Thursday, September 15, 2011

HALAMAN BARU dalam HUBUNGAN BELANDA-INDONESIA

Kolom IBRAHIM ISA

Kemis, 15 September 2011

-------------------------------------------------



Keputusan PENGADILAN DEN HAAG Mengenai “RAWAGEDE” – Memulai HALAMAN BARU dalam HUBUNGAN BELANDA-INDONESIA

* * *

Kemarin, 14 September 2011, merupakan hari yang paling penting dan berarti – serta HISTORIS, dalam hubungan Belanda - Indonesia (setelah tergesernya Suharto dan naiknya Habibie, Mei 1998). Tak berkelebihan kiranya bila peristiwa ini dicatat sebagai terbukanya halaman baru dalam hubungan historis Indonesia-Belanda. Yang dalam waktu panjang, pada umumnya diliputi oleh 'love and hate relation'.


Bilamana dengan amat hati-hati dikatakan bahwa KEPUTUSAN PENGDILAN DEN HAAG, 14 SEPTEMBER 2011, MEMBENARKAN GUGATAN DAN TUNTUTAN JANDA-JANDA KORBAN PEMBANTAIAN 431 WARGA RAWAGEDE, 09 DESEMBER 197 -- yang dilakukan oleh tentara Belanda --- Menandakan dimulainyha Halaman Baru, Dalam Hubungan Belanda-Indonesia – maka apresiasi tsb TIDAK SALAH.


Bukan Persetujuan Linggarjati (1946), bukan Persetujuan Renville (1947), juga bukan Persetujuan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, yang merupakan JEMBATAN dalam hubungan Belanda-Indonesia. Karena persetujuan-persetujuan tsb adalah produk dari suatu kompromi yang terpaksa dilakukan oleh kedua belah pihak. Fihak Belanda ternyata memerlukan Linggarjati dan Renville, hanya untuk merebut waktu memperkuat tentaranya dan kemudian melancarkan peperangan ulang terhadap Republik Indonesia. Sedangkan persetujuan KMB terlalu berat sebelah, oleh karena itu persetujuan tersebut hanya berumur beberapa saat saja kemudian dibatalkan oleh Indonesia.


Tetapi adalah Keputusan Pengadilan Den Haag mengenai kasus Rawagede, bila dalam perealisasinnya berjalan lancar, yang akan merupakan JEMBATAN sesungguhnya dalam hubungan yang wajar, normal dan sederajat antara Belanda dan Indonesia. Karena keputusan itu diambil setelah melalui proses yang cukup panjang.


Mengantisipasi arti penting dari apa yang akan diputuskan oleh Pengadilan Den Haag, pada tanggal 14/9 kemarin itu, – – sejumlah besar wartawan Belanda, khususnya Radio Nederland Wereldomroep, lalu sejumlah media asing seperti Aljazeera, BBC, AP, dan Reuter, dll, dikirim khusus, untuk meliput saat Pengadilan Den Haag mengumumkan keputusannya melalui Hakim ketua D.A. Schreuder.


RNW (Radio Hilversum) dengan menyolok memberitakan bahwa tak seorangpun tampak hadir dari fihak KBRI Den Haag. Pasti hal ini menimbulkan pelbagai kesan dan analisis dari media dan masyarakat. Apakah ini berarti KBRI tidak mau 'terlibat' atau 'tidak mau tahu'. Karena betapapun keputusan Pengadilan Den Haag, membenarkan atau menolak gugatan dan tuntutan para janda korban pembantaian Rawagede, hal itu akan menempatkan fihak resmi Indonesia dalam kedudukan 'serba salah'. Karena ini menyangkut masalah pengungkapan dan pembongkaran kasus pelanggaran terhadap kemanusiaan, pelanggaran HAM berat. Suatu tema kasus yang amat disegani bahkan ditakuti oleh penguasa Indonesia, bila pengungkapan dan pembongkaran hal itu terjadi di Indonesia.


Dilema fihak penguasa Indonesia sbb: Kalau tuntutan ditolak, lalu bagaimana KBRI menghadapi situasi tsb. Nyata sekarang fihak Pengadilan membenarkan tuntutan para janda Rawagede, inipun akan membikin 'kikuk' fihak Indonesia, karena Orba pernah mengadakan 'persetujuan' dengan pemerintah Belanda, tidak akan mengungkit-ungkit' kembali peristiwa masa lampau' dalam hubungan Indonesia – Belanda, yang meliputi periode 1945-1949.


Kemarin dalam wawancara diskusi kasus Rawagede, suatu siaran khusus yang diadakan oleh NRW, aku menyatakan bahwa 'persetujuan Orba dan pemerintah Belanda' itu, adalah suatu persetujuan yang DUNGU. Bagaimana bisa suatu periode gawat penuh masalah dalam hubungan Indonesia-Belanda, yang perlu diselesaikan dengan cermat dan baik, malah 'tak boleh diungkit-ungkit' lagi. Bukankah ini suatu beleid yang DUNGU. Karena persetujuan serupa itu tak akan mungkin bisa direalisasi. Karena rakyat kedua blah fihak, Indonesia dan Belanda, terutama para sejarawannya tidak mungkin menerima suatu 'beleid' yang hendak menyembunyikan fakta-fakta sejarah.


* * *


Betapapun kita menyambut baik dan merasa lega dan merasa bahwa keadilan telah menang, namun, perkembangan selanjutnya masih harus membuktikan bahwa apa yang diputuskan oleh Pengadilan Den Haag, yang menguntungkan fihak Indonesia, itu akan menjadi kenyataan. Karena Pengacara Negara Belanda, oleh Hakim Ketua diberi waktu tiga bulan, untuk menentukan apakah fihak Belanda menerima keputusan Pengadilan ataukah akan naik banding. Halmana berarti menolak!


Untuk jelasnya baik kiranya kita ikuti liputan oleh media Belanda, Radio Nederland Wereldomroep, Redaksi Indonesia, a.l sbb:


Den Haag, Belanda

Belanda ---- dari Korban Perang Menjadi Penjahat

Diterbitkan : 14 September 2011 .

Pengadilan Den Haag menyatakan Belanda bertanggung jawab atas pembantaian di desa Rawagede, sekarang bernama Balongsari.


Hakim ketua D.A. Schreuder secara tegas menyebut tindakan Belanda sebagai ilegal (onrechtmatig). Keputusan ini memandang Belanda bersalah karena dianggap membunuh warga sendiri. Pengadilan mendasari putusannya atas pertimbangan bahwa hukum Belanda dianggap berlaku di Hindia Belanda sampai tahun 1949.


Hakim menolak pleidoi advokat negara Belanda, G.J.H. Houtzagers, yang menyebut kejahatan tersebut sudah kadaluwarsa. Hakim memakai asas lex spesialis. Artinya pengadilan Den Haag melihat kasus pembantaian Rawagede sebagai kasus khusus, sehingga preseden kadaluwarsa tidak berlaku.


Advokat negara diberi waktu tiga bulan untuk mengajukan banding. Jika tidak, maka keputusan ini akan memiliki kekuatan hukum tetap.


Anggota parlemen Belanda dari partai sosialis, SP, terkejut atas pertimbangan hakim. "Biasanya argumen kadaluwarsa selalu sukses, tapi tidak dalam pengadilan perdata ini. Yang penting ternyata kejahatan perang tidak bisa kadaluwarsa. Saya pikir ini berita besar. Pertama-tama buat mereka yang terkait, terlebih ini pengakuan bagi mereka yang sudah tidak ada lagi, karena sudah meninggal atau belum bergabung dengan komite. Ini keputusan bersejarah."


Walau demikian, hakim tidak mengabulkan seluruh gugatan ganti rugi. Pengadilan Den Haag membatasi pemberian kompensasi pada janda, korban langsung atau anaknya. Berarti tidak termasuk cucu korban.


Pengacara korban Rawagede, Liesbeth Zegveld tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Baru setelah 64 tahun berlalu, akhirnya Belanda secara hukum dinyatakan bersalah atas aksinya di Indonesia. Putusan ini menjadi preseden baru dan bisa saja diterapkan dalam kasus Westerling di Sulawesi.


"Selama mereka masih hidup, dan kasusnya jelas seperti kasus ini, setiap pihak mengakui terjadi kesalahan besar, terjadi kejahatan perang, maka akan dilihat apakah ini sama dengan kasus Rawagede," ujar pengacara yang juga membela korban-korban kejahatan kemanusiaan di Bosnia dan Libia.


Eksekusi

Tragedi berdarah di desa Rawagede, Jawa Barat, terjadi pada 9 Desember 1947, pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Tentara Belanda yang mencari pejuang kemerdekaan Lukas Kustario memasuki desa Rawagede dan mengeksekusi penduduk laki-laki karena menolak memberi informasi mengenai Kapten Kustario.


Sebagian besar penduduk laki-laki desa Rawagede dieksekusi. Menurut saksi mata, para lelaki tersebut dijejer dan ditembak mati. Pihak Indonesia menyatakan, 431 laki-laki dibunuh, sedangkan pemerintah Belanda pada 1969 bersikeras jumlahnya "hanya" 150. Pada tahun 1947, Belanda memutuskan untuk tidak menyeret pelaku eksekusi massa ke pengadilan.


Pada tahun 2009 keluarga korban menggugat negara Belanda. Para janda menuntut pengakuan dan ganti rugi atas meninggalnya tulang punggung keluarga mereka. Waktu itu, beberapa janda, dan korban selamat terakhir, Saih bin Sakam, khusus datang ke Belanda untuk proses ini. Sayangnya ia wafat 8 Mei 2011 dalam usia 88 tahun. Bagi Saih, pelaku pembunuhan massal tidak perlu lagi diseret ke pengadilan, permintaan maaf dan ganti rugi sudah cukup.


Penjahat

Selama ini Belanda menganggap dirinya korban kejahatan Nazi Jerman, dan kekejaman tentara Jepang di Hindia Belanda saat Perang Dunia Kedua. Keputusan pengadilan Den Haag membuat Belanda punya status baru: pelaku kejahatan perang yang tak kalah kejamnya.

"Sekarang ternyata bukan Jerman saja si penjahat perang. Belanda pun kini dinyatakan sebagai penjahat," tukas seorang wartawan luar negeri yang asyik membuat cerita kasus Rawagede di pengadilan Den Haag.


KBRI Den Haag belum mau menanggapi keputusan ini. Sebelumnya pemerintah Indonesia terkesan menjaga jarak dengan proses gugatan korban rawagede. Perwakilan resmi KBRI tak terlihat hadir dalam sidang keputusan gugatan korban Rawagede.



* * *




No comments: