Saturday, September 10, 2011

Kasus “RAWAGEDE”

Kolom IBRAHIM ISA

Sabtu, 10 September 2011

----------------------------------


Kasus “RAWAGEDE” – PEMBUNUHAN MASSAL YG TAK PERNAH KADALUWARSA, <RAWAGEDE – 1>


Beberapa hari yang lalu sahabatku, Fediya Andina, Eindredacteur Indonesië, Radio Nederland, Wereld Omroep Seksi Indonesia (RANESI), menilpun. Ia menyampaikan undangan untuk hadir pada kesempatan SIARAN KHUSUS MENGENAI RAWAGEDE. Itu akan berlangsung pada hari Rabu yad, tanggal 14 September ini, di studio Ranesi, di Witte Kruislaan 55, Hilversum.


Dengan senang hati aku menyatakan bersedia hadir pada kesempatan itu.


Ketika bertemu dengan Fediya Andina di resepsi untuk merayakan Ultah Ke-66 Republik Indonesia, yang diadakan oleh Charge d'Affairs a.i. KBRI, Umar Hadi, di Wisma Duta di Wassenaar, Andina menyampaikan bahwa kegiatan Ranesi sekitar Rawagede, -- diadakan bertepatan dengan akan diambilnya keputusan oleh Pengadilan Den Haag mengenai kasus “Rawagede”.


Akankah Pengadilan Belanda di Den Haag membenarkan gugatan dan tuntutan ganti rugi para janda korban pembantaian Belanda di Rawagede? Dalam pada itu korban Rawegede, yang terakhir masih hidup, belum lama telah meninggal dunia. Para keluarga mereka masih ada.


Kasus Rawagede sudah lama jadi pembicaraan media. Baik di Indonesia maupun di Holland, Bagi Indonesia kasus Rawagede bukan lagi persoalan mana yang benar terjadi, apakah itu suatu pembantaian pada 9 Desember 1947 di Rawagede itu, atqaukah itu suatu 'ekses' belaka dari suatu konflik bersenjata, --- Ataukah itu adalah suatu 'kejahatan perang' yang dilakukan tentara Belanda terhadap penduduk Rawagede. Bukan itu yang jadi soal!


Bagi Indonesia soalnya jelas! Pembantaian tentara Belanda, apakah itu dilakukan oleh KNIL ataukah oleh KL yang wajib militer, bukan itu yang jadi masalah. Yang perlu disadari, dan dicengkam ialah bahwa, -- Pembunuhan massal Rawegede adalah bagian dari politik besar terpenting Belanda ketika itu, yaitu memusatkan kekuatannya untuk menghancurkan Republik Indonesia. Belanda mau kembali ke 'tempo doeloe', ketika Den Haag merajai Indonesia sebagai kolonisator mutlak.


Dengan jalan apapun Belanda bertujuan secepatnya melikwidasi total Republik Indonesia, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Tujuan itu, mula-mula hendak dicapai Belanda, melalui dua kali agresi militer terhadap Republik Indonesia, pada tahun 1946 dan 1948. Karena dua kali agresi itu gagal, maka Belanda hendak melikwidasi Republik Indonesia melalui pembentukan Republik Indonesia Serikat, yang ber- UNI - dengan Nederland, dibawah Sri Ratu Juliana sebagai Kepala Uni Indonesia-Belanda. Melalui pebentukan Republik Indonesia Serikat, RIS (Persetujuan KMB 1949) negara Indonesia yang baru lahir itu, diharuskan mengembalikan semua “aset Belanda” di Indonesia. Lalu, tentara kolonial KNI L harus diintegrasikan ke dalam TNI menjadi Angkata Perang Republik Indonesia Serikat. Selain itu RIS diharuskan membayar 'hutang' Hindia Belanda kepada Den Haag, sebesar 1,3 milyar USD. Betul-betul suatu persetujuan Indonesia Belanda yang teramat BERAT SEBELAH.


Maka, membicarakan dan menelaah pembantaian Rawagede, sudah seharusnya dikaitkan dalam suatu proses besar usaha Belanda untuk kembali menguasai Indonesia seusai Perang Dunia II. Kasus Rawagede merupakan bagian tak terpisahkan dan 'wajar' dari kejahatan Belanda yang hendak kembali menguasai Indonesia. Kasus Rawagede adalah bagian dari politik kolonialis Belanda yang melakukan dua kali perang total terhadap Republik Indonesia.


* * *


Ketika Jepang kalah (15 Agustus 1945), pemerintah Jepang pasca perang, diharuskan membayar PAMPASAN PERANG kepada Indonesia, untuk menebus kerusakan dan korban yang ditimbulkan Jepang terhadap Indonesia.


Anehnya ketika perang antara Belanda dan Indonesia, selesai, melalui Persetujuan Konferensi Meja Bundar, ----- logika menjadi terbalik --- bukan Belanda yang harus membayar ganti rugi kepada Indonesia, akibat peperangan yang dicetuskannnya terhadap Indonesia, --- TETAPI ADALAH INDONESIA YANG DIHARUSKAN MEMBAYAR “HUTANG” KEPADA DEN HAAG. Selain itu semua 'milik Belanda' di Indonesia harus dikembalikan kepada Belanda. Logika kolonial mengalahkan logika perjuangan kemerdekaan!


Maka tidaklah aneh, dan sepenuhnya benar dan adil, ketika Presiden Sukarno membatalkan Persetujuan Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda, yang AMAT BERAT SEBELAH, MERUGIKAN INDONESIA ITU.


* * *


Sebagai “warming-up” menyambut kegiatan RANESI mengadakan SIARAN KHUSUS RAWAGEDE, --- di bawah ini disiarkan kembali sebuah tulisanku, tertanggal Senin, 01 Desember 2008, -- tiga tahun yang lalu mengenai kasus Rawagede yang sama, sbb:


RAWAGEDE” – PEMBUNUHAN MASALH YG TAK PERNAH DALUWARSA -- RAWAGEDE - <1>

* *

Crime Against Humanity - Dan HUBUNGAN INDONESIA – BELANDA

Beberapa hari belakangan ini, cukup menarik apa yang diberitakan media luarnegeri, khususnya dalam hal ini media Belanda. Dimaksudkan ialah pemberitaan yang ada kaitannya dengan apa yang terjadi di Indonesia 60th yang lalu: Yaitu kasus PEMBANTAIAN MASAL RAWAGEDE yang dilakukan oleh tentara Kerajaan Belanda terhadap rakyat Indonesia, dekat Kerawang, Jawa Barat. Suatu peristiwa 'kejahatan terhadap kemanusiaan' - 'Crime Against Humanity', dilakukan oleh tentara Kerjaan Belanda, di desa Rawagede pada tanggal 09 Desember 1947.

Kasus 'pembantaian Rawagede' muncul di kalangan pers dan masyarakat Belanda, ketika diumumkan 'Excessennota th 1969, dimana dikemukakan kekerasan dan kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda -- khususnya oleh pasukan KNIL yang dipimpin oleh Kapten KNIL Westerling di Sulawesi Selatan. Beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1995 TV Belanda RTL-4, menyiarkan sebuah film dokumenter mengenai RAWAGEDE. Para pembuat laporan dokumenter tsb sempat melakukan pembicaraan setempat dengan mereka-mereka yang masih hidup, yang bisa menyelamatkan diri dari pembantaian tsb, dan dengan para keluarga mereka. Yang terutama menimbulkan kejutan (di kalangan masyarakat Belanda) ialahkesaksian yang dituturkan oleh seorang nenek tua, yang dengan suara gemetar menceriterakan bagaimana ia menemukan suami dan putranya di antara mayat-mayat korban pembantaian yang bergelimpangan.

Menurut wartawan pembuat film dokumenter RTL 4, ada 431 priya, tua dan muda, yang dieksekusi oleh tentara Belanda di tempat itu. Sebagai reaksi, sementara anggota Tweede Kamer Belanda (DPR) mengajukan pertanyaan sekitar kasus tsb kepada pemerintah Belanda. Tetapi, ceriteranya terhenti sampai di situ saja. Tak ada kelanjutan. Semua bahan masuk 'peti és' arsip (rahasia) Belanda.

* * *

Yang memicu kasus Rawagede menjadi menyolok, ialah diberitakannya baru-baru ini, sikap pemerintah Belanda yang menolak tuntutan keadilan yang diajukan olehpara korban pembantaian Rawagede yang beruntung masih hidup. Tentu juga menjadi perhatian diberitakannya oleh fihak Belanda, bahwa Dutabesar Belanda untuk Indonesia, akan hadir pada peringatan 'masaker Rawagede' yang akan diadakan oleh penduduk setempat dengan para undangan, di desa Rawagede, pada tanggal 09 Desember 2008 beberapa hari yad ini. Sikap Kedutaan Belanda ini berbeda dengan sebelumnya. Pada tahun lalu, misalnya, fihak Kedutaan Belanda yang juga dapat undangan untuk menghadiri peringatan Rawagede, sempat mengirimkan seorang utusan Kedutaan. Namun, bila berita ini benar, dan ternyata Dubes Belanda untuk Indonesia hadir pada peringatan RAWAGEDE nanti, tentu ini suatu perkembangan yang perlu disambut baik.

Di sini ingin agak disoroti bagaiman pers Belanda mempresentasikan kasus
Rawagede tsb kepada pembacanya, untuk sekadar memperoleh gambaran bagaimana masyrakat Belanda berreaksi terhadap peristiwa Rawagede. Menyangkut bagaimana mereka bersikap terhadap masalah sejarah. Kaitannya tentu, dengan latar belakang sejarah hubungan Indonesia-Belanda dan bagaimana perspektif selanjutnya hubungan tsb. Sering dikatakan hubungan Indonesia-Belanda sebagai 'hate and love relation'. 'De Volkskrant', misalnya, dalam komentarnya yang disiarkan pada hari Rabu, tanggal 26 November 2008 yl, menulis a.l sbb:

'Penduduk dari sebuah desa di Jawa Barat telah mengkonfrontir Nederland dengan episode menyakitkan dari masa lampau kolonialnya. Sembilan orang janda dan seorang yang masih hidup telah mengajukan tuntutan (civielrechtelijke procedure) terhadap tindakan balas dendam dan eksekusi pada peristiwa pembantaian yang terjadi pada tanggal 09 Desember 1947 di desa yang dulu bernama Rawagede, sekarang Balongsari. Tentara Belanda yang sedang mencari seorang pemimpin pejuang kemerdekaan Indonesia di wilayah itu, dengan motif balas dendam telah mengeksekusi hampir semua penduduk lelaki di desa tsb.

Perkiraan jumlah persis berapa yang dibunuh - 150 orang menurut fihak Belanda, 431 menurut fihak Indonesia – amat berbeda. Namun, yang sudah pasti ialah, menurut penelitian PBB pada th 1948, memang terjadi tindakan yang direncanakan dan kejam. Yang bersalah tidak pernah dihukum, dan ini berlaku sampai pada disiarkannya 'Exessennota th 1969' - yang disusun menyusul pengungkapan mengenai tindakan kejam tentara Belanda di Sulawesi (Selatan) – sebelum kasus Rawagede menjadi perhatian lagi./

Sampai disini kiranya cukup lumayan apa yang ditulis oleh komentar 'De
Volkskrant'. Mungkin baik diteruskan membaca komentar koran Belanda ini, untuk mendapat gambaran bagaimana tanggapan orang Belanda sendiri terhadap masa lampau kolonialnya.

Lanjut 'De Volkskrant': 'Pada berbagai kesempatan dalam pada itu Nederland
telah menyatakan penyesalannya, yang belakangan ini ialah dalam tahun 2005, yang dilakukan melalui pernyataan Menlu Bot, pada kesempatan ultah ke-60 proklamasi kemerdekaan Indonesia. Aksi-aksi Polisi, kata Bot, mengakibatkan bahwa Nederland bisa dikatakan 'telah berdiri pada pihak yang salah dalam sejarah'.

(Namun) Bot tidak minta maaf dan (tepat) berpijak pada pendirian, bahwa
permintaan maaf itu hanya diajukan, untuk kasus-kasus dimana kita sendiri yang bertanggungjawab. Dilihat dari pandangan sekarang, kita kiranya akan bertindak lain, barangkali lebih baik, terbanding apa yang dilakukan oleh orangtua atau kakek-kakek kita dan permintaan maaf bisa diajukan.

Apa yang dinamakan 'Aksi Kepolisian' itu adalah suatu percobaan yang sia-sia
untuk menindas suatu perjuangan kemerdekaan yang adil. Baru pada tahun 1949 ketika Nederland bisa menerima kenyataan ini. Dalam masa empat tahun yang telah berlalu itu, di kedua belah fihak telah jatuh korban ribuan militer dan sipil. Di situ juga pada fihak Indonesia telah berlangsung kekerasaan terhadap
penduduk(nya)..

Sekarang perhatikan komentar berikutnya, yang bikin penulis sendiri
berfikir-fikir sampai di mana kebenaran apa yang ditulis koran Belanda ini, sbb;

'Disebabkan oleh alasan ini juga, Nederland dan Indonesia bersepakat pada waktu kemerdekaan mengenai kesalahan-kesalahan yang dibuat untuk tidak dilakukan penuntutan. Sejak itu Jakarta telah sepakat untuk menempatkan suatu titik pada masa lampau. (Namun) Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menganggap ini tak adil. /Demikian a.l De Volkkrant.

De Volkkrant menutup komentarnya dengan menulis:

'Mengatakan bahwa (kasus itu) sudah d a l u w a r s a adalah suatu kelemahan juridis – jurudisch zwaktebod -. Kejahatan-kejahatan perang – meskipun fihak Nederland selalu menghindari menggunakan istilah ini-- tidak pernah daluwarsa, De Volkskrant menutup komentarnya.

* * *

Pernah kutulis dalam kolom ini, bahwa catatan sejarah itu dibuat,
didokumentasi, bukan dengan maksud untuk dirahasiakan. Juga bukan dengan maksud untuk tidak dibuka. Atau agar tidak dibaca kembali. Bahwa fakta-fakta sejarah seyogianya digunakan sebagai bahan riset dan studi untuk memperoleh pengetahuan yang sedekat mungkin dengan kenyataan yang sesungguhnya, yang seobyektif mungkin mengenai hal-hal yang terjadi di masa lampau. Bagaimana memperlakukan masalah sejarah, menyangkut masalah pengenalan terhadap identitas bangsa.
Termasuk dalam rangka mengkhayati apa yang dimaksudkan dengan KESADARAN BERBANGSA.

Bahan-bahan sejarah itu, kapan saja, selalu diperlukan dan bila tak ada atau
masih tersembunyi, harus dicari sampai ketemu! Ini perlu dipandang dari segi
perkembangan ilmu sejarah itu sendiri. Maupun dilihat dari tujuan yang lebih
penting lagi, yaitu: Mencari dan menemukan kebenaran dan keadilan. Semua itu adalah demi pertumbuhan dan pengembangan pengetahuan bangsa mengenai dirinya sendiri. Menyangkut masalah KESADARAN NASIONAL.

Ambillah satu perisitiwa, satu episode yang trjadi dalam sejarah perjuangan
bangsa kita untuk mempertahankan kemerdekaannya. Kasus yang dimaksudkan disini ialah peristiwa PERISTIWA RAGEDE, suatu kasus pembantaian masal yang dilakukan oleh tentara kerajaan Belanda terhadap rakyat Rawagede, Jawa Barat, yang sekarang bernama Balongsari, pada pagi hari tanggal 09 Desember 1947.

Pada periode agresi militer pertama Belanda terhadap Republik Indonesia 431
lelaki, orangtua dan perempuan yang tak bersalah di desa R a w a g e d e
tsb telah menjadi korban pembantaian masal. Rakyat di situ telah menjadi korban 'kejahatan terhadap kemanusiaan' yang dilakukan oleh tentara kerajaan Belanda.

Alhamdulillah berkat para peneliti, dalam dan luar negeri, termasuk negeri
Belanda, dan penstudi bangsa yang memperhatikan dan meneliti masalah sejarah bangsa, khususnya yang menyangkut kegiatan KOMITE HUTANG KEHORMATAN BELANDA. Mereka menuntut keadilan bagi para korban kekejaman tentara Belanda. Bila tidak ada kegiatan tsb, yang diusahakan terus-menerus, antra lain oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB – Ketua : Batara Hutagalung), maka peristiwa 'pembunuhan masal di Rawagede', akan lenyap ditelan waktu,

Tidaklah tepat, adalah bertentangan dengan ilmu sejarah itu sendiri, bila memperlakukan fakta-fakta sejarah, masalah-masalah sejarah --- sebagai sesuatu yang misterius, yang tak bisa dijamah atau diungkapkan. Salahlah bila menganggapnya sebagai 'masa lampau yang 'traumatik', 'yang jtak bolehdiungkit-ungkit kembali agar tidak membuka kembali luka-luka lama'.

    Bersambung) * * *






No comments: