Monday, September 5, 2011

BUNG KARNO MENJELASKAN SEKITAR “G30S”

Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 05 September 2011

----------------------------------


BUNG KARNO MENJELASKAN SEKITAR “G30S”


Tiga hari yag lalu, dalam siaran berbahasa Inggris, berjudul “THE THIRTIETH SEPTEMBER MOVEMENT – G30S – 1965 AND THE MASS MURDER IN INDONESIA”, dipublikasikan di ruangan ini. Di situ terdapat kutipan-kutipan tanggapan dari sementara pakar, penulis mancanegara, sekitar “G30S”. Nara sumber adalah Situs WIKIPEDIA: Antara lain dikutip tulisan dan analisis beberapa penulis asing yang melakukan studi dan penelitian mengenai kasus “G30S”. Mereka-mereka itu a.l, adalah Ben Anderson dan Ruth Mc Vey, Victor Fic dan John Roosa. Juga versi Orba sekitar peristiwa termasuk disiarkan.


Seorang dosen pensiunan, yang berpretensi sebagai seorang 'wetenschapper'dan merasa sebagai 'pakar tentang Indonesia', mengomentari bahwa bahan-bahan yang dikutip di situ adalah 'old stuff and totally beside the point'. Tidak jelas mana yang dianggapnya 'old stuff and totally beside the point'.


Sejarawan Prof Geoffrey Robinson, Cornell University, USA, ketika bicara tentang buku John Roosa, menyatakan a.l sbb: “ (Buku) Ini merupakan bacaan esensil bagi mereka yang mentudi sejarah Indonesia modern, dan bagi siapa saja yang menaruh perhatian pada kekerasan politik, peranan militer di bidang politik, dan politik luar negeri A.S.”


Siapa saja yang mengikuti situasi Indonesia, tahu, bahwa buku John Rosa yang terakhir, berjudul “Pretext for Mass Murder, The September 30th Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia”, patut dibaca dan dipelajari sebagai suatu hasil studi dan analisis yang serius. Bukan sekadar diberi stempel 'old stuff and totally beside the point”.


Tentu, siapa saja berhak berkomentar dan bertanggap terhadap hasil karya studi orang lain. Dan tanggapannya itu bisa beralasan (ilmiah). Tetapi bisa juga tanggapan yang tak lebih daripada suatu 'asbun', asal bunyi.


* * *


Sementara tanggapn Bung Karno sekitar – “G30S”, yang akan dimuat di sini, dimaksudkan, -- sebagai bahan 'input' bagi pembaca dan yang sungguh-sungguh peduli Indonesia, yang ingin mencari kebenaran dari kenyataan sekitar peristiwa “G30S” dan kelanjutannya: Yaitu persekusi, penghilangan, pemenjaraan, pembuangan ke P. Buru, dan pembunuhan massal terhadap warganegara yang tidak bersalah. Yang semua tindakan pelanggaran HAM terbesar di Indonesia, dilakukan oleh aparat militer dibantu oleh sementara parpol dan kekuatan religius.


* * *


Bahan-bahan otentik, unik, dan historis itu sekitar peristiwa 1965-66-67, telah dengan teliti dan sukses dikumpulkan dalam dua buah buku, berjudul 'REVOLUSI BELUM SELESAI, Jilid 1 dan 2. (Cetakan Pertama Juli 2003.) Penerbit: Masyarakat Indonesia Sedar Sejarah (MESIASS). Masing-masing 443 halaman, dan 445. bersama jadi 888 halaman. Suatu dokumentasi otentik yang orisinil,


Dua buah buku amat penting tsb adalah hasil usaha, riset dan jerih payah dua orang sejarawan muda, Budi Setiyono dan Bonnie Triyana.


Peneliti Senior LIPI Dr. Asvi Warman Adam memberikan Kata Pengantar.


* * *


KATA PENGANTAR ASVI WARMAN ADAM:


SUKARNO MENGGUGAT

100 Pidato Presiden RI 1965-1967


Tidak banyak diketahui umum bahwa dalam masa peralihan kekuasaannya kepada Suharto, Presiden Sukarno sempat berpidato paling sedikit 103 kali. Yang diingat orang hanyalah beliau berpidato tanggal 30 September 1965 malam hari sebelum meletus Peristiwa G30S. Selain itu pidato pertanggungjawaban, Nawaksara, ditolak oleh MPRS tahun 1967. Dalam memperingati 100 Tahun Bung Karno tahun 2001 lalu diterbitkan (kembali) kumpulan pidatonya yang bahkan tersaji dalam beberapa buku dengan tema tertentu. Namun hampir semuanya itu pidato-pidato yang disampaikan sebelum peristiwa G30S 1965.


Pidato-pidato yang terkumpul dalam buku Revolusi Belum Selesai ini merupakan suntingan dari sekitar 103 pidato Bung Karno 1965-1967 ini, berasal dari arsip Sekretariat Negara dan telah diserahkan kepada Arsip Nasional Republik Indonesia. Kumpulan ini diawali dengan pidato tanggal 30 September 1965 malam (di depan Musayawrah Nasional Teknik di Istora Senayan, Jakarta), dan diakhiri dengan pidato tanggal 15 Februari 1967 (wakteu pelantikan/pengambilan sumpah beberapa duta besar RI). Setiap bulan biasanya ia berpidato beberapa kali, tetapi dalam naskah ini tidak ditemukan pidato bulan Mei 1966.


Pidato-pidato Bung Karno selama 2 tahun ini sangat berharga sebagai sumber sejarah. Ia mengungkapkan berbagai hal yang ditutupi bahkan diputarbalikkan selama orde baru. Dari pidato-pidato itu juga tergambar betapa sengitnya peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Suharto. Namun, di pihak lain, terlihat pula kegetiran seorang Presiden yang ucapannya tidak didengar lagi oleh para jendral yang dulu sangat patuh kepadanya. Komando dan perintah dia tidak dimuat oleh surat kabar. Ucapannya diplintir. Sukarno marah dan bahkan sangat geram. Ia memaki dalam bahasa Belanda, bahasa yang dikuasainya sampai kosakata caci makinya.


A. Konteks Pidato


PERIODE 1965-1967 dapat dilihat sebagai masa peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Suharto. Dalam bukiu sejarah versi pemerintah, masa ini dilukiskan sebagai era konsolidasi kekuatan pendukung orde baru (tentara, mahasiswa, dan rakyat) untuk membasmi Partai Komunis Indonesia (PKI) sampai keakar-akarnya serta pembersihan orang-orang pendukung Sukarno.


Mulai tahun 1998 di tanah air sudah dikenal umum beberapa versi sejarah yang berbeda dari versi resmi. Selain menonjolkan keterlibatan pihak asing seperti Central Intelligence Agency (CIA), juga muncul tudingan terhadap keterlibatan Suharto dalam apa yang disebut “kudeta merangkak” yaitu rangkaian tindakan dari awal Oktobner 1965 sampai keluar Surat perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) dan ditetapkannya Suharto sebagai pejabat Presiden tahun 1967. “Kudeta merangkak” ini terdiri dari beberapa versi pula (Saskia Wieringa, Peter Dale Scott, dan Subandrio) dan beberapa tahap.


Dari segi ekonomi memang keadaan itu sangat buruk. Harga membubung tinggi, inflasi ratusan persen. Bahkan sampai Presiden Sukarno menunjuk seorang Menteri Penurunan Harga yakni Haely Hasibuan, yang ternyata kemudian juga tidak berhasil melakukan tugasnya.


Perlawanan atau resistensi dari kelompok pendukung Bung Karno bukannya tidak ada. Sebanyak 92 Menteri menyatakan kesetiaan kepada Bung Karno tanggal 20 Januari 1966. Pada 27 Februari 1966 diadakan “Rapat Raksasa Kesetiaan Kepada Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno” di Bandung. Tanggal 10 Maret 1966, pernyataan partai politik/karya: IPKI, NU, Partai Katolik, Parkindo, Perti, PNI Front Marhaenis, PSII, Muhammadiyah yang menyatakan kebulatan tekad untuk:


  1. Tidak dapat membenarkan cara-cara yang dipergunakan para pelajar, mahasiswa, dan pemuda yang akibatnya langsung atau tidak langsung dapat membahayakan jalannya Revolusi Indonesia dan merongrong kewibawaan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.


    2.Menyadari keadaan gawat dan adanya aktivitas-aktivitas subversi dari pihak nekolim.

    3. Berketetapan hati dan bertekad bulat untuk melaksanakan tanpa reserve Perintah Harian PYM Presiden/Mandataris MPRS/Pangti ABRI/PBR Bung Karno tanggal 8 Maret 1966.


Namun upaya untuk memisahkan dan pada gilirannya menghancurkan barisan pendukung Sukarno lebih gencar dilakukan oleh orang-orang di sekeliling Suharto. Setelah mendapatkan Supersemar, Suharto dalam hitungan jam, langsung membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai partai terlarang. Para anggota partai ini dan ormasnya tidak boleh pindah atau ditampung oleh partai lain. Pada minggu yang sama, Suharto “mengamankan” 15 Menteri pendukung Sukarno.


B. Isi Pidato


SUKARNO berusaha mengendalikan keadan melaluipidato-pidatonya. Nada memerintah senantiasa terllihaat dalam amanatnya, baik kepada Menteri maupun kepada segenap aparawt negara. Pada penutu pidatonya ia berkata, “Sekian. Kerjakan Komandoku”!”, “Jangan jegal perintah saya”.


Saya komandokan kepada setiap aparat negara untuk selalu membina persatuan seluruh kekuatan progresif revolusioner. Dua, Menyingkirkan jauh-jauh tindakan-tindakan destruktif seperti rasialisme, pembakaran-pembakaran dan pengrusakkan-pengrusakkan. Tiga. Menyingkirkan jauh-jauh fitnahan-fitnahan dan tindakan-tindakan atas dasar perasaan balas-dendam.


Pada tanggal 21 Oktober 1965 ia mebngeluarkan perintah:


  1. Hindari segala tindakan yang dapat merugikan perjuangan bangsa

  2. Tingkatkan dan sempurnakan setiap slagorde Dwikora yang telah dipersiapkan.

  3. Kerahkan seluruh potensi guna kesempurnaan ketahanan revolusi.


(Bersambung)


* * *














No comments: