Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 08 September 2011
----------------------------------
BUNG KARNO SEKITAR PERISTIWA “G30S”
“Saya yang ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi
Bukan Engkau Suharto, Bukan Engkau Suharto”
* * *
Berikut ini adalah lanjutan tulisan y.l -- turunan Kata Pengantar Peneliti Senior LIPI, Dr Asvi Warman Adam, untuk dua jilid buku REVOLUSI BELUM SELESAI I, II --- berisi pidato-pidato Bung Karno meyusul terjadinya “G30S”, yang di- 'black out' Jendral Suharto.
Asvi Adam dengan teliti dan sistimatis 'meresume' isi pidato-pidato Bung Karno setelah Peristiwa G30S. Pembaca bisa mengikuti dengan mudah dan jelas sekali, bagaimana 'lihaynya' fihak militer di bawah Jendral Suharto melaksanakan “kudeta merangkak” terhadap Presiden Sukarno.
Bila sedikit saja ada sikap keterbukaan dan kejujuran pada fakta-fakta setelah membaca pidato-pidato Bung Karno tsb ---- yang telah diuraikan secara cekak aos dan jelas oleh Peneliti Senior LIPI, Asvi Adam, pembaca dengan yakin akan menyimpulkan, bahwa: KUDETA MERANGKAK SUHARTO TERHADAP PRESIDEN SUKARNO, adalah apa yang terjadi menyusul Peristiwa “G30S”. Bahwa yang melakukan perebutan kekuasaan negara dan pemerintahan RI, – – - adalah fihak militer di bawah Jendral Suharto.
* * *
Kita siarkan di bawah ini, lanjutan Kata Pengantar pada buku REVOLUSI BELUM SELESAI.
Dr. Asvi Warman Adam:
Bung Karno Menentang Warga Tionghoa Dijadikan Kambing Hitam
Perintahnya Tidak Digubris
Sukarno nasih bersemangat, tetapi siapa yang masih mau meneruskan revolusi antinekolim dengan “Mengganyang Malaysia” tsb. Ia hanya mau berdamai jika Malaysia menyetujui Manila Agreement yang berisi referendum di Kalimantan Utara. Terhadap PBB-pun sikapnya tidak kendor, Indonesia tidak akan kembali memasuki lembaga itu sebelum PBB direorganisasi.
Sukarno menginginkan ketenangan dalam masyarakat agar ia dapat brperan sebagai 1) Hakim tertinggi, 2) Penyelamat negara, dan 3) Penyelamat Revolusi. Karena itu ia menyerukan, “Awas adu-domba antarangkatan, jangan mau dibakar. Jangan gontok-gontokan. Jangan hilang akal. Jangan bakar-bakar, jangan ditunggangi”.
“Saya minta ketenangan, mau kumpulkan fakta-fakta dulu. Mau selidiki dulu”. Pidato itu menyinggung tentantg Trade Commission Republik Rakyat Tiongkok di Djatipetamburan yang diserbu massa. “Jangan gegabah”, katanya. Massa marah karena ada isu bahwa Juanda meninggal karena diracun oleh dokter RRT. Padahal menurut Sukarno, Juanda meninggal akibat serangan jantung. Sukarno menentang rasialisme yang menjadikan warga Tionghoa sebagai kambing hitam.
Sukarno marah. Bung Karno memekik, marah, marah. Marah Bung Karno berbeda dari Gandhi. Permimpin India itu pernah marah, lalu dia berpuasa selama 23 hari. Kalau Sukarno dia tidak berpuasa tetapi akan donder orang yang tidak mengikuti perintahnya. Ia menjelaskan bahwa karena sering marah ada orang yang menilai bahwa Bung Karno telah kehilangan wibawa.
Dalam pidato 20 November 1965 di depan keempat panglima angkatan di Istana Bogor, Bung Karno mengatakan bahwa ada “perwira yang bergudul. Bergudul itu apa? Hei, Bung apa itu bergudul? Ya, kepala batu”. Tampaknya ucapannya itu ditujukan kepada Suharto. Pada kesempatan yang sama Sukarno menegaskan bahwa “Saya yang ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Subandrio. Bukan Leimena . . . Bukan engkau Suharto, bukan engkau Suharto dst. ( Berbeda dari nama tokoh lain, Suharto disebut dua kali dan secara berturut-turut).
MENGAPA SUKARNO TIDAK MAU MEMBUBARKAN PKI?
Mengapa Sukarno tidak mau membubarkan PKI? Padahal ini alasan utama untuk menjatuhkannya dari kursi kepresidenan. Karena Bung Karno hendak menyelesaikan masalah G30S dengan memegang teguh ajaran three in one-nya (istilah ini terdapat dalam pidato tersebut, jadi bukan three in one-nya Gubernur DKI Jaya Surtiyoso), yaitu Nasakom. “Nasakom itu amanat Allah SWT,” ujarnya. Bung Karno tidak mau membubarkan PKI karena dia konsisten dengan pandangan sejak tahun 1926 tentang Nas (Nasionalisme, A (Agama) dan Kom (Komunisme). Dalam sebuah pidato ia menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan Kom tersebut bukanlah komunisme dalam pengertian sempit, melainkan marxisme atau lebih tepat “sosialisme”. Dalam kesempatan lain Sukarno mensinyalir bahwa Revolusi Indonesia telah dibelokkan ke kanan, padalah Revolusi Indonesia itu pada intinya adalah Kiri. Meskipun demikian Sukarno bersaksi, “Saya bukan Komunis”. Dalam kasus 1965, ia tahu bahwa ada oknum PKI yang bersalah. Tetapi kalau ada tikus yang memakan kue di dalam rumah, jangan sampai rumah itu yang dibakar.
Sukarno mengakui bnahwa “perbuatan Untung salah”. Tetapi Bung Karno ingin melakukan penyelidikan dulu sebelum mengambil keputusan tentang Peristiwa G30S secara keseluruhan. Ia ingin melihat kejadian itu secara komprehensif, dari prolog sampai epilognya. Peristiwa itu sendiri dianggapnua hanya riak di tengah samudra dalam sejarah perjuangan bangsa yang sangat panjang.
Selain menyerukan agar rakyat dan tentara tetap bersatu, Bung Karno juga mengungkapkan keterlibatan pidah asing yang memberikan kepada Indonesia uang sebanyak Rp 150 juta untuk mengembangkan the free world ideology. Sukarno juga mengatakan bahwa ia memiliki surat Kartosuwirjo yang menyuruh para pengikutnya terus berjuang karena “Amerika di belakang kita”. Dalam kesempatan lain, Bung Karno mengutuk nekolim dan CIA. Ia berseru di depan diplomat asing di Jakarta, “Ambassador jangan subversi”.
Bung Karno juga membantah tentang isu mengenai ditemukan kursi listrik di rumah seorang pimpinan PKI. Menurut Sukarno itu tidak mungkin, karena kursi listrik memakai voltase 440 V, sedangkan listrik di Jakarta (waktu itu) masih 110 volt.
Tanggal 11 Desember 1965 dalam pidato di depan Golongan Karya Front Nasional di Bogor, Sukarno kembali marah karena ia terpaksa menunggu selama satu jam. Tanggal 12 Desember 1965 ketika berpidato dalam rangka ulang tahun Kantor Berita Antara di Bogor. Presiden mengatakan, berdasarkan visum dokter, tidak ada kemaluan yang dipotong dalam peristiwa di Lubang Buaya. Demikian pula tidak ada mata yang dicukil seperti ditulis pers. Keesokan hrinya, 13 Desember 1965 di depan para gubernur se-Indonesia ia mengatakan bahwa pisau yang dihebohkan pencungkil mata itu tak lain dari pisau penyadap lateks pohon karet.
Beberapa kali Sukarno sengaja berpidato di depan generasi muda yang keras mengeritiknya. Peristiwa pembantaian di Jawa Timur diungkapkan Sukarno dalam pidato di depan Perhimpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Bogor tanggal 18 Desember 1965. Bahkan ia meminta HMI agar “turba ke Jawa Tengah dan Jawa Timur” untuk menghentikan pembantaian.
Banyak orang yang bersimpati kepada PKI atau Pemuda Rakyat (PR) yang dipotong, disembelih. Sukarno melanjutkan bahwa pembunuhan itu dilakukan dengan sadis, orang bahkan tidak berani untuk menguburkan jenazah korban.
“Awas kalau berani ngrumat jenazah, engkau akan dibunuh. Jenazah itu diklelerkan begitu saja, di bawah pohon, di pinggir sungai, dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati”.
Bahkan mobil (Bung Karno memakai istilah oto) disetop di Jawa Timur. Penumpangnya diberi bungkusan yang berisi kepala anggota Pemuda Rakyat.
Dalam kesempatan yang sama, Bung Karno sempat bercanda di depan mahasiswa itu, “Saya sudah 65 tahun meski menururt Ibu Hartini seperi baru 28 tahun. Saya juga melihat ibu Hartini seperti 21 tahun. Tanggal 21 Desember 1965 Sukarno berpidato di depan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Istora Senayan. Ia sangat sedih ketika para menterinya di bilang goblok oleh para demonstran.
Pidato-pidato Sukarno sebagian juga menjawab kecaman terhadap kebijakan ekonomi pemerintah pada masa itu, termasuk soal kelangkaan pangan. Bung Karno mengatakan bahwa “1000 dewa kayangan tidak bisa pecahkan masalah ini dalam satu hari”.
Presiden tidak suka megaproyeknya dikritik. Ia mengungkapkan bahwa Tugu Nasional (kini dikenal sebagai Monas, Monumen Nasional) dibangun bukanlah dengan budget negara melainkan dari sumbangan pengusaha, sumbangan dari ekspor kopra dan sumbangan pada karcis bioskop. Sayang pada pintu Monumen Nasional itu tidak ada ucapan serperti yang terdapat pada Museum Nasional Mexico yang pernah dikunjunginya. Bung Karno sangat terkesan dengan kalimat tersebut yaitu “Now we leave the museum but not history”.
Kepada mahasiswa yang mengecam “Tidak perlu monumen, yang perlu beras”, Sukarno membalas “Monumen itu celana. Celana bagi bangsa yang sedang melakukan revolusi. Makanan jiwa agar rakyat berkobar semangatnya. Manusia tidak hidup dari roti dan nasi tok”.Ia juga membandingkan dengan rakyat Rusia yang “memilih makan batu daripada kehilangan kemerdekaan”.
Sukarno juga membela diri dalam pembangunan toko serba ada Sarinah. Manurutnya Sarinah dapat berperan sebagai stabilisator harga. Sarinah-Sarinah yang lain juga harus dibangun di banyak kota di Indonesia. Ia jug mengharapkan agar barang-barang yang dijual di sana minimal 60 persen berasal dari produk dalam negeri.
Demikian pula dengan Planetarium yang terdapat di Taman Ismail Marzuki (TIM) sekarang (waktu itu masih Kebun Binatang) berasal dari sumbangan pengusaha Aslam sebanyak 600 ribu dollar AS. Sebagai imbalan, sang pengusaha diberi deferred payment. Tanggal 18 Juli 1966 Presiden masih berbicara tentang Proyek Menarabungka (Menara Bung Karno) yang tingginya “dua kali Tugu Nasional”. Ia juga menyinggung tentang Gedung Conefo yang harus selesai akhir tahun 1966, Mengenai lukisan-lukisan yang dimilikinya, B|ung Karno mengatakan bahwa ia akan menghadiahkan bagi negara bila sudah ada National Galery of Art.
Ia juga membantah isu bahwa Hartini menerima uang sebanyak Rp 200 juta dari Slamet Saroyo, Direktur Perusahaan Dagang Kalimas untuk digunakan bagi gerpol (gerilya politik) PKI. Setelah dicek ternyata nama Slamet Suroyo tidak ada pada perusahaan tersebut.
Sukarno tidak setuju dengan program Keluarga Berencana. Diperlukan sumber daya yang besar untuk mengolah sumber daya alam Indonesia yang berlimpah. Masalah kelebihan penduduk di pulau Jawa harus diatasi dengan transmigrasi ke luar Jawa.
Terhadap tuduhan di media massa bahwa ia termasuk orde lama, Sukarno menjawab bahwa justru ia yang pertama memakai istilah “membongkar orde lama agar kita bisa memasuki era baru” dalam pidato serah terima jabatan Menteri/Pangal Martadinata, kepada Mulyadi, 25 Februari 1966. Pada kesempatan lain, Sukarno berujar bahwa ia tidak termasuk orde lama atau orde baru melainkan masuk orde asli. Apapun istilah yang dipakai, ternyata konsep itu tidak memiliki makna yang sama antara Sukarno dengan penentangnya.
Gaya bahasa Sukarno memang khas. Ia tidak sega memakai kata yang kasar tetapi spontan. Beda sekali dengan Suharto yang memakai bahasa halus tetapi tindakannya sangat keras. Di tengah sidang kabinet, di depan para menteri, Presiden Sukarno tak segan mengatakan bahwa ia ingin ke belakang. Mau kencing dulu. Dokter RRT katanya telah memberi dia obat yang menyebabkan ia sering buang air kecil. Dalam peristiwa lain, ketika perintahnya tidak diindahkan, ia berteriak bahwa Saya merasa dikentuti. Pernah pula ia mengutip cerita Sayuti Melik tentang “kontole ketembak”.Namun di lain pihak ia mahir juga menggunakan kata-kata yang bernilai sastra. “Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat dan menggelorakan samudera, agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita”.
Dalam pidatonya tanggal 30 September 1965 ia sempat mengritik pers yang kurang tepat dalam menulis nama anak-anaknya. Nama Megawati sebetulnya Megawati Sukarnaputri, bukan Megawati Sukarnoputri. Demikian pula dengan Guntur Sukarnaputra.
C. Di Balik Pidato
Apa yang disampaikan oleh Sukarno dalam pidato-pidatonya merupakan bantahan terhadap apa yag ditulis oleh media massa. Monopoli informasi dan sekaligus monopoli kebenaran adalah causa prima dari orde baru. In dilakukan sedari dini, sedemikian cepatnya. Umar Wirahadikusumah mengumumkan jam malam, 1 Oktober 1965 pukul 18.000 sampai 06.00. Pada saat yang sama ia juga menutup semua koran kecuali Angkatan Bersenjata dan Brita Yudha. Koran-koran lain tidak boleh beredar selama seminggu. Tetapi waktu sepekan ini dimanfaatkan betul oleh para militer untuk mengkampanyekan PKI berada di belakang Peristiwa G30S. Kampanye yang paling lihai tentu menenai Gerwani. Mengapa? Karena isu itu sangat ampuh untuk membangkitkan kemarahan rakyat. Kalau perempuan kiri saja sudah demikian bejat moralnya, apalagi priyanya.
Meskipun masih berpidato dalam berbagai kesempatan, pernyataan Bung Karno tidak disiarkan oleh koran-koran. Pemberedelan selama sepekan itu telah menciutkan nyali wartawan. Koran nasional umumnya lebih sering mengutip Antara atau Angkatan Bersenjata untuk berita-berita menenai G30S. Bukan hanya dicekal, tetapi ucapan Sukarno ternyata juga diplintir oleh pers misalnya. “Presiden memerintahkan agar supaya jangan takut-takut, hantam saja semua orang-orang Gestapu.” Sukarno mengatakan bahwa dia tidak pernah mengucapkan kalimat terrsebut. Bahkan Bung Karno pernah menerima pamflet yang menuding dia sebagai dalang utama G30S.
Bermacam-macam isu beredar, misalnya tentang Juanda yag meninggal karena diracun oleh dokter RRT. Atau “Oei Tjoe Tat pergi ke Macao, untuk apa? Sebanyak 700 penggilingan padi di Jakarta dimiliki dimiliki oleh Baperki”. Kata Sukarno ada sebuah foto yang dimuat dalam surat kabar yang sama sebanyak 8 (delapan) kali. Bila Ben Anderson dalam tulisannya di jurnal Indonesia terbitan Cornel mengungkapkan hasil visum et repertum dokter bahwa kemaluan jenderal tidak disilet dalam pembunuhan Lubang Buaya 1 Oktober 1965, jauh sebelumnya Sukarno dengan lantang mengatakan bahwa 100 silet yang dibagi-bagikan untuk menyilet kemaluan jenderal itu tidak masuk akal.
Pembantian yang terjadi tahun 1965/1966 diketahui dan disadari oleh Sukarno, teapi ia tidak kuasa mencegahnya. Ia mengungkapkan bahwa di daerah terjadi sembelihan. Hal itu disebabkan oleh bukan perkara ideologi melainkan karena persaingan untuk merebut jabatan di pemerintah atau persaingan pribadi (rebutan cewek), sehingga seseorang dituduh terlibat G30S.
Ia juga bercerita tentang kisah Nabi Muhammad yang pernah diancam akan dibunuh oleh seorang kafir, lehernuya sempat digorok, tetapi Nabi memaafkan orang itu, sehingga akhirnya dia masuk Islam.
* * *
No comments:
Post a Comment