Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 09 September 2011
-----------------------------------
BUNG KARNO SEKITAR “G30S” --
Dalam tulisannya menyambut buku “REVOLUSI BELUM SELESAI”, berisi kumpulan pidato Presiden Sukarno setelah terjadinya “G30S”, Peneliti Senior LIPI, Dr Asvi Warman Adam, membeberkan bahwa: Meskipun AURI, Marinir dan sebagian besar kekuatan bersenjata Kodam Brawijaya (Jawa Timur) masih loyal kepada Presiden Sukarno, Bung Karno tidak memerintahkan mereka untuk bertindak terhadap yang ingin menggulingkan Presiden RI (yaitu kekuatan militer yang dikepalai oleh Jendral Suharto).
Ini disebabkan karena Presiden Sukarno tidak ingin terjadi pertumpahan darah antar bangsa.
Sikap Presiden Sukarno ini, -- yang berusaha mencegah pertumpahan darah di antara sesama bangsa, bahkan diambilnya pada hari-hari awal pembangkangan Jendral Suharto terhadap Presiden Paanglima Tertinggi ABRI, Sukarno, dengan menyabot keputusan Presiden Sukarno menunjuk Jendral Pranoto Reksosamudro, menjadi caretaker pimpinan Angkatan Darat, mengisi kekosongan pimpinan AD, setelah dibunuhnya enam orang perwira tinggi yang menjabat pimpinan Angkatan Darat ketika itu.
Perwira-perwira tinggi ABRI, yang loyal pada Presiden Sukarno langsung menyatakan kepada Bung Karno bahwa di bawah komando Presiden Sukarno, mereka mampu memukul kekuatan yang membangkang dan yang mulai melaksanakan 'kudeta merangkaknya'. Bung Karno menolak memberikan komando itu, dengan maksud menghindari pertumpahan darah antar bangsa.
Tetapi, ternyata sikap dan kemauan baik Presiden Sukarno itu tak terlaksana. Karena sejak Jendral Suharto mengambil oper kekuasaan di Angkatan Darat, pertumpahan darah besar-besaran terjadi, seperti yang bisa dibaca dalam pidato-pidato Bung Karno. Jendral Suharto, yang sudah berketetapan menggulingkan Presiden Sukarno dan merebut kekuasaan negara dan pemerintahan di tangannya sendiri, telah dengan licik menyalahgunakan kemaun baik Bung Karno.
Sejak disingkirkannya Presiden dari kekuasaan negara dan pemerintahan melalui kombinasi kekerasan, pertumpauan darah, persekusi terhadap para pendukungnya, terutama PKI dan simpatisannya, pemenjaraan dan pembuangan ke pulau Buru – sudah berpuluh bahkan ratusan tulisan, analisis pakar dan buku hasil studi yang disiarkan di Indonesia maupun di mancanegara. Semua itu menunjuk pada SATU ARAH: Pergantian presiden Indonesia, dari Presiden Sukarno ke Presiden Suharto, berlangsung lewat suatu pertumpahan darah yang paling besar di Indonesia. Bahwa perebutan kekuasan yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1965 itu adalah suatu perebutan kekuasaan yang paling canggih, tetapi juga paling berdarah yang pernah terjadi.
Melebihi fakta-fakta dan anlisis yang pernah ditulis selama ini, DUA JILID BUKU BERJUDUL “REVOLUSI BELUM SELESAI”, I dan II, berisi pidato-pidato Presiden Sukarno pasca Peristiwa G30S, adalah dokumen yang paling otentik dan yang bisa diandalkan mengenai kebenaran bahwa PEREBUTANKEKUASAAN YG TERJADI DI INDONESIA PADA AKHIR 1965 adala perebutan kekuasaan yang dalangnya adalah JENDRAL SUHARTO.
* * *
Di bawah ini disiarkan bagian terakhir Kata Pengantar Dr Aswi untuk buku “REVOLUSI BELUM SELESAI”, kumpulan pidato-pidato Bung Karno sesudah Peristiwa “G30S”, -- yang di “black out” oleh Jendral Suharto yang ketika itu sudah berkuasa di ibu kota.
Dr. Asvi Warman Adam:
BUNG KARNO KONSISTEN MENDUKUNG ”NASAKOM”
Kalau dilihat dari rangkaian pidato Bung Karno dari 1 Oktober 1965 sampai awal 1967 memang terlihat kekonsistenan sikapnya yang “mendukung Nasakom dan anti-nekolim”. “Indonesia buatku adalah suatu totaliteit”, ujar Bung Karno. Tetapi nadanya makin lemah. Bila akhir tahun 1965 ia marah dan mengatakan akan men-donder orang-orang yang tidak mendengar perintahnya, maka tahun 1966 dan 1967 ia tampak capek dan mulai putus asa. Tanggal 7 April 1966 pada pelantikan dan penyumpahan Menteri/Pangau Rusmin Nurjadin, Bung Karno mengatakan, I am still President, stll Supreme Commander of the Armed Forces”.
Bulan Mei 1966 termasuk dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, ia tidak mau berbicara. Pada pelantikan Omar Senoadji sebagai Menteri Kehakiman, Juni 1966, ia hanya berpidato sangat singkat. Ketika ia kemudian berpidato lagi, suaranya sudah semakin lemah. Pada tanggal 6 Juli 1966 dalam penutupan Sidang ke-4 sudah merasa plong bahwa ia ikut membentuk Kabinet
Ampera (Note: MPRS juga menetapkan bahwa Pemilu akan diadakan. Rencana pemilu 5 Juli 1968. Jadwal itu diundur Suharto menjadi tahun 1971 agar lebih “sasfe”. Tahun 1969 Suharto sempat membuang ribuan Tapol Golongan B yang dianggapnya berbahaya ke pulau Buru.) Mulanya ia membaca di surat kabar bahwa MPRS menugaskn Jendral Suharto untuk membentuk kabinet. Tetapi kenyatannya suaranya tidak didengar lagi oleh Suharto. Orang-orang kepercayaannya seperti Leimena dan Ruslan Abdulgani tidak masuk dalam kabinet.
Kekalahan sudah di depan mata. Sukarno merasa berdiri di atas bara api yang menyala-nyala. “Saudara tidak merasakan apa yang saya rasakan”. Ketika melantik kebinet Ampera 28 Juli 1966 Bung Karno mengatakan bahwa Supersemar buikanlah penyerahan kekuasaan. “I repeat again it is not a transfer of power”.
KITA MAU MELARANG KOMUNISME, MELARANG SOSIALISME
SEBAGAI ISME, “MBOTEN SAGET”.
Maka yang datang berkunjung ke Istna Bogor tinggallah para eksponen 45 dengan tokohnya antara lain Bung Tomo. Kepada mereka Sukarno berpidato tanggal 9 Sepember 1966. “Nah, kita mau melarang komunisme, melarang sosialisme sebagai isme. Mboten saget, Saudara-saudara. MPRS jangan melarang isme, laranglah kegiatannya”. Tanggal 8 September 1966 dibentuk Dewan Kehormatan Menteri, suatu badan yang tidak ada fungsinya. Ketika pada pejuang 45 itu datang kepada Sukarno seminggu kemudian (13 September 1966) sang Presiden menyanyi lagu buruh Internationale. Ia juga mencurahkan isi hatinya kepada orang tua angkatan 45, tentang anggota KAMI yang menggedor truk sayur, sehingga menyebabkan harga sayur mayur naik di Jakarta. Sukarno juga mendengar dari Cosmas Batubara bahwa kami telah diselundupi. Selain demonstrasi juga ada perkosaan dan perampokan. Tetapi kepada para wartawan yang hadir, Sukarno mengatakan informasinya itu off the record.” Kamu orang sanggup tidak menulis. Kalau menulis, tabokin ya”. Seorang Presiden yang dulu berbicara lantang di PBB, ternyata sudah begitu ciut nyalinya.
SUKARNO TIDAK INGIN TERJADI PERTUMPAHAN DARAH SESAMA BANGSA
Dalam beberapa pidatonya terdengar keluhan. Misalnya di Departemen P dan K orang-orang yang mendukung Bung Karno dinonaktifkan. Ia juga mengeluh bahwa perintahnya tidak diindahkan. Sebetulnya seberapa drastihkan kekuasaan yang dipegangnya? Presiden Sukarno masih sempat melantik taruna AURI dan ia juga berpidato dalam peringatan 20 tahun KKO. Paling sedikit dari Angkatan Udara, Marinir dan sebagian besar tentara Kodam Brawijaya masih setia kepada Bung Karno. Tetapi kenapa ia hanya sekadar menyerukan “jangan gontok-gontokan antar-angkatan bersenjata” (Note: Ia berseru, “Jangan sampai ada satu tetes darah pun antara AURI dengan Angkatan Darat”). Kenapa dalam waktu yang cukup panjang antara tahun 1965 sampai dengan 1967, ia sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata tidak memerintahkan tentara yang loyal kepadanya untuk melawan pihak yang ingin menjatuhkannya sebagai Presiden? Sukarno tidak ingin terjadi pertumpahan darah sesama bangsa.
Dalam skala tertentu, yang tidak diharapkan Bung Karno itu telah terjadi setelah ia meninggal.
(Kata Pengantar Dr Asvi Warman Adam Selesai)
* * *
No comments:
Post a Comment