Monday, April 28, 2014

B e r t e m u l a g i d e n g a n PRAMUDYA ANANTA TOER

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 28 April 2014
---------------------------

Sahabatku Ariel Haryanto, mengingatkan, bahwa lusa, 30 April tepat sewindu meninggalnya PRAMUDYA ANANTA TOER. Ia lahir di Blora, 08 Februari, 1925 – meninggal 30 April, 2006, di Bogor.

Tulisan di bawah ini dimaksudkan sebagai KENANG-KENANGAN TAK TERLUPAKAN PADA PRAMUDYA ANANTA TOER

* * *

B e r t e m u   l a g i   d e n g a n
PRAMUDYA ANANTA TOER

* * *

I.
Sejak dilangsungkannya Sidang Biro Pengarang Asia-Afrika di Den Pasar, tahun 1963, baru 36 tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Juni 1999 y.l, saya jumpa lagi dengan Pramudya Ananta Toer di Schiphol, Amsterdam. Ia datang dari perlawatannya ke Amerika dan Canada.Ia berkunjung ke Belanda bersama istrinya Maimunah dan Ucup . Pada hari itu, puluhan kawan-kawan Indonesia yang ada di Belanda, termasuk teman-teman Belanda, datang menjemput. Beberapa teman ada yang membawa poster besar bertuliskan :'Selamat Datang'. Ucup sangat terkesan dengan sambutan yang hangat itu: " Luar biasa", katanya pada saya.

Sedangkan saya sendiri, yang ikut menyambut Pramudya c.s. , karena keterlambatan dari Singapore Airline yang mereka tumpangi, sudah merasa tidak sabaran lagi. Kok, lama sekali mereka tidak muncul-muncul. Begitu mereka muncul dari pintu duane, saya sungguh amat gembira bercampur heran, melihat Pram begitu sehat tampaknya. Tapi kemudian kesan ini tidak lengkap. Sebab, menurut pemeriksaan dr. MayLie Siaw yang oleh panitia penyambutan di Holland diminta untuk memperhatikan kesehatan Pram, Pramudya dan juga Ucup betul-betul harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan kesehatan mereka. Mereka sudah tidak muda lagi. Saya yakin di Jerman dan Paris nanti, kawan-kawan di sana juga akan sangat memperhatikan kesehatan Pram dan rombongannya. Tokoh Pramudya Ananta Toer, sudah menjadi aset nasional berharga yang amat langka. Maka, kesehatannya perlu dijaga baik-baik.

Ben Anderson, tokoh ilmuwan Amerika, pakar tentang Indonesia, dalam salah satu wawancaranya belum begitu lama, ketika ditanyakan wartawan siapa tokoh Indonesia yang bisa dikatagorikan pahlawan, mengatakan bahwa dia tidak gampang menilai siapa pahlawan di Indonesia. Tetapi Ben mengagumi tiga tokoh yang punya karakter, punya moralitas, punya integritas. Ketiga orang itu, menurut Ben Anderson, pertama adalah Pram, lalu Soe Hok Gie, dan Mr Yap Thiam Hien. Ben bilang Pram adalah orang yang tidak pernah tunduk pada penindasnya.. Dengan segala penderitaannya Pram toh bisa menciptakan karya sastra yang luar biasa. Ben selanjutnya menandaskan bahwa ia juga angkat topi kepada temannya yang sudah lama meninggal, Soe Hok Gie. Yang walaupun aktif melawan PKI, tetapi pada waktu pembantaian masal, penangkapan dan pengiriman ke Buru, dia satu-satunya orang yang pada waktu itu berani mengatakan di pers bahwa ini salah. Dia satu-satunya orang yang menyatakan begitu pada tahun 60-an. Yang ketiga, tentunya almarhum Pak Yap. Dia bersedia membela orang-orang yang sudah pasti akan dihukum mati. Yang notabene adalah lawan politiknya. Tapi dia berusaha keras membela mereka sebaik mungkin. Walaupun karena itu dia sendiri tentu rugi. Karena jadi dibenci oleh penguasa. Demikian Ben Anderson.

Uraian Ben, teristimewa mengenai Pram, itu benar sekali. Memang, begitulah saya mengenal Pram sejak dulu .

Ketika kami omong-omong sebentar di ruangan istirahat di Rode Hoed pada tanggal 6 Juni 1999 , Pram masih ingat betul peristiwa di Bandung pada akhir tahun limapuluhan, ketika diadakan Musyawarah Nasional Untuk Perdamaian. Disitu hadir pula wakil dari World Peace Council (Wina, Austria), seorang penulis berbangsa Irak.. Pimpinan Munas Untuk Perdamaian minta kepada saya, yang waktu itu kebetulan duduk di Komite Perdamaian Indonesia Pusat, untuk mendiskusikan dengan Pram, yang hadir dalam Munas sebagai salah seorang utusan, bagaimana kita bersama melanggengkan dan mensukseskan jalannya Munas. Ketika Pram memperlihatkan pidato yang akan dibacakannya, memang di dalam teks pidatonya itu, ada bagian-bagian yang mengkritik keras fihak militer ketika itu. Memang, waktu itu tentara sudah lama bertindak otoriter dan opresif terhadap rakyat. Tentara (Angkatan Darat) menggunakan kedudukannya sebagai penguasa SOB (Staat van Oorlog en Beleg, UU Darurat Perang), untuk main kuasa, main tangkap, main berangus, dsb. Kritik Pram terhadap fihak militer itu sepenuhnya benar. Tetapi pinpinan Munas minta pertimbangan Pram, bagaimana caranya agar bagian-bagian yang bersangkutan dari pidatonya itu jangan sampai bisa digunakan sebagai dalih oleh fihak tentara untuk mengganggu bahkan menghentikan samasekali sidang. Tetapi Pramudya keras bertahan untuk tetap menyatakan dimuka forum Munas Perdamaian, kritiknya terhadap tentara yang sewenang-wenang.

Betul saja, seusai Pram berpidato, tentara mancarinya dan kalau tidak salah sesudah diinterogasi, Pram ditahan. Terhadap fihak militer Pram tetap mempertahankan pendiriannya, tetap mengkritik tentara. Saya lupa berapa lama tentara menahan Pram ketika itu. Peristiwa yang saya alami
sendiri itu, membenarkan observasi Ben Anderson bahwa Pram memang orang tidak pernah mau tunduk terhadap penindasan.

II.
Kunjungan Pram ke Holland, akan disusul kemudian ke Jerman dan Paris, dipenuhi oleh acara yang padat sekali.Saya khawatir, mungkin tidak ada waktu lagi bagi saya untuk dengan leluasa ngomong-ngomong dengan Pram. Saya merasa ingin sekali bertukar fikiran dengan Pram. Ketika pada tanggal 6 Juni dilangsungkan pertemuan di Rode Hoed, Keizersgracht 102, Amsterdam, yang diselenggarakan oleh Komite Penyambutan Pramudya di Holland, dengan mengundang sampai tiga ratus lebih tamu, saya hnya ada sedikit kesempatan, barangkali hanya beberapa menit, bicara dengan Pram. Dalam dialog kami itu , Pram juga menekankan tentang keharusan untuk bisa mendengar orang yang punya pendapat berbeda dengan kita. Sampai disitu saja pembicaraan kami, karena pertemuan segera dimulai lagi.

Dalam pertemuan tanggal 6 Juni itu, saya tidak ada kesempatan untuk ambil bagian dalam diskusi mengenai pembicaraan Pramudya.. Mengingat dari publik begitu banyaknya yang ingin bicara dalam diskusi.

Pembicaraan Pram pada hari itu, yang amat menjadi perhatian saya ialah kepedulian Pram yang amat besar terhadap masalah "nation-building". Pram menandaskan betapa pentingnya nasion Indonesia meninjau kembali, mengadakan pengkoreksian, melakukan pelurusan terhadap budaya dan sejarahnya sendiri. Karena selama lebih dari 30 tahun, Orba telah melakukan pembohongan dan pemalsuan sejarah yang paling besar dalam kehidupan Republik Indonesia. Pengkoreksian terhadap kebohongan sejarah itu belum pernah dilakukan hingga saat ini. Hanyalah atas dasar pelurusan sejarah dan pengkoreksian atas kebohongan-kebohongan Orba, bisa dilakukan penulisan sejarah yang benar, atas dasar mana dilanjutkan usaha "nation building" dengan dasar yang sehat.

Masalah lainnya yang dikemukakan Pram, yang bagi saya merupakan hal baru, ialah tentang sifat Indonesia sebagai negeri maritiem. Bila Indonesia diurus sebagai suatu negara maritiem sebagaimana seharusnya, maka akan terhindarlah Indonesia dari ulahnya angkatan darat yang menjadi penguasa tunggal itu. Kan aneh, kata Pram, masa negeri maritiem diurus oleh angkatan darat. Sebagai negara maritiem , seyogianya diatur sesuai dengan sifatnya sebagai negeri maritiem. Maka lautan akan memainkan perannya sebagai penghubung dan pemersatu diantara pelbagai
bangsa dari nasion Indonesia. Karena negara maritiem diurus oleh angkatan darat, maka lautan telah berfungsi sebagai pemisah dan rintangan untuk persatuan dari pelbagai pulau dan bangsa di Indonesia.

Mengenai masalah bangsa, Pram mengajukan stelling bahwa adalah lebih tepat mengatakan bahwa Indonesia adalah suatu nasion, dan bukan suatu bangsa. Ini juga baru bagi saya. Ini mungkin cara berfikir yang bisa membantu untuk memahami apa itu nasion Indonesia, agar bisa memberikan sumbangan masing-masing dalam usaha 'nation building'.Yang namanya bangsa itu, menurut Pram, adalah Jawa, Sunda, Bugis, Minang, Aceh, Batak, Minahasa, Ambon, dll. Kesatuan dan keutuhan dari bangsa-bangsa di Indonesia, itulah namanya nasion Indonesia. Nasion Indonesia adalah suatu nasion yang "Bhinneka Tunggal Eka", berbeda-beda tetapi satu. "Unity in Diversity".

Salah satu stelling Pram: Proses "nation building" Indonesia belum selesai. Dalam hal ini Bung Karno adalah pemimpin pertama Indonesia, yang paling memberikan perhatian besar pada masalah ini. Memang, Saya ingat betul betapa Bung Karno, selama tiga tahun lebih, ketika Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang, menggunakan semaksimal mungkin kesempatan yang ada padanya, untuk melakukan pendidikan politik pada rakyat Indonesia dalam rangka usaha 'nation-building' itu. Bung Karno telah meriskir dituduh 'kolaborator fasis Jepang', demi memperoleh konsesi politik dari Jepang, untuk menggembleng rakyat Indonesia mengenai pentingnya berbangsa, bernegara dan melakukan pembagnunan nasion Indonesia. Beliau melakukan perjalanan keliling sampai ke pelosok tanah air untuk memenuhi misinya sebagai "nation-builder".Sejak proklamasi kemerdekaan Bung Karno sebagai Presiden RI, tidak mengendorkan, tetapi bahkan mempergiat usaha "nation building" itu. Setiap kesempatan beliau gunakan untuk mendidik seluruh bangsa Indonesia ke tujuan tsb.

Lalu dalam pembicaraannya itu, Pram menekankan berulangkali, tentang arti penting dan keharusan adanya k e b e r a n i a n bagi setiap orang yang bercita-cita keadilan.. Bila tidak ada keberanian, maka akan sama saja dengan ternak, dan akan diperlakukan sebagai hewan, kata Pram. Keberanian perlu ditanamkan dalam diri setiap pencinta kemerdekaan dan demokrasi. Tanpa keberanian berjuang, cita-cita itu hanya tinggal harapan kosong belaka. Tentu, saya fikir, bukan saja harus berani, tetapi juga harus pandai berjuang. Hal itu merupakan kearifan pejuang-pejuang kemajuan pada masa lampau, yang telah terbukti keunggulannya.

Namun, ada beberapa hal yang dikemukakan Pram dalam pertemuan itu yang memerlukan pemikiran lebih mendalam.

Pertama mengenai pemilu kali ini. Pram sangat skeptis. Karena aparat yang melaksanakannya adalah birokrasi Orba yang lama itu. Sepintas lalu bisa saja dikatakan demikian. Sesudah jatuhnya Suharto yang disebabkan oleh menggeloranya gerakan reformasi dengan mahasiswa di barisan pendobraknya, seyogianya bisa dilihat dan dialami sendiri, bahwa ada perubahan tertentu dalam situasi politik Indonesia. Sementara kebebasan demokratik, yaitu kebebasan menyatakan pendapat, dicabutnya kekangan terhadap media cetak dan elektronik, kebebasan berorganisasi sampai
membangun partai politik sudah merupakan kenyataan kongkrit. Dalam pemilu kali ini 48 parpol ambil bagian, termasuk partai yang paling kiri dan progresif, PRD. Birokrasi Orba masih ada peranan dalam pemilu, tetapi lebih besar lagi adalah peranan parpol, LSM, KIPP dengan 300.000 aktivis dan sukarelawan, beserta ratusan pemantau dari masyarakat internasional. Ini adalah perbedaan yang nyata dibandingkan dengan pemilu-pemilu rekayasa zaman jaya-jayanya Orba. Rakyat juga antusias ambil bagian dengan aktif. Antara lain dengan dibentuknya posko-posko. Ini adalah suatu kemajuan yang perlu dinilai dengan tepat, disambut dan dikembangkan lebih lanjut. Ini bukan gejala yang membikin orang jadi skeptis. Bila jutaan massa rakyat ambil bagian dalam suatu kegiatan politik di mana terdapat sedikit banyak kebebasan demokratis, maka itu adalah suatu pertanda yang positif ke arah kemajuan.Untuk mencapai
pemilu yang sungguh-sungguh 'luber' dan 'jurdil' diperlukan adanya perjuangan lebih lanjut dan adanya kepercayaan pada massa rakyat yang luas, dan juga diperlukan optimisme.

Kedua, mengenai partai-partai yang tergolong kekuatan reformasi yang ambil bagian dalam pemilu. Memang, jika diukur dari kehendak subyektif yang mengharapkan situasi sudah jauh berubah , parpol-parpol yang ada yang digolongkan kekuatan reformasi itu, seperti PDI Perjuangan, PKB, PAN, PUDI, PRD dan mungkin masih ada lagi, dari segi tujuan dan program
politik, kwalitas pimpinan dan kader-kadernya maupun jumlah, belum ideal. Tetapi, biar bagaimanapun mereka adalah kekuatan yang punya potensi untuk mencegah kembalinya rezim Orba yang lama. Pemerintah yang sekarang ini, memang masih ORBA yang lama dengan tambal sulam di sana sini.. Tetapi bila kekuatan reformasi seperti yang disebut diatas, bisa
mencapai keunggulan atas Golkar dan kekuatan "Statusquo", jika mereka bisa bersatu dan kerjasama, termasuk mengadakan aliansi dan koalisi; maka tidaklah salah mengharapkan adanya pemerintahan yang lebih baik bagi Indonesia sesudah pemilu. Suatu pemerintah yang lebih demokratis, lebih transparan, lebih bersih. Dengan demikian peluang bagi kekuatan
yang betul-betul demokratis dan progresif, untuk lebih berkembang dan mengkonsolidasi diri menjadi lebih besar.

Dalam hal bersatu melawan kekuatan "Statusquo" dan retrogres, adalah arif berpedoman pada stelling, 'memperkecil sasaran sekecil mungkin , dan, memperbesar seluas mungkin kekuatan yang bisa dipersatukan'.

Ketiga, mengenai golongan cendekiawan dan angakatan muda. Pramudya mengkonstatasi, tidak ada satupun dari kaum intelektuil Indonesia yang berani tampil untuk memprotes rezim Suharto ketika terjadi pembantian massal pada tahun-tahun 1965-1966 dst, juga dalam peristiwa Tg Periok, Lampung, Aceh, Timor dll, dimana Orba dengan sewenang-wenang melakukan opresi dan pembunuhan masal terhadap rakyat sendiri. Seluruh kaum intelektuil Indonesia ketika itu 'tiarap' demi untuk kelangsungan hidupnya. Mereka menjadi kaum 'yes-man' , menjadi tawanan dari budaya 'panutan'.

Kemudian, sesudah ada reaksi publik dalam pertemuan itu, Pram mengubah sedikit stellingnya dengan mengatakan, kalaupun ada intelektuil yang berani, itu pengecualian, seperti Mokhtar Pakpahan.

Tanggapan saya ialah bahwa di mana saja di dunia ini, di dalam perjuangan revolusioner untuk kemerdekaan dan kebebasan , ataupun dalam perjuangan reformasi, demokrasi, dan hak-hak azasi menusia, kenyataannya sudah menjadi hukum, bahwa yang berani itu jumlahnya sedikit saja, minoritas. Yang banyak adalah yang ada ditengah-tengah. Yang reaksioner dan kepala batu, yang ngotot mempertahankan "Statusquo" itu juga adalah minoritet. Yang berani yang jumlahnya sedikit itu, jika ulet dan pandai berjuang serta pandai bersatu dengan kekuatan yang patut
dipersatukan, dalam proses berangsur-angsurbertambah besar jumlah dan kekuatannya, sehingga akhirnya mengungguli kekuatan "Statusquo".

Di Indonesia ketika dilancarkannya pembantaian dan mau berlawan, yang mau menyatakan protesnya, sesungguhnya tidak sedikit. Tetapi mereka keburu dipenjarakan atau dibunuh. Teror rezim Suharto begitu ganas dan meluasnya sehingga mereka terpaksa menempuh
cara yang subtil dalam melakukan perjuangannya.

Yang akhirnya sempat menghindarkan diri dari pengejaran, pergi keluar negeri juga tidak tinggal diam, seperti Prof. Ernst Utrecht alamarhum, Siauw Giok Tjhan mantan menteri penerangan dalam kabinet zaman Revolusi Agustus, juga mantan Ketua Baperki; drs Go Gien Tjwan, mantan direktur Kantor Berita Nasional Antara, dll. Tidak sedikit yang kebetulan sedang di luarnegeri, dan tidak bisa pulang, tidak henti-hentinya melakukan kegiatan kontra propaganda melawan rezim Suharto dengan menggunakan berbagai organisasi dan forum iternasional. Dalam bulan Januari 1966, ketika sedang gencar-gencarnya Suharto membantai rakyat Indonesia, sebuah Delegasi Indonesia dalam Konferensi Trikontinental di Havana, setelah berhasil menyingkirkan "delegasi" kiriman dari Jakarta, yang dikuasai oleh militer, telah tampil di forum internasional tsb, dimuka
ratusan utusan dari Asia, Afrika dan Amerika Latin, menyatakan protes sekeras-kerasnya terhadap pembantaian massal yang dilakukan rezim Suharto-Nasution terhadap rakyat Indonesia, sekaligus Delegasi Indonesia menyerukan bantuan solidaritet internasional untuk rakyat Indonesia. Konferensi Trikontinental di Havana selanjutnya telah mengambil sebuah resolusi mengenai Indonesia yang mengutuk rezim Suharto dan menyerukan solidaritas rakyat sedunia terhadap perjuangan rakyat Indonesia .

Di dalam Delegasi Indonesia di Havana itu, terdapat sejumlah intlektuil yang patriotik dan mau serta berani berjuang demi keadilan.. Antara lain, Wiyanto SH, wakil Indonesia di Sekretariat Juris AA di Conakry, Guinea, yang datang bersama anggota Sekretaariat Juris AA lainnya, Fadiala Keita, Jaksa Agung Republik Guinea. Semua anggota Delegasi Indonesia di Konferensi Trikontinental dicabut paspornya, termasuk Wiyanto SH. Ketua Delegasi Indonesia ke Konferensi Trikontinental dicap oleh pemerintah Indonesia sebagai "pengkhianat bangsa". Ketika Wiyanto kembali ke posnya di Conakry sudah ditunggu oleh Dubes Indonesia di Guinea untuk dicabut paspornya. Halmana ditolak keras oleh Wiyanto dan fihak pemerintah Guinea.

Karena Sekretariat Juris AA senantiasa mengambil sikap yang tegas mengutuk rezim fasis Suharto dan pembantaian yang dilancarkannya, maka Suharto telah memerintahkan KBRI, untuk mengusahakan digesernya Wiyanto dari Sekretariat Juris AA dan menggantikannya dengan seorang Sekretaris KBRI, Hasyim Jalal. Tapi usaha itu gagal.

Sejumlah intelektuil Indonesia lainnya, yang kebetulan ada di luarnegeridan tidak bisa kembali, telah menerbitkan majalah berbahasa Inggris sperti a.l. "Indonesian Tribune" , "OISRAA Bulletin", dan yang berbahasa Indonesia:"Suara Rakyat Indonesia" Semua publikasi itu selama bertahun-tahun sejak berdirinya Orba telah menerbitkan tulisan-tulisan yang melawan tindakan-tindakan fasis dan pelanggaran hak-hak manusia Indonesia dari Orba.; serta menyerukan solidaritas internasional bagi
rakyat Indonesia. Kaum intelektuil ini melakukan perlawanan terhdap rezim Suharto menurut situasi dan keadaan mereka masing-masing, tapi mereka tetap melakukan perlawanan yang terus menerus.

Di atas tadi sudah dikutip penilaian Ben Anderson terhadap Pram sendiri, sebagai intelektuil, dan kepada intelektuil Soe Hok Gie dan Mr Yap Thiam Hien.Selanjutnya kita juga mengenal nama-nama seperti Budiman Sudjatmiko, Buyung Nasution, Arief Budiman, Gunawan Muhamad, G.J. Aditjondro, Bintang Pamungkas, dll. Mereka semuanya adalah intelektuil Indonesia. Ada dari mereka itu , yang semula bersama Orba, seperti Buyung Nasution dan Arief Budiman, kemudian menyadari adalah salah menyokong Orba, lalu membanting setir melakukan perlawanan terhadap Orba. Intelektuil seperti itu juga merupakan kekuatan demokratis yang perlu dipersatukan. Kesedaran itu mereka peroleh melalui praktek itu sendiri. Sebagaimana halnya banyak pejuang yang memperoleh kesadaran baru melalui praktek perjuangan itu sendiri.

Jadi, bukan tidak ada intelektuil Indonesia yang berani melakukan perjuangan. Bukanlah semuanya 'tiarap'. Kenyataan menunjukkan bahwa kekuatan pendobrak yang mendongkel Suharto sampai terguling dari kursi kepresidennya adalah kaum mahasiswa (tergolong intelektuil) dan intelktuil muda lainnya yang bermarkas di universitas-universitas di seluruh Indonesia. Maka seyogianya kita berpandangan optimis dan positif terhadap kaum intelektuil Indonesia, maksudnya di sini adalah intelektuil muda dan juga intetektuil yang lebih tua. Dalam perlawanan itu, mereka, seperti lapisan masyarakat lainnya, juga mengalami jatuh bangunnya perjuangan.

Demikianlah sedikit kesan dan tanggapan terhadap pembicaraan menarik dan berharga oleh Pramudya Ananta Toer, novelis Indonesia paling besar dewasa ini, dan yang berpandangan luas dan progresif. Pembicaraan Pramudya Ananta Toer pada hari tanggal 6 Juni itu, telah membuka fikiran yang lebih luas, serta telah juga memberikan inspirasi dan dorongan kepada pendengarnya, khususnya pada generasi muda.

Banyak-banyak terima kasih Pram!


* * *


--

---
Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "Jaringan Kerja Indonesia" di Google Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke jaringan-kerja-indonesia+unsubscribe@googlegroups.com.
Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

No comments: