Saturday, September 7, 2013

SEJARAWAN HOESEIN RUSDHY TENTANG Orang Pertama PKI – – – D.N. AIDIT

Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 06 September 2013 ------------------------- SEJARAWAN HOESEIN RUSDHY TENTANG Orang Pertama PKI – – – D.N. AIDIT * * Suatu gejala positif dan patut disambut adalah tulisan sejarawan dr Hoesein Rushdy, yang mengisi dan melengkapi catatan sejarah bangsa, menyangkut seorang tokoh pimpinan PKI, DN Aidit. Dalam waktu panjang di negeri kita, – – – meski rezim otoriter Orde Baru sudah berakhir -- masih terdapat suasana “tabu” di kalangan sementara kaum intelektuil Indonesia sehingga tidak berani dan tidak mampu menulis sejarah yang obyektif mengenai tokoh-tokoh pimpinan PKI, dan tokon-tokoh politik aliran Kiri lainnya. Situasi ini a.l disebabkan oleh kekhawatiran dituduh “bersimpati” dengan PKI, atau bahkan dituduh orang PKI. Nyatanya sebelum berkuasa Orde Baru, -- PKI adalah sebuah partai legal, yang termasuk gigih mempertahankan dasar falsafah negara Pancasila Ini dapat disaksikan dalam dokumen negara mengenai diskusi sengit mengenai dasar negara RI, yang terjadi antara pelbagai parpol di Dewan Konstituante periode Presiden Sukarno. Bila dibaca Konstitusi PKI, jelas pula tercantum bahwa PKI menerima Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia. Tokoh-tokoh pimpinannya menjabat kedudukan tinggi pemerintahan dan negara. DN Aidit, misalnya, sebagai salah seorang wakil ketua MPRS adalah Menko; MH Lukman, wakil ketua I PKI, adalah Wakil Ketua DPR-GR, dan Nyoto, wakil ketua II PKI adalah Menteri Negara. Ketika Jendral Suharto dengan menyalahgunakan “Supersemar” membubarkan PKI, dengan tuduhan parpol PKI terlibat dalam G30S, --- adalah Presiden Sukarno, yang ketika itu masih menjabat sebagai Presiden RI, yang menentang dibubarkannya PKI. Beliau menjelaskan didalam pidato-pidatonya, yang dibungkam oleh Suharto, bahwa PKI adalah sebuah partai politik Indonesia sejak berdirinya yang punya peranan penting dalam perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Sejarah juga mencatat bahwa PKI adalah parpol yang termasuk berada di depan, membela keutuhan wilayah dan kedaulatan Republik Indonesia, dari Sabang sampai Merauké, dan dalam menentang separatisme PRRI/Permesta. Fakta-fakta sejarah tsb diatas, hampir tidak ada lagi yang berani atau mau menganggapnya sebagai fakta sejarah. * * * Hari Kemis kemarin, 04 September, 2013, kita baca tulisan sejarawan Hoesein Rushdy mengenai DN AIDIT di Facebook. Tulisan tsb mendapat tanggapan dari sementara pembaca. * * * Masih sangat sedikit penulisan atau catatan sejarah mengenai tokoh-tokoh gerakan Kiri/Komunis Indonesia, yang telah memberikan segala-galanya demi kemedekaan tanah air dan bangsa. Seperti halnya mantan ketua dan pendiri PKI, Alimin, yang jenazahnya terbaring di Taman Pahlawan Kalibata dan dianugrahi gelar Pahlawan Nasional, boleh dibilang masih sedikit sekali penulisan. Juga halnya tentang tokoh-tokoh Kiri lainnya seperti Mr Amir Syariufddin,Wikana, Supeno, Sunito (mantan Dutabesar RI untuk Eropah), Jusuf Muda Dalam, dll tokoh pejuang Kiri lainnya, umumnya tidak dikenal oleh generasi muda. Tulisan Hoesein Rushdy mengeni DN Aidit, mantan Ketua CC PKI, adalah inisiatif dan permulaan yang merupakan terobosan dari seorang sejarawan. Berikut ini tulisan sejarawan Hoesein Rushdy tentang DN AIDIT. * * * Hoesein Rushdy DIPA NUSANTARA AIDIT - D.N. AIDIT Yang lebih dikenal dengan D.N. Aidit (lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923 – meninggal di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965 pada yumur 42 tahun) adalah Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia (CC-PKI). Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya. Di masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda. Ayahnya, Abdullah Aidit, ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPR (Sementara) mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah. Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja. Dari Belitung, kawan Aidit berangkat ke Jakarta, dan pada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Prof. Mohammad Yamin. Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya. Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang. Ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan RRC. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain. Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia. . . . . . .. Demikian Hoesein Rusdhy. * * * Sampai di sini terhenti catatan sejarah Hoesein Rushdy mengenai DN AIDIT. Rasanya masih sangat tidak lengkap. Tidak disebut bahwa DN Aidit menemui ajalnya oleh peluru sebuah pasukan TNI yang berhasil menangkap dan mengeksekusinya, atas petunjuk Jendral Suharto. tanpa proses pengadilan apapun Pembaca banyak yang tahu bahwa Mingguan TEMPO pernah menerbitkan edisi khusus tentang D.N AIDIT. Juga pernah tentang NYOTO, Wakil Ketua II CC PKI. Masyrakat peduli sejarah Indonesia pasti menyambut sejarawan-sejarawan KITA mulai menulis tentang tokoh-tokoh pimpinan Partai Komunis Indonesia. Seorang sejarawan dan Indonesianis Belanda, Harry Poeze pernah menulis KARYA BESAR tentang TAN MALAKA. Dalam bahasa Belanda. Edisi Indonesianya sudah mulai terbit berangsur, di Jakarta. Harry Poeze, boleh dikatakan, adalah satu-satunya sejarawan Indonesianis yang telah mengadakan penelitian (kurang lebih 10 tahun) mengenai TAN MALAKA. Kemudian menulis hasil penelitiannya dalam 3 jilid buku, 1000 halaman lebih. * * * Pakar Indonesianis lainnya, sejarawan berbangsa Australia, Anton E. Lucas telah melakukan penelitian dan menulis mengenai peristiwa penting dalam sejarah revolusi kemerdekaan kita, yaitu “PERISTIWA TIGA DAERAH”. Apakah peristiwa tsb suatu pembeontakan ataukah suatu revolusi sosial sesuai dengan semangat dan cita-cita Kemerdekaan dan Emansipasi Bangsa. masalah tsb masih belum memperoleh perhatian dan penganalisaan seksama. Sejarawan Indonesia sendiri sebegitu jauh belum mengadakan penelitian dan penulisan sejarah mengenai “Peristiwa Tiga Daerah”, yang sesugguhnya merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Semoga para sejarawan kita akan tergerak perhatiannya untuk mengadakan penelitian dan penulisan mengenai “ PERISTIWA TIGA DAERAH” . . yang hingga kini masih “kontroversial”, bahkan, mendapat cap sebagai suatu “pemberontakan” melawan Republik Indonesia yang sedang berjuang melawan Belanda. Harian “Merdeka” ketika itu, begitu jauh sampai memvonis para pelaku “revolusi sosial” di Tegal, Brebes dan Pemalang itu, di antaranya pejuang-pejuang kemerdekaan SARDJIJO dan WIDARTA sebagai “antek-antek Nica.” Sedangkan - Anton E. Lucas dalam bukunya “Peristiwa Tiga Daerah”, -- menulis bahwa Peristiwa tiga daerah adalah suatu peristiwa dalam sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara oktober sampai desember 1945 di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, di keresidenan Pekalongan Jawa tengah, dimana seluruh elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana dan camat), dan sebagian besar kepala desa “didaulat” dan diganti oleh aparat pemerintahan baru, yang terdiri dari aliran-aliran islam, sosialis dan komunis (hal7). * * * Generasi muda kita amat sangat memerlukan penulisan sejarah yang obyektif yang menghormati fakta-fakta sejarah, khususnya yang ditulis oleh sejarawan dan peneliti bangsa sendiri mengenai tokoh-tokoh pimpinan parpol, terutama parpol Kiri, teristimewa PKI. Karena literatur megenai hal itu teralu sedikit. Lagipula literatur seperti itu di zaman Orba telah banyak yang dimusnahkan. Kemudian sejarawan Orba menulis "catatan sejarah" yang sepenuhnya DIPELINTIR, DIPALSUKAN!. * * * Kita nantikan sejarawan-sejarawan generasi muda seperti Asvi Warman Adam, Baskara T. Wijaya, Wilson Obrigados, Hilmar Farid, Bonnie Triyana dan banyak lainnya . . . menulis dan menulis lagi dalam rangka pelurusan sejarah. SESUATU YANG AMAT DIPERLUKAN GENERASI MUDA DAN BANGSA INI KESELURUHANNYA. Penulisan sejarah seobyektif-mungkin, berusaha ambil bagian dalam kegiatan PELURUSAN SEJARAH, adalah hal yang sudah dan sedang dilakukan oleh para sejarawan muda kita tsb sejak dimulainya proses Reformasi dan Demokratisasi. Khususnya sejak berakhirnya rezim otoriter Orde Baru, ---- dengan gairah - --- dan mendapat sambutan hangat pembaca pencinta sejarah dan peduli bangsa! * * *

No comments: