Saturday, October 20, 2012

*MELAWAN LUPA . . . . . . BERSATU DEMI TEGAKNYA KEBENARN DAN KEADILAN . . .

*Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 09 Oktober 2012
----------------------*


*MELAWAN LUPA . . . . . . BERSATU DEMI TEGAKNYA KEBENARN DAN KEADILAN . . .
.*

< Sekitar Pertemuan Peringatan Peristiwa 1965 Yang Diselenggarakan oleh LPK1965>


* * *


*Seratus duapuluh orang banyaknya yang hadir * dalam pertemuan peringatan Peristiwa 1965 di Diemen pada hari Minggu, tanggal 07 Oktober, 2012. Hadirin -- dengan khidmat mendengarkan dan seia-sekata dengan anjuran yang dikumandangkan Ketua Lembaga Pembela Korban 1965, Holand, M.D Kartaprawira: *"MELAWAN LUPA* .. .*bersatu padu dalam perjuangan demi tegaknya kebenaran, keadilan dan demokrasi di Indonesia.* Kata-kata ini juga yang diucapkan oleh Romo Prof Dr Baskoro Wijaya dari Universitas Katolik Sanata Dharma di Yogyakarta kepadaku ketika berjumpa dengan beliau di Universitas Sanata Dharma dalam bulan September yang lalu.


Kalau dilihat semata-mata dari jumlah yang hadir,*"120 orang"*, tampaknya suatu jumlah yang "kecil". Namun, di Belanda, umumnya pertemuan-pertemuan yang bermuatan politik seperti Peristiwa 1965, j a r a n g jang yang berhasil menarik hadirin sampai jumlah lebih dari seratus orang.


Lagipula, yang hadir itu adalah orang-orang Indonesia, baik yang korban maupun yang bukan korban pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, semasa rezim Orba. Kali ini pertemuan memperingati Peristiwa 1965, berlangsung dengan ikutsertanya teman-teman dari *Yayasan Nusantara* yang telah dengan aktif ambil bagian dalam pameran foto-foto Bung Karno semasa perjuangan kemerdekaan nasional dll.


*Sarmaji dan kawan-kawan dari Perhimpunan Dokumentasi Indonesia (PERDOI)*, tidak ketinggalan dengan pameran lebih seratus buku-buku sekitar Perisitiwa 1965, termasuk bahan-bahan (termasuk yang rahasia) sekitar kegiatan KOMNASHAM mengenai Pelanggaran Ham Berat dalam Peristiwa 1965.


Sehingga, bolehlah dengan lega dikatakan bahwa pertemuan peringatan yang diselenggarakan oleh LPK65 Nederland, tercatat sebagai pertemuan politik YANG SUKSES. Para hadirin tak ada yang lupa akan peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia yang telah minta korban 500.000 sampai 3 juta warganegara yang tidak bersalah.


* * *


Mereka berdatangan dari kota-kota di negeri Belanda, seperti Amsterdam, Heerlen, Utrecht, Zeis, Rotterdam, Leiden, Den Haag . . . . dll kota, sampai-sampai ada mahasiswa post-graduate study yang datang dari Encschede, yang letaknya dari Diemen sekitar 3-4 jam dengn kereta api cepat. Juga ada yang dari Jerman, bahkan seorang mahasiswa Jerman yang studi jurusan Indonesia, di suatu universitas di Jerman, juga hadir di situ.



Yang membikin lebih terkesan pertemuan Peringatan Peristiwa 1965 tsb, ialah dipertunjukkannya film dokumenter "THE WOMEN AND THE GENERAlS". Prof Dr Saskia Wierengga (yang ambil bagian dalam pembuatan itu) berkenan memberikan penjelasan tentang arti penting dokumenter tsb. Prof Wieringga mulai mengadakan penelitian dan studi di Indonesia sejak permulaan tahun 80-an abad lalu. Beliau memberikan penjelasan sekitar isi film tsb dengan mempertunjukkan foto-foto (baru) dari laptopnya. Sayang, karena kesulitan teknis, maka foto-foto yang ada di lapto tsb, tak bisa ditayangkan ke layar besar yang memang disediakan di ruangan agar bisa disaksikan oleh hadirin meskipun yang duduknya agak jauh dari layar.


Film dokumenter "The Women and The Generals"(50 menit), yang dibuat oleh Maj Wechselmann, sebelumnya pernah dipertunjukkan di Festival Film Wanita Internasional di Assen dalam tahun 2009.


Penjelasan Prof Dr Saskia a.l sbb:


Fihak Militer di bawah Jendral Suharto telah melancarkan salah satu kampanye propaganda psikologis terbesar sesudah Perang Dunia II. Jendral Suharto dkk menyebarkan berita-rekayasa bohong bahwa wanita-wanita muda yang (katanya) hadir di lapangan dimana 6 jendral dibunuh oleh perwira-perwira yang memberontak, --- bahwa wanita-wanita muda itu merayu, memotong (dengan pisau silet) kemaluan para jendral dan disiksa sebelum dibunuh. Dikatakan ada 60 wanita yang memotong kemaluan para jendral. Dengan menggunakan sebuah pisau silet. Pisau silet itu dipertunjukkan di dalam film propaganda yang dibuat oleh Jendral Suharto. Film propganda tsb diwajibkan melihat bagi murid-murid sekolah selama 30 tahun berlansungnya rezim militer Jendral Suharto.


* * *


Film "The Women and The Generals", juga mempertunjukkan beberapa orang wanita yang masih bisa selamat dari teror rezim Orba. Mereka kini tinggal di sebuah rumah jompo. Mereka merasa risih tinggal di rumah anak-anak mereka atau keluarga mereka, karena ketika itu para keluarga mereka itu masih dihadapkan pada sikap para tetangganya, para guru dan rekan-rekannya. Karena para wanita tsb, yang dewasa ini sudah berusia lanjut (diatas 70 atau 80-an), dianggap telah terlibat di pesta seks di Lubang Buaya. Cerita bohong tsb selama bertahun-tahun dijejalkan oleh rezim Orba pada masyarakat.


Lebih dari sejuta wanita dipaksa harus memikul rasa malu disebabkan oleh tindakan yang dilakukan oleh 60 perempuan, yang secara sewenag-wenang telah dituduh oleh Jendral Suharto melakukan aksi-aksi seksual terhadap para jendral yang dibunuh itu. Mereka semuanya telah menderita siksaan di penjara, di bawah syarat-syarat kemanusiaan.


Prof Dr Wieringga telah mengadakan wawancara dengan banyak para korban tsb pada usia mereka memasuki usia 80 di abad yang lalu, ketika mereka baru saja keluar dari penjara. Masyarakat ketika itu belum siap menerima mereka kembali. Meskipun tidak ada satupun tuduhan yang diajukan terhadap mereka. Ketika itu, Indonesia masih berada di bawah Jendral Suharto. Dewasa itu mereka akan dibunuh bila ketahuan berani bicara dengan wartawan asing.


Berakhirnya rezim Orba Suharto pada tahun 1998, telah menghilangkan ancaman keamanan terhadap para wanita itu.


Namun, para anggota Gerwani, yang dalam tahun 1965 merupakan organisasi perempuan keempat terbesar di dunia, masih saja dianggap sebagai pelacur-pelacur, sebagai akibat dari puluhan tahun kampanye fitnah dan kebohongan yang dilancarkan oleh rezim Orba di bawah Jendral Suharto.


* * *














No comments: