Monday, September 16, 2013

Gerak Sejarah ini ---- "REKONSILIASI DAN KEBENARAN"

Kolom IBRAHIM ISA Senin, 09 Sept. 2013 ----------------------------- Gerak Sejarah ini ---- "REKONSILIASI DAN KEBENARAN" Akan Bergulir Terus Seperti Tumbuhnya Padi Yang Satu Ketika Tiba Masa Panennya . . . .! * * * Hari ini Peneliti Generasi Muda LIPI, Amin Mudzhakir menyiarkan di FB, sebuah ulasan berjudul "Membangkitkan Kembali Semangat Rekonsiliasi". Tulisan ini dipicu oleh berlangsungnya Awal Agustus yl "Tele-Conference" antara Jakarta, Melbourne, Vancouvre dan Kopenhagen dengan acara besar: ‘Keadilan Sejarah dalam Menyikapi Tragedi 1965’. Dampak "Tele-Conference" tsb menandakan meningkatnya kesedaran dan "political will"" dikalangan masyarakaat, terutama dikalangan cerdik pandai, khususnya golongan sejarawan muda Indonesia, untuk meneruskan dan memperbesar kegiatan sekitar "Keadilan Sejarh dalam Menyingkap Tragedi 1965", menuju suatu REKONSILIASI NASIONAL DAN KEBENARAN. Penulisnya, Amin Mudzhakir a.l. menegaskan: " "Muara perdebatan dalam acara kemarin adalah kesadaran untuk membangkitkan kembali semangat rekonsiliasi yang belakangan ini dirasakan agak mandek. Pada tataran sosial dan kultural rekonsiliasi masih mungkin dilakukan. Inilah prasyarat agar rehabilitasi politik yang merupakan tanggung jawab negara mempunyai legitimasi kuat di tengah masyarakat. * * * Mari ikut bersama tulisan AMIN MUDZHAKIR, sbb: AMIN MUDZHAKIR Membangkitkan Kembali Semangat Rekonsiliasi 9 September 2013 at 04:57 Pada tanggal 30 Agustus 2013 kemarin di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, diselenggarakan sebuah telekonferensi bertajuk ‘Keadilan Sejarah dalam Menyikapi Tragedi 1965’. Disebut telekonferensi karena acara tersebut diadakan di empat kota, yaitu Jakarta (Indonesia), Melbourne (Australia), Vancouver (Kanada), dan Kopenhagen (Denmark) secara bersamaan dengan menggunakan fasilitas teknologi informasi terkini. Dapat dikatakan ini adalah acara akademis terbesar yang pernah diselenggarakan berkait dengan peristiwa 1965. Para pakar dan aktivis yang selama ini berkecimpung dalam isu tersebut hadir memberikan pandangannya, selain para undangan dari berbagai kalangan dan generasi, termasuk tentu saja para korban Tragedi 1965 itu sendiri. Tulisan ini merangkum isu yang berkembang dalam acara tersebut disertai dengan konteks sejarahnya. Muara perdebatan dalam acara kemarin adalah kesadaran untuk membangkitkan kembali semangat rekonsiliasi yang belakangan ini dirasakan agak mandek. Pada tataran sosial dan kultural rekonsiliasi masih mungkin dilakukan. Inilah prasyarat agar rehabilitasi politik yang merupakan tanggung jawab negara mempunyai legitimasi kuat di tengah masyarakat. 1965: Titik Balik Peristiwa 1965 adalah titik balik dalam sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan. Diawali oleh pembunuhan beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, peristiwa tersebut meminta korban jiwa berkisar antara 300 ribu hingga 2,5 juta orang. Dengan jumlah korban yang sangat besar tersebut, tidak berlebihan jika peristiwa tersebut disebut sebagai tragedi. Masalahnya adalah hingga hari ini Tragedi 1965 masih diselubungi tabir kelam. Dalam historiografi negara yang disusun selama masa Orde Baru, narasi yang ditampilkan dibatasi pada peristiwa pembunuhan para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai pelakukan. Oleh karena itu, dalam buku-buku sejarah resmi rangkaian peristiwa tersebut disederhanakan dengan nama ‘pengkhianatan Gerakan 30 September 1965/PKI (G30S/PKI). Akan tetapi, prahara terbesar dalam sejarah republik ini justru terjadi setelah itu. Sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno beberapa saat kemudian, terjadi genosida atau pembersihan terhadap siapa saja yang dituduh terlibat PKI. Pembunuhan massal ini dilakukan secara terorganisir oleh militer dengan bantuan beberapa kelompok sipil anti-komunis. Ladang pembantaian terbesar berada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara selama kurun akhir 1965 hingga pertengahan 1966. Mereka yang tidak dibunuh dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik (tapol) tanpa melewati proses pengadilan. Jumlahnya mencapai 15.000 orang. Pada tahun 1979 secara berangsur para tapol tersebut dibebaskan. Meski demikian, mereka tidak pernah memperoleh hak sebagai warga negara sepenuhnya. Selain itu, terdapat juga kaum eksil di luar negeri yang jumlahnya ribuan orang. Ketika peristiwa 1965 meletus, mereka sedang bertugas sebagai mahasiwa atau utusan Indonesia di organisasi-organisasi internasional. Oleh karena alasan yang sama dengan korban di dalam negeri, secara sewenang-wenang mereka dicabut paspornya. Akibatnya mereka tidak bisa pulang, sehingga hidup ‘kelayapan’ di luar negeri tanpa status kewarganegaraan (stateless). Dalam kenyataannya para korban 1965 hidup dalam stigma sebagai pengkhianat bangsa. Secara moral mereka dianggap nista. Bagian tragisnya adalah hal ini mendera juga anak keturunan mereka. Mereka menjadi warga negara kelas dua yang didiskriminasi dalam banyak perkara sedemikian rupa. 1998: Antara Harapan dan Ketidakpastian Jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 membuka lembaran sejarah baru bagi para korban. Mereka berharap adanya rehabilitasi terhadap hak kewarganegaraan mereka yang terampas selama ini. Bersama dengan itu, muncul berbagai penyelidikan yang menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius dalam kasus 1965 dan berbagai peristiwa kekerasan yang mengiringinya. Pada masa Abdurrahman Wahid, pemerintah membuat terobosan penting. Secara pribadi Wahid meminta maaf kepada para korban Tragedi 1965 dan mengajak semua kalangan, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) untuk melakukan rekonsiliasi. Sebagai pemimpin NU, seruan Wahid tersebut berdentang nyaring. Sebagaimana diketahui, beberapa kelompok NU pada tahun 1965-1966 terlibat dalam suatu skenario penghancuran PKI secara sistematis. Pada tahun 2004 disyahkan Undang-Undang No. 27 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Akan tetapi, pada tahun 2006 undang-undang tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Belakangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat mewacanakan permohonan maaf negara terhadap korban Tragedi 1965, meski hingga hal itu belum terrealisasi sama sekali. Agenda Selanjutnya Di tengah suasana yang bergelayut antara harapan dan ketidakpastian, telekonferensi di STF Driyarkara kemarin memastikan satu hal: rekonsiliasi sosial dan kultural di tengah masayarakat masih mungkin dilakukan. Beberapa contoh dikemukakan, seperti apa yang dilakukan selama ini oleh Syarikat Indonesia. Organisasi masyarakat sipil yang berasal dari kalangan NU ini aktif mengadakan berbagai forum untuk mempertemukan warga baik yang berada pada posisi korban maupun pelaku. Diharapkan dengan itu tercipta komunikasi yang selama puluhan tahun terputus oleh prasangka yang diwariskan secara turun temurun. Satu contoh lagi dikemukakan dari Bali. Gugatan ahli waris I Gede Puger disyahkan oleh putusan Mahkamah Agung No. 1050/K/Pdt/2007 tentang perampasan tanah dan bangunan. Kodam IX yang sekarang menguasai aset tersebut diminta untuk mengembalikannya kepada ahli waris I Gede Puger. Selain itu, keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 60 huruf g dalam UU. 12/2003 tentang pemilihan umum yang merestorasi hak sipil dan politik eks tapol untuk memilih dan dipilih patut diapresiasi. Berbekal contoh-contoh tersebut, rekonsiliasi pada tataran sosial dan kultural masih mungkin dilakukan, meski terlihat sporadis dan kasusistik. Akan tetapi, hanya dengan jalan inilah rehabilitasi politik yang lebih besar pada tataran negara akan memperoleh legitimasinya. Di atas semuanya, dibutuhkan kesabaran karena mematahkan pewarisan ingatan tentang Tragedi 1965 yang telah dibangun kokoh selama ini bukanlah pekerjaan mudah. FB. 09 SEPT 2013 (Dimuat di Harian Nasional, 4 September 2013)

No comments: