*IBRAHIM ISA *
*Jumat, 11 Oktober 2012.*
*-------------------------------*
Hoi Coen,
Berikut ini kesanku (sementara) terhadap varian yang kau ajukan mengenai
G30S. Yang kau lakukan itu bertolak dari KUNJUNGAN- ULANG Ke PENGADILAN
UNTUNG DAN NYONO.
1.
Tulisan tsb bagiku, adalah suatu v a r i a n baru sekitar G30S .
Analisisnya berangkat dari pandangan mengenai REVOLUSI. Bahwa
revolusi ada mula dan ada akhirnya. Selanjutnya d o m e s t i k a s
i. Isi domestikasi adalah kembali ke normalisasi ketatanegaraan,
tentara yang selama itu kuasa, harus kembali ke barak militernya
masing-masing. Dilakukan pergantian petinggi tentara yg lama dengan
jendral-jendral yang patuh dan setia pada hukum, pada atasannya ---
pemerintah sipil. Disebut bahwa proses domestikasi yg dimulai dengan
disingkirkannya jendral-jendral yang mendominasi politik itu , telah
mencapai hasil di Turki (Erdogan) dan di Mesir (Morsi). Pandangan
yang bertolak dari revolusi, -- ada awal dan ada akhirnya dan
dilanjutkan dengan DOMESTIKASI, adalah suatu pandangan yang menarik
dan patut dipelajari.
2.
Bertolak dari "kunjungan-kembali ke pengadilan Untung dan
Nyono" sebagai fokus penelitian, tidak terhindarkan dari
keterbatasan bahan. Karena lembaga Mahmilub yang mengadili perkara
Untung dan Nyono, adalah suatu lembaga pengadilan militer yang tidak
transparan dan TIDAK INDEPENDEN. Lebih banyak rekayasanya.
Pernyataan dan kesaksian jaksa dan tertuduh dalam Mahmilub,
seyogianuya diperlakukan sebagai bahan-bahan yang sudah melewati
suatu "screening", rekayasa dsb.
3.
Dalam nalisis tulisan, kurang disoroti peranan Suharto yang pada
akhir cerita, --- dialah yang paling besar "panen" dan meraih
segala keuntungan dari peristiwa G30S.
4.
Intervensi/campur tangan kekuatan asing dalam revolusi dan
perkebangan politik Indonesia : --- oleh AS terutama,
merupakan faktor amat penting. Maka seyogianya dalam
menganalisis G30S, perhatikan: kaitannya erat sekali dengan
strategi Perang Dingin AS. AS sudah lama merekrut
perwira-perwira TNI sebagai kekuatan alternatif untuk
menghancurkan gerakan Kiri, menggulingkan pemerintahan
Sukarno dan menjadikan penguasa baru Indonesia sebagai klien
AS di Asia Tenggara.
5.
Dalam menganalisis proses berkuasanya tentara di
Indonesia seyogianya dianalisis mengenai konsep
DWIFUNGSI ABRI, yang akhirnya dengan "sukses"
dilaksanakan oleh Suharto selama rezim Orba. Proses
domestikasi erat kaitannya dengan kegiatan/usaha dan
perjuangan kekuatan demokrasi di Indonesia untuk
menghapuskan konsep DWIFUNGSI ABRI.
Amsterdam, 12 Oktober 2012.
** * **
*Dr COEN HOLTZAPPEL *
*Amsterdam, 09 Oktober 2012*
*---------------------------------------*
*PESAN UTAMA DARI BERKUNJUNG-ULANG KE PENGADILAN UNTUNG DAN NYONO*
Melakukan studi terhadap revolusi-revolusi Amerika Latin, mendapatkan
pendirian empirisis, yg didasarkan pada pengalaman bertahun-tahun serta
riset sejarah. Yang menunjukkan bahwa revolusi itu ada awal dan ada
akhirnya. Berakhir berarti kembali ke situasi normal, bebas dari SOB dan
undang-undang militer yg dikeluarkan oleh tentara, untuk tetap menguasai
politik. Jalan kembali ini dikenal sebagai /d o m e s t i k a s i ,
/yaitu kembali ke tata-hidup (orde) domestik yang normal, tanpa dominasi
politik oleh tentara. Konsekwensinya, adalah, disingkirkannya pimpinan
tentara, halmana merupakan prioritas pertama domestikasi, termasuk
pergantian dengan jendral-jendral dan periwira-perwira yang setia dan
patuh. Contoh-contoh proses domestikasi seperti itu berlangsung di
Mesir, dimana Presiden Morsi segera setelah ia terpilih (menjadi
presiden), telah menyingkirkan pimpinan tentara dari posisi-posisi
mereka dan menggantikannya dengan yang setia. Turki adalah contoh kedua,
dimana Presiden Erdogan dengan hati-hati selangkah-demi-selangkah
melakukan pergantian pimpinan tentara, menyingkirkannya dari (kehidupan)
politik.
Reformasi negara Indonesia dan sistim-memerintah (governance system)
yang dimulai dalam tahun 1965 oleh suatu DEKALARSI BOGOR, juga merupakan
suatu permulaan untuk suatu domestikasi, halmana berarti termasuk
penyingkiran pimpinan tentara dari dominasi politik mereka. Soal utama
adalah bagaimana melakukannya dan siapa yang berani melakukannya.
Presiden Sukarno demikian juga penerusnya Menteri Subandrio tidak punya
basis politik, apalagi suatu basis politik yang kuat. Satu-satunya
partai dan pimpinan partai yang menjanjikan kekuatan politik adalah
partai komunis PKI dan pemimpinnya Aidit. Deklarasi Bogor 1964 yang
ditandatangani oleh 10 parpol Nasakom memperkokoh PKI dan beberapa
parpol yang bersedia mengikuti garis reformasi.
Ketika tampak dalam 6 bulan pertama 1965 bahwa pimpinan tentara melawan
subordinasi macam apapun terhadap politik dan mengeluarkan sebuah
doktrin yang mempertahankan dan mengkonsoloidasi otonomi dan kekuatan
politiknya, Aidit menyimpulkan, berhubung dengan kelemahan kesehatan
Sukarno, bahwa terdapat suatu keperluan urgen untuk disingkirkannya
pimpinan tentara. Ia memperoleh kerjasama dari Subandrio dan
pebantu-pembantu serta sahabat lainnya dari presiden, serta pengertian
dari presiden yang tidak sedia untuk melancarkan serangan blak-blakan
terhadap pimpinan tentara tetapi juga menyadari membiarkan pimpinan
(tentara) terus kerja, akan menghadapi risiko bahwa haridepannya adalah
bahaya tercetusnya suatu kup militer.
Ketika pada awal Agustus 1965 desas-desus mengenai sakitnya dengan
tiba-tiba presiden, menimbulkan diskusi-diskusi di kalangan tentara
tentang periode sesudah perginya presiden, intelijen dari pengawal
presiden bertindak dan menghubungi komandan Pasukan Pengawal Kehormatan
Untung untuk memulai suatu investigasi sekitar kebenaran desas-desus
mengenai suatu Dewan Jendral yang merencanakan suatu kup. Ia juga harus
meneliti apakah akan ada dukungan tentara terhadap suatu aksi-polisi
dengan kata akhir dari presiden terhadap dewan seperti itu. Untung
menerima tugas itu dan memulai mencari kawan-kawan. Itulah saatnya
ketika Aidit memutuskan untuk menggunakan insiatif tsb untuk
menjadikannya suatu front kombinasi militer dan politik yang cukup kuat
untuk mendukung suatu pembersihan besar-besaran terhadap pimpinan
tentara dan klien-kliennya. Ia memperoleh dukungan dari Subandrio yang
juga membimbing Untung, sedangkan Untung yang amat populer itu,
mengumpulkan payung besar sahabat-sahabat non-komunis yang besar dari
presiden disekitarnya. Aidit menetak (hack) tindakan-tindakan Untung
dalam dua cara, yaitu, dengan mengatur konsultansi bagi
tindakan-tindakan Untung oleh Politbiro CC PKI dan dengan melampaui
(outscoursing) dua ornang perwira dari tim intelijennya, yang juga punya
hubungan organik dengan komandan garnisun Kolonel Latif. Dua orang ini,
bernama Sjam dan Pono, mendapat tugas mengatur agar tindakan tsb
memperoleh dukungan Nasakom dan akan merupakan pilot untuk
dilaksanakannya dukungan Nasakom terhadap operasi komando tentara.
Justru ide itu, sebelumnya sudah ditentang hebat oleh pimpinan tentara.
Sejak semula timkerja Utung, ia merusak kerjasama dengan Sjam dan Pono.
Keyakinan (Untung) ialah bahwa komando operasi tentara dan konsultasi
politik tidak bisa dikombinasikan, karena orang-orang sipil tidak berada
di bawah displin militer dan dalam situasi perang bisa melakukan hal-hal
yang paling aneh, untuk mana dia yang nantinya harus memikul
tanggungjawabnya.
Pada akhir Agustus Politbiro dan Aidit menghentikan hubungan konsultasi
karena banyak anggota sudah menjadi bosan dengan penolakan Untung dan
karena tidak terdapat mayoritas untuk memperolehj dukungan. Semua
hubungan dengan "militer" dihentikan, dan diskusi mengenai pekerjaan
Untung di kalangan komunis dilarang. Sebuah kopi dari permintaan untuk
dukungan presiden dikirimkan kepada anggota-anggota Grup Bogor, yang
menyebabkan mereka menunda dukungan mereka terhadap tindakan Untung
sampai saatnya keputusan presiden. Realisasi dukungan mula Nasakom
terhadap tim itu dibatalkan.
Selanjutnya pemimpin PKI memulai suatu kerjasama-erat dengan Sjam untuk
menyiapkan suatu operasi pembersihan besar-besaran terhadap golongan
Dewan Jendral di daerah-daerah, halmana berada di luar kontrol Untung.
Namun, Untung yakin bahwa aksi-polisinya adalah yang paling mungkin
mencapai sukses karena hal itu akan berakhir dengan keputusan presiden.
Justru keputusan tsb yang akan memutuskan suksesnya operasi pembersihan
tsb dan dapat secara pre-emtif menghentikannya. Memang, laporan mengenai
aksi hari itu kepada presiden menghasilkan dihentikannya secara
keseluruhan perintah-perintah kepada gerakan-gerakan tentara dan
kombinasi tindakan militer dan politik terhadap golongan tentara.
Tetapi, Sjam, dengan berkonsultasi dengan Aidit memutuskan untuk jalan
terus, dan menyiarkan dekrit yang memberitahukan kepada rakyawt dan
sahabawt-sahabat di daerah amengenai pembentukan gerakan militer yang
besar dan sebuah Dewan Revolusioner, dan menyerukan untuk bertindak.
Dewan akan menyelesaikan pekerjaan mengyingkirkan pentolan-pentolah
Dewan Jendral dari jabatan mereka, dengan menyingkrikan klien-klien
tentara dari jabatan mereka. Sepertinya Aidit beranggapan
diselamatkannya revolusi dari tentara yang berdominasi, adalah jauh
lebih baik. Lagipula presiden tidak memiliki semua informasi tentang
cengkaman pimpinan tentara terhap masyrakat di daerah dan ambisi mereka
di bidang itu. Disiarkannya dekrit segera menghimbau kewaspadaan di
sementara kalangan dan mengeluarkan kutukan mereka terhadapnya sebagai
suatu tindakan kontra-refolusioner, yang ditindak lanjuti dengan tuduhan
kup 1 Oktober oleh Suharto. Demikianlah, operasi deomestikasi mati dalam
suatu kematian besar-besaran yang kejam. Hanya dalam tahun 1999 muncul
kesempatan kedua untuk suatu domestikasi dengan munculnya \Reformasi.
Kali ini disingkirkannya tentara sebagai suatu kekuatan politik yang
besar mencapai hasil, meskipun di tingkat daerah tentara mempertahankan
kepentingan ekonominya, dan posisinya sebagai pemegang saham. Hal ini
menunjukkan betapa masuk akalnya (how sound) rencana Aidit untuk suatu
serangan besar-besaran terhadap kekuasaan tentara di daerah.
Tuduhan kup oleh Aidit (mungkin Coen salah tik, mungkin maksudnya
"Suharto" dan bukan "Aidit") terhadap Untung dan PKI tetap mengiang
sampai sekarang melalui pengadilan-pengadilan terhadap para pemimpin
aksi, dan literatur dimana cerita-cerita kup mengenai G30S berakhir. Hal
ini secara efisien berhasil menyembunyikan fakta bahwa tindakan Untung
adalah ujung tombak tindakan pertama Indonesia dalam suatu operasi
domestikasi dan suatu permulaan revolusioner yang tepat untuk kembali ke
normalitas. Hanya tigapuluh tahun kemudian tampak bahwa tentara dan
politik yakin bahwa kembali ke normalitas adalah perlu untuk dengan
tujuan untuk memerangi krisis ekonomi 1997 dan menyiapkan mobilisasi
setiap lapisan dan daerah dari akar rumput sampai ke atas melawan
kahancuran ekonomi yang mengancam. Dalam tahun 1965 tentara samasekali
tidak siap untuk suatu operasi normalisasi seperti itu, meskipun ancaman
situasi ekonomi sama mengancamnya seperti dalam tahun 1999. Dalam tahun
1965 tentara melihat PKI sebagai bahaya yang lebih besar. Bersitegang
pada tuduhan Suharto membikin mata menjadi buta mengenai peranan
domestikasi dalam suatu revolusi dan merusak penanganan yang benar
terhadap bukti mengenai revolusi Indonesia. Menganggap sepi cerita
pembelaan Untung dan Nyono tampaknya adalah suatu kesalahan besar, yang
dicoba untuk mengkoreksinya dengan melakukan kunjungan-ulang ke
pengadilan-pengadilan Untung dan Nyono.
* * *
Saturday, October 20, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment