Saturday, October 20, 2012

KUNJUNGAN- ULANG Ke PENGADILAN UNTUNG DAN NYONO.

*IBRAHIM ISA *
*Jumat, 11 Oktober 2012.*
*-------------------------------*


Hoi Coen,


Berikut ini kesanku (sementara) terhadap varian yang kau ajukan mengenai G30S. Yang kau lakukan itu bertolak dari KUNJUNGAN- ULANG Ke PENGADILAN UNTUNG DAN NYONO.


 1.

    Tulisan tsb bagiku, adalah suatu v a r i a n baru sekitar G30S .
    Analisisnya berangkat dari pandangan mengenai REVOLUSI. Bahwa
    revolusi ada mula dan ada akhirnya. Selanjutnya d o m e s t i k a s
    i. Isi domestikasi adalah kembali ke normalisasi ketatanegaraan,
    tentara yang selama itu kuasa, harus kembali ke barak militernya
    masing-masing. Dilakukan pergantian petinggi tentara yg lama dengan
    jendral-jendral yang patuh dan setia pada hukum, pada atasannya ---
    pemerintah sipil. Disebut bahwa proses domestikasi yg dimulai dengan
    disingkirkannya jendral-jendral yang mendominasi politik itu , telah
    mencapai hasil di Turki (Erdogan) dan di Mesir (Morsi). Pandangan
    yang bertolak dari revolusi, -- ada awal dan ada akhirnya dan
    dilanjutkan dengan DOMESTIKASI, adalah suatu pandangan yang menarik
    dan patut dipelajari.

 2.

    Bertolak dari "kunjungan-kembali ke pengadilan Untung dan

    Nyono" sebagai fokus penelitian, tidak terhindarkan dari
    keterbatasan bahan. Karena lembaga Mahmilub yang mengadili perkara
    Untung dan Nyono, adalah suatu lembaga pengadilan militer yang tidak
    transparan dan TIDAK INDEPENDEN. Lebih banyak rekayasanya.
    Pernyataan dan kesaksian jaksa dan tertuduh dalam Mahmilub,
    seyogianuya diperlakukan sebagai bahan-bahan yang sudah melewati
    suatu "screening", rekayasa dsb.


     3.

        Dalam nalisis tulisan, kurang disoroti peranan Suharto yang pada
        akhir cerita, --- dialah yang paling besar "panen" dan meraih
        segala keuntungan dari peristiwa G30S.


         4.

            Intervensi/campur tangan kekuatan asing dalam revolusi dan
            perkebangan politik Indonesia : --- oleh AS terutama,
            merupakan faktor amat penting. Maka seyogianya dalam
            menganalisis G30S, perhatikan: kaitannya erat sekali dengan
            strategi Perang Dingin AS. AS sudah lama merekrut
            perwira-perwira TNI sebagai kekuatan alternatif untuk
            menghancurkan gerakan Kiri, menggulingkan pemerintahan
            Sukarno dan menjadikan penguasa baru Indonesia sebagai klien
            AS di Asia Tenggara.

             5.

                Dalam menganalisis proses berkuasanya tentara di
                Indonesia seyogianya dianalisis mengenai konsep
                DWIFUNGSI ABRI, yang akhirnya dengan "sukses"
                dilaksanakan oleh Suharto selama rezim Orba. Proses
                domestikasi erat kaitannya dengan kegiatan/usaha dan
                perjuangan kekuatan demokrasi di Indonesia untuk
                menghapuskan konsep DWIFUNGSI ABRI.


Amsterdam, 12 Oktober 2012.


** * **


*Dr COEN HOLTZAPPEL *

*Amsterdam, 09 Oktober 2012*

*---------------------------------------*


*PESAN UTAMA DARI BERKUNJUNG-ULANG KE PENGADILAN UNTUNG DAN NYONO*


Melakukan studi terhadap revolusi-revolusi Amerika Latin, mendapatkan pendirian empirisis, yg didasarkan pada pengalaman bertahun-tahun serta riset sejarah. Yang menunjukkan bahwa revolusi itu ada awal dan ada akhirnya. Berakhir berarti kembali ke situasi normal, bebas dari SOB dan undang-undang militer yg dikeluarkan oleh tentara, untuk tetap menguasai politik. Jalan kembali ini dikenal sebagai /d o m e s t i k a s i , /yaitu kembali ke tata-hidup (orde) domestik yang normal, tanpa dominasi politik oleh tentara. Konsekwensinya, adalah, disingkirkannya pimpinan tentara, halmana merupakan prioritas pertama domestikasi, termasuk pergantian dengan jendral-jendral dan periwira-perwira yang setia dan patuh. Contoh-contoh proses domestikasi seperti itu berlangsung di Mesir, dimana Presiden Morsi segera setelah ia terpilih (menjadi presiden), telah menyingkirkan pimpinan tentara dari posisi-posisi mereka dan menggantikannya dengan yang setia. Turki adalah contoh kedua, dimana Presiden Erdogan dengan hati-hati selangkah-demi-selangkah melakukan pergantian pimpinan tentara, menyingkirkannya dari (kehidupan) politik.


Reformasi negara Indonesia dan sistim-memerintah (governance system) yang dimulai dalam tahun 1965 oleh suatu DEKALARSI BOGOR, juga merupakan suatu permulaan untuk suatu domestikasi, halmana berarti termasuk penyingkiran pimpinan tentara dari dominasi politik mereka. Soal utama adalah bagaimana melakukannya dan siapa yang berani melakukannya. Presiden Sukarno demikian juga penerusnya Menteri Subandrio tidak punya basis politik, apalagi suatu basis politik yang kuat. Satu-satunya partai dan pimpinan partai yang menjanjikan kekuatan politik adalah partai komunis PKI dan pemimpinnya Aidit. Deklarasi Bogor 1964 yang ditandatangani oleh 10 parpol Nasakom memperkokoh PKI dan beberapa parpol yang bersedia mengikuti garis reformasi.


Ketika tampak dalam 6 bulan pertama 1965 bahwa pimpinan tentara melawan subordinasi macam apapun terhadap politik dan mengeluarkan sebuah doktrin yang mempertahankan dan mengkonsoloidasi otonomi dan kekuatan politiknya, Aidit menyimpulkan, berhubung dengan kelemahan kesehatan Sukarno, bahwa terdapat suatu keperluan urgen untuk disingkirkannya pimpinan tentara. Ia memperoleh kerjasama dari Subandrio dan pebantu-pembantu serta sahabat lainnya dari presiden, serta pengertian dari presiden yang tidak sedia untuk melancarkan serangan blak-blakan terhadap pimpinan tentara tetapi juga menyadari membiarkan pimpinan (tentara) terus kerja, akan menghadapi risiko bahwa haridepannya adalah bahaya tercetusnya suatu kup militer.


Ketika pada awal Agustus 1965 desas-desus mengenai sakitnya dengan tiba-tiba presiden, menimbulkan diskusi-diskusi di kalangan tentara tentang periode sesudah perginya presiden, intelijen dari pengawal presiden bertindak dan menghubungi komandan Pasukan Pengawal Kehormatan Untung untuk memulai suatu investigasi sekitar kebenaran desas-desus mengenai suatu Dewan Jendral yang merencanakan suatu kup. Ia juga harus meneliti apakah akan ada dukungan tentara terhadap suatu aksi-polisi dengan kata akhir dari presiden terhadap dewan seperti itu. Untung menerima tugas itu dan memulai mencari kawan-kawan. Itulah saatnya ketika Aidit memutuskan untuk menggunakan insiatif tsb untuk menjadikannya suatu front kombinasi militer dan politik yang cukup kuat untuk mendukung suatu pembersihan besar-besaran terhadap pimpinan tentara dan klien-kliennya. Ia memperoleh dukungan dari Subandrio yang juga membimbing Untung, sedangkan Untung yang amat populer itu, mengumpulkan payung besar sahabat-sahabat non-komunis yang besar dari presiden disekitarnya. Aidit menetak (hack) tindakan-tindakan Untung dalam dua cara, yaitu, dengan mengatur konsultansi bagi tindakan-tindakan Untung oleh Politbiro CC PKI dan dengan melampaui (outscoursing) dua ornang perwira dari tim intelijennya, yang juga punya hubungan organik dengan komandan garnisun Kolonel Latif. Dua orang ini, bernama Sjam dan Pono, mendapat tugas mengatur agar tindakan tsb memperoleh dukungan Nasakom dan akan merupakan pilot untuk dilaksanakannya dukungan Nasakom terhadap operasi komando tentara. Justru ide itu, sebelumnya sudah ditentang hebat oleh pimpinan tentara.


Sejak semula timkerja Utung, ia merusak kerjasama dengan Sjam dan Pono. Keyakinan (Untung) ialah bahwa komando operasi tentara dan konsultasi politik tidak bisa dikombinasikan, karena orang-orang sipil tidak berada di bawah displin militer dan dalam situasi perang bisa melakukan hal-hal yang paling aneh, untuk mana dia yang nantinya harus memikul tanggungjawabnya.

Pada akhir Agustus Politbiro dan Aidit menghentikan hubungan konsultasi karena banyak anggota sudah menjadi bosan dengan penolakan Untung dan karena tidak terdapat mayoritas untuk memperolehj dukungan. Semua hubungan dengan "militer" dihentikan, dan diskusi mengenai pekerjaan Untung di kalangan komunis dilarang. Sebuah kopi dari permintaan untuk dukungan presiden dikirimkan kepada anggota-anggota Grup Bogor, yang menyebabkan mereka menunda dukungan mereka terhadap tindakan Untung sampai saatnya keputusan presiden. Realisasi dukungan mula Nasakom terhadap tim itu dibatalkan.


Selanjutnya pemimpin PKI memulai suatu kerjasama-erat dengan Sjam untuk menyiapkan suatu operasi pembersihan besar-besaran terhadap golongan Dewan Jendral di daerah-daerah, halmana berada di luar kontrol Untung. Namun, Untung yakin bahwa aksi-polisinya adalah yang paling mungkin mencapai sukses karena hal itu akan berakhir dengan keputusan presiden. Justru keputusan tsb yang akan memutuskan suksesnya operasi pembersihan tsb dan dapat secara pre-emtif menghentikannya. Memang, laporan mengenai aksi hari itu kepada presiden menghasilkan dihentikannya secara keseluruhan perintah-perintah kepada gerakan-gerakan tentara dan kombinasi tindakan militer dan politik terhadap golongan tentara. Tetapi, Sjam, dengan berkonsultasi dengan Aidit memutuskan untuk jalan terus, dan menyiarkan dekrit yang memberitahukan kepada rakyawt dan sahabawt-sahabat di daerah amengenai pembentukan gerakan militer yang besar dan sebuah Dewan Revolusioner, dan menyerukan untuk bertindak. Dewan akan menyelesaikan pekerjaan mengyingkirkan pentolan-pentolah Dewan Jendral dari jabatan mereka, dengan menyingkrikan klien-klien tentara dari jabatan mereka. Sepertinya Aidit beranggapan diselamatkannya revolusi dari tentara yang berdominasi, adalah jauh lebih baik. Lagipula presiden tidak memiliki semua informasi tentang cengkaman pimpinan tentara terhap masyrakat di daerah dan ambisi mereka di bidang itu. Disiarkannya dekrit segera menghimbau kewaspadaan di sementara kalangan dan mengeluarkan kutukan mereka terhadapnya sebagai suatu tindakan kontra-refolusioner, yang ditindak lanjuti dengan tuduhan kup 1 Oktober oleh Suharto. Demikianlah, operasi deomestikasi mati dalam suatu kematian besar-besaran yang kejam. Hanya dalam tahun 1999 muncul kesempatan kedua untuk suatu domestikasi dengan munculnya \Reformasi. Kali ini disingkirkannya tentara sebagai suatu kekuatan politik yang besar mencapai hasil, meskipun di tingkat daerah tentara mempertahankan kepentingan ekonominya, dan posisinya sebagai pemegang saham. Hal ini menunjukkan betapa masuk akalnya (how sound) rencana Aidit untuk suatu serangan besar-besaran terhadap kekuasaan tentara di daerah.


Tuduhan kup oleh Aidit (mungkin Coen salah tik, mungkin maksudnya "Suharto" dan bukan "Aidit") terhadap Untung dan PKI tetap mengiang sampai sekarang melalui pengadilan-pengadilan terhadap para pemimpin aksi, dan literatur dimana cerita-cerita kup mengenai G30S berakhir. Hal ini secara efisien berhasil menyembunyikan fakta bahwa tindakan Untung adalah ujung tombak tindakan pertama Indonesia dalam suatu operasi domestikasi dan suatu permulaan revolusioner yang tepat untuk kembali ke normalitas. Hanya tigapuluh tahun kemudian tampak bahwa tentara dan politik yakin bahwa kembali ke normalitas adalah perlu untuk dengan tujuan untuk memerangi krisis ekonomi 1997 dan menyiapkan mobilisasi setiap lapisan dan daerah dari akar rumput sampai ke atas melawan kahancuran ekonomi yang mengancam. Dalam tahun 1965 tentara samasekali tidak siap untuk suatu operasi normalisasi seperti itu, meskipun ancaman situasi ekonomi sama mengancamnya seperti dalam tahun 1999. Dalam tahun 1965 tentara melihat PKI sebagai bahaya yang lebih besar. Bersitegang pada tuduhan Suharto membikin mata menjadi buta mengenai peranan domestikasi dalam suatu revolusi dan merusak penanganan yang benar terhadap bukti mengenai revolusi Indonesia. Menganggap sepi cerita pembelaan Untung dan Nyono tampaknya adalah suatu kesalahan besar, yang dicoba untuk mengkoreksinya dengan melakukan kunjungan-ulang ke pengadilan-pengadilan Untung dan Nyono.


* * *


No comments: