Wednesday, October 10, 2012

PERJUANGAN Dengan Cara "BERJALAN Diatas DUA KAKI"

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 10 Oktober 2012
-----------------------------

Mengembangkan KEGIATAN Dan PERJUANGAN
Dengan Cara "BERJALAN Diatas DUA KAKI"


Terasa perlunya tindak lanjut dalam kegiatan dan perjuangn
untuk mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan berkenaan dengan
masalah PELANGGARAN HAM BERAT SEKITAR PERISTIWA 1965, seperti yang a.l
diungkapkan di dalam LAPORAN KOMNASHAM ttg 23 Juli 2012, yang sudah
disampaikan kepada Presiden SBY dan kepada Kejaksaan Agung.

Seperti dikemukakan oleh aktivis GARDA SEMBIRING, kita tak
boleh menyerahkkan dan menunggu tindakan selanjutnya pada Kejaksaan
Augung, yang harus mengambil langkah kongkrit ke arah itu, ataupun kepada
Presiden SBY. Kekuatan poitik DEMOKRASI DAN HAM di dalam masyarakat itu
sendiri harus proaktif dan inovatif dalam kegiatan dan perjuangan untuk
demokrasi dan HAM.

Di bawah ini disdampaikan dialog yang terjadi di sekitar
KESIMPULAN KOMNASHAM 23 JULI 2012, dimaksudkan untuk menimba
pemikiran dan inisiatif sekitar masalah DEMOKRASI DAN HAM DI NEGERI KITA.


* * *

tulisan wartawan THE JAKARTA POST
. . . ttg 29
September 2012>

I learned much later that after the Sept. 30 events, thousands
of people --- some estimate between 500,000 and 1 million ---
who were suspected of being PKI members or their supporters,
were slaughtered. Many others were jailed for years without
any trial or charges, or forced into exile.


The discrimination against people associated with the PKI
continued with the government barring them from becoming
soldiers, civil servants and teachers or from any employment
at state institutions. Former PKI members and supporters also
found it hard to get jobs due to the ex-political prisoner
status on their identity cards, while their relatives were
similarly stigmatized.


Under former president Soeharto's rule, any discussion and
recognition of the mass killings that was different from the
official state versions was quickly suppressed.


During the nationwide purge, military officials were believed
to have deliberately targeted innocent civilians. Many of the
victims actually had nothing to do with the communist party or
its subordinates.


In its development the Constitutional Court ruled, in 2004,
that former PKI members were allowed to contest elections. Two
years later, the government deleted the ex-political prisoner
label from identity cards.


The human rights commission has now recommended that the
military officials involved in the purge be brought to trial.

State officials under the Operational Command for the
Restoration of Security and Order (Kopkamtib) led by Soeharto,
who served from 1965 to 1967, for example, should be taken to
court for various crimes, including rape, torture and killings.


The Commission also recommended that the government issue a
formal apology to the victims and their family members --- an
apology which should be followed by rehabilitation, reparation
and compensation.


Now the creek where slaughtered bodies were piled, witness to
one of the bloodiest incidents in Klaten, is still functioning
as part of an irrigation network. Those who do not know that
brutal killings ever took place there pay no attention to it,
but a chill runs through me whenever I pass it by. --- JP/Hyginus Hardoyo


* * *

GARDA SEMBIRING:

Ya, Pak Isa: "Those who do not know that brutal killings ever took place there pay no
attention to it, but a chill runs through me whenever I pass it
by".

Ini sungguh sebuah kenangan getir yang tak terhapuskan. Tapi
di sisi lain saya salut mendapati lebih banyak orang berani
menyampaikan kesaksiannya secara jujur tentang tragedi yang amat
berdarah ini--yang terus-menerus disangkal pemerintah--di ruang
publik. Bukannya tanpa resiko mereka bersaksi seperti ini. Buat
saya ini contoh dari sebuah fearless speech.

Ibrahim Isa:
Ya Bung Garda Sembiring, ----
api kita tokh bertambah semangat dan
keyakinan bahwa kebenaran sekitar 1965, kejahatan dan kebiadaban yang
dilakukan oleh aparat keamanan negara terhadap warga yang tidak
bersalah, --- selangkah demi selangkah TERUNGKAP. Ini arti penting
dari Laporan/Kesimpulan KomnasHAM, 23 Juli 2012. Maka perdebatan
besar dan perjuangan sengit sekitar MELAKSANAKAN ATAU TIDAK
KESIMPULAN KOMNASHAM 23 Juli 2012, akan menjadi titik-fokus yang
semakin krusial. Mulai dari mantan jendral sampai ke Menko Hukum
dan Keamanan, termasuk kiayi-kiayi yang tidak sega-segan
menyalahgunakan agama untuk membela kepentingan politiknya, --
menutupi kebenaran, - - -- belakangan ini sudah tampil ke arena
perjuangan ini. Boleh dibilang setiap warga dihadapkan pada
pertanyaan dan sikap apakah mau mencari dan mengungkap kebenaran
dan memberlakukan keadilan, ataukah seperti selama ini,
menutup-nutupi dan meneruskan politik dan kultur rezim Orba yang
hidup dan bertahan di landasan kebohongan, pembodohan dan
ketidak-jujuran, ----- KKN di segala bidang kehidupan . . . .

* * *

Garda Sembiring:
Saya sepakat Pa Isa,
bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut amat penting untuk
ditindaklanjuti, akan tetapi belajar dari sekian banyak pengalaman
lalu (hasil lidik Komnas HAM yang diterlantarkan oleh
pemerintah--di satu sisi Presiden dengan retorika kosong berkilah
bahwa instansi terkait sudah diperintahkan untuk menindaklanjuti,
di sisi lain kantor Kejaksaan Agung berputar-putar pada berbagai
dalih "tengah mempelajari kasus tersebut" tanpa batas waktu yang
pasti = membiarkannya terlantar dengan restu diam-diam dari
Presiden). Di titik ini saya melihat sudah tiba saatnya masyarakat
mengupayakan dan menegakkan sendiri mekanisme pengungkapan
kebenaran yang gagal (unable) dan pada hakikatnya memang tidak mau
(unwilling) diemban oleh pemerintah. Kiranya ini adalah jawaban
yang lebih konkret ketimbang hanya menunggu dan berharap, atau
bahkan sekadar menuntut saja agar pemerintah "ingat" atau "mau"
melakukan tugas-tugasnya.

Contoh tentang inisiatif masyarakat sipil seperti ini sebenarnya sudah
cukup banyak juga, namun entah kenapa kurang (atau agak terlambat)
mendapatkan perhatian dari pegiat HAM dan demokrasi di sini. Boleh
juga dirujuk kajian yang disusun oleh Louis Bic...

Dengan segala kelebihan&  kekurangannya, Komnas HAM memang telah berhasil
merampungkan hasil penyelidikannya dan menemukan bukti permulaan
yang cukup tentang telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat di
tahun 1965-66; namun karena hasil kerja tersebut adalah sebuah
dokumen hasil lidik yang sudah dilimpahkan kepada Kejaksaan Agung,
tentu saja masyarakat masih belum bisa mengaksesnya sampai semua
proses hukum rampung (entah sampai kapan?). Di titik inilah,
masyarakat sipil perlu mengajukan jawaban dan ikhtiarnya, tanpa
perlu menunggu-menunggu lagi. Saya percaya sudah cukup banyak
dokumentasi yang disusun semenjak jatuhnya Suharto, namun
dibutuhkan dukungan dan solidaritas dari masyarakat seluas-luasnya
untuk melempangkan jalan bagi ikhtiar akbar sebagaimana yang telah
dipersembahkanmasyarakat sipil Brasil&  Guatemala. Bagaimana
pendapat Pak Isa .

Ibrahim Isa :

KomnasHAM sebagai suatu lembaga negara, memng TIDAK BOLEH MENUNGGU SAJA.
Harus meneliti dan menemukan cara dan bentuk kegiatan/perjuangan
dalam rangka menindak-lanjuti KESIMPULAN 23 Juli 2012. JANGAN
TINGGAL DIAM !!!! --- Bersamaan dengan itu, kegiatan di dalam
masyarakat yang selama ini tergabung atau masih belum terorganisasi
melakukan kegiatannya, -- JUGA JALAN DAN BERKEMBANG TERUS!!
MENCARI, MENGINOVASI cara-cara perjuangan masyarakat sejalan
dengan Kesimpulan KomnasHAM 23 Juli 2012. Seperti kata pepatah . .

. . . BERJALAN DIATAS DUA KAKI . . . .

Maka saya sependapat dengan pemikiran, seperti yang Bung Garda kemukakan:
“. . . . . sudah tiba saatnya masyarakat mengupayakan dan
menegakkan sendiri mekanisme pengungkapan kebenaran yang gagal
(unable) dan pada hakikatnya memang tidak mau (unwilling) diemban
oleh pemerintah. Namun, perlu menggalang dukungan masyrakat seluas
mungkin . . . . jangan sampai ada TUMPANG TINDIH . . . .

Yang saya kemukakan diatas, sekadar pendapat DARI LUAR . . . . Pasti
kawan-kawan yang di lapangan lebih memahaminya . . . . .

Meskipun
saya katakan PENDAPAT DARI LUAR . . . . Hakikinya kami yang ada di
luar dewasa ini, senantiasa merupakan bagian tak terpisahkan dari
kegiatan dan perjuangan di lapangan . .


* * *






No comments: