indonesia sekarang ini.
Tantangan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang berniat untuk menjadi presiden ke-7
negara Republik Indonesia. Sutu tantangan untuk menangani dan kesalahan serta kejahatan yang dilakukan Orba di masa lalu.

Sedikitnya dalam hal mengakui kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan oleh kekuasaan negara di masa yang lalu, SBY dan penguasa Indonesia sekarang bisa dan pantas belajar dari Belanda!


Berani dan terbuka MENGAKUI KESALAHAN, BERTANGGUNGJGAWAB DAN MINTA MAAF kepada rakyat. * * * (Selesai)


* * *

No comments: