Wednesday, October 10, 2012

*Yang DIMISTERIUSKAN Dan DIREKAYASA PENGUASA Dalam SEJARAH BANGSA KITA*

*Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 04 Oktober 2012
----------------------*

*Yang DIMISTERIUSKAN Dan DIREKAYASA PENGUASA Dalam SEJARAH BANGSA KITA*

Tidak ada kasus dan kejadian yang begitu hebatnya dimisteriuskan, direkayasa dan dipalsukan -- seperti halnya kasus "*G30S"* -- termasuk sekitar "*LUBANG BUAYA*."

"G30S" -- lebih fokus lagi sekitar "LUBANG BUAYA", merupakan kasus-kasus yang sampai detik ini masih diliputi kabut misteri bagi pencatatan, studi dan pengarsipan sejarah Indonesia.

Pembohongan, pemalsuan dan rekayasa sekitar "G30S" dan Lubang b|uaya, memang sengaja diregisir demikian rupa, karena itu dijadikan awal dalih dan "alasan" dilancarkannya kampanya pembasmian dan pemusnahan kekuataan politik Kiri, khususnya PKI dan semua yang dianggap PKI serta yang bersimpati atau mendukung PKI, termasuk Presiden Sukarno.



Salah satu kepalsuan sejarah, diungkap oleh sejarawan, pemeliti senior LIPI, Dr Aswi Warman Adam. Apa yang disebarluaskan oleh penguaa militer sebagai "malam jahanam" (ungkapan Taufik Abdullah), dimana dikarang cerita *diorama di Lubang Buaya menyangkut perempuan dari organisasi Gerwani yang melakukan pesta seks bebas, dan menarikan tari seksual yang dikenalkan sebagai 'tari harum bunga'; -- Peristiwa itu tidak pernah terjadi, tulis Aswi.*



** * **



Namun fihak militer, TNI-Angkatan Darat tidak pernah bersikap jantan mengakui kebohoongan itu. Karena memang kehobongan itulah yang menjadi awal mula dan legitimasi PENGEJARAN dan PEMBASMIAN terhadap Gerwani dan PKI.



Tuisan yang disiarkan di ruangan ini, "*Sepuluh kontroversi Lubang Buaya", *merupakan salah satu dari bnyak sumbangsih sejarawan Dr Aswi Warman Adam, dalam usaha penjernihan dan pelurusan pencatatan dan pengarsipan serta studi sejarah bangsa kita.



*DJAS MERAH, kata Bung Karno. JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH!*



Jangan sekali-kali melupakan kepalsuan dan kebohongan yang disebarkan Jendral Suharto untuk memuilai kampanye pembantaian dan pemusnahan terhadap golongan Kiri dan selanjutnya*MENGGULINGKAN PRESIDEN SUKARNO, sebagai tujuan akhirnya.
*

** * **



Dr. Aswi Warman Adam

Sejarawan LIPI

-----------------------------

*Sepuluh kontroversi Lubang Buaya*


            Senin,  1 Oktober 2012 - 15:21 WIB

*Entah*di tempat itu dulunya terdapat kubangan hewan, daerah yang dinamakan Lubang Buaya itu secara berkala menimbulkan kontroversi sejarah sejak setengah abad lalu yang tidak pernah dijernihkan.

Di situ dibangun Monumen Pancasila Sakti, dan setiap 1 Oktober sejak 1966 diperingati Hari Kesaktian Pancasila. Acara itu diadakan untuk mengenang enam jenderal, dan seorang perwira yang meninggal dan dibuang dalam sebuah sumur di kebun karet yang ada di sana.

Peringatan itu tidak ada hubungannya dengan Pancasila sebagai dasar, dan falsafah negara Indonesia. Bila makna kata 'sakti' terkait dengan kekebalan, dan kehebatan fisik seorang pendekar, tidak tepat bila Pancasila disebut sakti.

Kita menjunjung dan mengamalkan Pancasila, tetapi bukan mengeramatkannya. Jadi lebih masuk akal misalnya Hari Kesaktian Pancasila itu dinamakan Hari Berkabung Nasional.

Kontroversi kedua, menyangkut penyamaan Lubang Buaya dengan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah. Kuburan para jenderal itu berada di luar areal Pangkalan AURI.

Oleh sebab itu, Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI) berang ketika Halim disebut sebagai 'sarang G30S' sebagaimana antara lain tergambar dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang wajib diputar semasa Orde Baru setiap malam menjelang 1 Oktober.

Film dengan biaya sangat besar tersebut (waktu itu) menjadi kontroversi ketiga, sebagai film yang paling banyak ditonton ratusan juta rakyat Indonesia.

Sejak 1998 film itu tidak lagi wajib tayang. Marsekal Saleh Basarah mewakili PP AURI mengaku bahwa beliau menelepon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono, serta Menteri Penerangan Junus Yosfiah meminta agar film itu tidak disiarkan lagi.

Kontroversi keempat tentang diorama di Lubang Buaya menyangkut perempuan dari organisasi Gerwani yang melakukan pesta seks bebas, dan menarikan tari seksual yang dikenalkan sebagai 'tari harum bunga'.

Peristiwa itu tidak pernah terjadi. Juga, ini kontroversi kelima, tidak ada kemaluan para jenderal yang disilet serta mata mereka yang dicungkil di Lubang Buaya seperti diberitakan pers militer selepas 1 Oktober 1965.

Visum et repertum yang dibuat dokter forensik membuktikan bahwa semuanya itu tidak benar. Kontroversi keenam adalah pertentangan keterangan yang diberikan petugas polisi Sukitman dengan ajudan Presiden Maulwi Saelan mengenai proses pencarian, dan penemuan jenazah di Lubang Buaya.

Hal berikutnya yang menjadi kontroversial adalah penyebutan 'pahlawan revolusi' terhadap enam jenderal, seorang perwira muda, dan seorang polisi di Jakarta, serta dua perwira menengah di Yogyakarta.

Saat itu tidak terjadi revolusi kecuali upaya percobaan kudeta yang gagal. Sepuluh tokoh militer/polisi itu tidaklah melakukan revolusi, bahkan mereka gugur tidak dalam peperangan. Jadi lebih tepat mereka diangkat sebagai 'pahlawan nasional' bukan 'pahlawan revolusi'.

Pada era Orde Baru setiap 30 September dinaikkan bendera Merah Putih setengah tiang, dan tanggal 1 Oktober satu tiang penuh. Maksudnya, penaikan bendera setengah tiang sebagai berkabung atas gugurnya para jenderal, dan satu tiang penuh untuk Hari Kesaktian Pancasila.

Dewasa ini, hampir tidak ada yang menaikkan bendera kecuali pada instansi militer. Ini menjadi kontroversi kedelapan, keenam jenderal itu meninggal dini hari 1 Oktober, oleh sebab itu bendera setengah tiang lebih tepat dikibarkan 1 Oktober, bukan 30 September.

Kontroversi kesembilan, menyangkut pemakaian istilah 'malam jahanam' untuk malam ketika terjadi pembunuhan terhadap para jenderal tersebut, seperti yang digunakan Prof Taufik Abdullah. Istilah yang berasal dari drama karya Motinggo Busye itu memang puitis sekaligus sadis.

Tapi persoalannya, 'malam jahanam' itu tidak hanya semalam, yakni pada malam tanggal 30 September 1965 saja, tetapi juga pada '1.001 malam' berikutnya, ketika terjadi pembantaian terhadap sekitar 500.000 orang pasca-G30S.

Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, sebagai judul sebuah buku, istilah itu diganti dengan 'malam bencana'. Kontroversi ke-10 mengenai apakah presiden, dan seluruh ketua lembaga tinggi negara wajib hadir dalam upacara peringatan yang diadakan di Lubang Buaya setiap 1 Oktober.

Pada 17 September 1966, Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat mengeluarkan surat keputusan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang harus diperingati seluruh slagorde Angkatan Darat.

Pada 24 September 1966 Panglima Angkatan Kepolisian mengusulkan peringatan itu oleh seluruh Angkatan Bersenjata. Pada 29 September 1966 Jenderal Soeharto selaku menteri utama bidang pertahanan keamanan memutuskan peringatan itu oleh seluruh slagorde Angkatan Bersenjata.

Peringatan itu tidak wajib di Lubang Buaya, bisa juga di Istana Negara atau lebih tepat lagi di Taman Pahlawan Kalibata, karena delapan jenazah pahlawan revolusi itu disemayamkan di sana. *(*)*


*Koran SINDO*-




No comments: