Saturday, April 26, 2014

IDENTITAS Untuk KEBANGKITAN --

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 25 April 2014
------------------------------

IDENTITAS Untuk KEBANGKITAN

* * *

Selasa lalu, aku berkenalan dan menjalin persahabatan dengan kawan baru, seorang wartawan fotografer LKBN Antara, Rosa Pangabean. Ia hendak membuat foto-foto sekitar para EKSIL Indonesia di sini. Apa saja kegiatan sehari-hari mereka, dsb. Publikasi seperti itu memang belum ada. Ia bertanya apakah aku bersedia membantunya dalam hal tsb.
Aku bilang: Setuju!

Kufikir --- Sekaligus memanfaatkan kesempatan cakap-cakap dengan wartawan yang langsung dari Indonesia ini, untuk menjelaskan apa saja kegiatan 'sehari-hari' para eksil Indonesia di Eropah.

Kataku: Yang jelas mereka itu, meski banyak yang sudah berkewarganegaraan asing, boleh dibilang umumnya, adalah orang-orang INDONESIA yang CINTA TANAH DAN BANGSANYA. Kami amat peduli dengan situasi, nasib dan perkembangan bangsa dan tanah air, jelasku. Dan melakukan bermacam kegiatan pribadi maupun dalam rangka organisasi, memberikan apa yang bisa disumbangkan menurut kemampuan masing-msing demi Tanah Air dan Bangsa.

* * *

CAS OORTHUYS <1908 1975="">
Yang hendak kututurkan berikut ini, ialah, sedikit sekitar 'oleh-oleh' buku yang diberikan Rosa Pangabean kepadaku berjudul “IDENTITAS Untuk KEBANGKITAN” < Penerbitan LKBN Antara-Ipphos dan wartawan fotografer Belanda Cas Oorthuys (1945-1950).

Buku foto-foto berhalaman 92 tsb, segera menarik perhatianku. Foto pada sampul muka buku membawa aku pada kenang-kenangan dulu ketika aku sekolah lagi di TAMAN SISWA, Jalan Garuda 25, Kemayoran-Jakarta --- (Setelah berlakunya Persetujuan Linggardjati antara Indonesia dan Belanda, Maret 1947).

Dan yang lebih lagi menarik dan merupakan 'surprise' menyenangkan ialah: Aku tahu persis siapa yang membikin foto yang jadi 'front-cover' buku 'Identitas Untuk Kebangkitan'. Foto yang menghias coper buku menunjukkan seorang murid sekolah Taman Siswa, dengn muka riang gembira dan memandang kedepan, membawa peta Indonesia yang besar setengah tergulung.

Dalam kata pengantarnya untuk buku tsb, historikus peneliti senior LIPI Asvi Warman Adam, mengomentari foto murid sekolah itu , menulis bahwa foto itu rmenampakkan .

Wajah yang polos, riang dan bersemangat seolah mewakili mereka yang sudah punya identitas baru sebagai manusia yang merdeka . .. “

* * *

Yang membuat foto itu, ---- adalah seorang wartawan fotografer Belanda, CAS OORTHUYS. Seorang wartawan yang pernah aktif dalam perjuangan di bawah tanah di Belanda, selama pendudukan tentara Jerman Hitler.

Dalam tahun 1947, dua bulan lamanya ia berkunjung ke Indonesia dengan pendirian PRO REPUBLIK INDONESIA. Aku tidak ingat, kunjungannya ke sekolah kami itu, apakah atas saran orang lain, ataukah karena Cas Oorthuys tahu bahwa, - Sekolah Taman Siswa di Kemayoran itu, adalah salah satu 'tumpuan' kami-kami kaum Republiken (RI), di daerah pendudukan Belanda di Jakarta.

Walhasil, -- aku masih ingat betul, Cass Oorthuys pada suatu hari berkunjung ke sekolah kami TAMAN SISWA. Kutanyakan kepada Pak Said, kepala sekolah kami. Siapa Belanda yang motret-motret murid-murid, guru dan sekolah kita. Jawab Pak Said dengan antusias: ”Dia wartawan potret Belanda YANG BAIK. Yang bersimpati dengan perjuangan kemerdekaan kita.

Kembali ke Belanda Cas Oorthuys menerbitkan buku foto EEN STAAT IN WORDING, A State in the making -- “Tumbuhnya Sebuah Negara”.

Sikap dan pendirian Cas Oorthuys tidak aneh,. Ia anggota partai Komunis Belanda , CPN, Communistische Partij Nederland. Politik CPN tegas menyokong perjuangan kemerdekaan Indonesia. Yang menyolok, ialah bahwa yang bertanggungjawb atas penerbitan buku “Identitas Untuk Kebangkitan”, tidak menyebutnya samasekali, bahwa Cas Oorthuys adalah anggota partai Komunis Belnda. . . . . Bahkan di dalam buku itu dinyatakan bahwa Cas Oorthuys adalah seorang Sosialis. Enak saja memulas sejarah! Di Belanda ketika itu, belum ada partai sosialis. Yang ada partai sosial demokrat, partai katolik , partai Komunis, CPN – Communisische Partij Nederland, dll. Partai Sosialis Nederland baru berdiri tahun 1972, sebagai pecahan dari KPMNL

Main sulap dengan fakta-fakta sejarah! Mungkin hal itu bisa dimengerti jugalah. Meskipun sudah sepuluh tahun Orde Baru tumbang dan Indonesia memasuki periode Reformasi dan Demokratisasi (2008) ketika buku itu terbit banyak orang, teristimewa kalangan penguasa dan para pendukung rezim Orde Baru, masih kejangkitan penyakit 'lupa sejarah'. Lebih parah lagi, masih berusaha memulas fakta sejarah.

* * *

Selain sambutan dari Menteri Komunikasi dan Informatika RI ketika itu, Mohammad Nuh, Kepala Informasi Publik Dep. Komunikasi dan Informatika RI, Suprawoto, -- Dirut Kantor Berita Antara,Ahmad Mukhlis Yusuf, terdapat pengantar/sambutan oleh ASVI WARMAN ADAM. Sangat menarik membaca pengantar yang ditulis oleh historikus Asvi Warman Adam.

Antara lain , sbb:

FOTOGRAFI KEMERDEKAAN DAN KEMERDEKAAN FOTOGRAFI

Coba bayangkan seandainya tidak ada Frans Soemarto Mendur di Pegangsaan Timur 56 Jakarta tanggal 17 Agustus 1945? Apakah proklamasi kemerdekaan Indonesia itu dapat diyakini benar-benar terjadi? Sebagai fotografer ia mengabadikan peristiwa yang teramat bersejarah bagi bangsa Indonesia dengan jumlah plat film yang terbatas. Ironinya belakangan diketahui bahwa plat film foto proklamasi itu tidak ditemukan lagi. Namun foto itulah yang diproduksi dalam buku-buku bersejarah sebagai saksi dan bukti bahw kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan.

Itu bisa dibandingkan dengan rekaman pidato Proklamasi itu sendiri yang memang tidak ada dalam peristiwa tsb. Kalau kita sekarang mendengar melalui radio atau televisi suara lantang Bung Karno, itu direkam kemudian pada tahun 1950-an., Jusuf Ronodipuro membujuk Bung Karno untuk melakukan rekaman yang pada mulanya ditolak. Prokalamasi itu hanya sekali dan tidak diulang lagi, tukas Bung Karno. Tetapi ini perlu penting bagi sejarah terutama pada generasi muda, ujar Jusuf Ronodipuro.

* * *

Asvi juga mengungkap pemelintiran fakta sejarah sekitar foto-foto yang diambil pada periode itu. Pelaku pemelintiran fakta tsb adalah pakar sejarah rezim Orde Baru, Prof Nugroho Notosusanto.

Ini a.l yang ditulis oleh Asvi:

. . . menyangkut buku Nugroho Notosusanto, “Pejuang dan Prajuirit” yang terbit tahun 1984. Dalam foto pengibaran bendera tanggal 17 Agustus 1945 wajah Sukarno tidak terlihat. Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo menuding bahwa ini pemalsuan sejarah. Apalagi dikaitkan dengan upaya desukarnoisasi yang dilakukan rezim Orde Baru.

Namun pihak penerbit Sinar Harapan mengatkan bahwa itu masalah teknis karena foto yang diberikan terlalu kecil ketika diperbesar maka wajah Bung Karno terpotong. Yang jelas dalam cetakan kedua buku itu tahun 1986, wajah Sukarno sudah ada kembali. Namun kalau diperhatikan dengan seksama, ukuran foto pada cetakan pertama dan kedua ternyata sama saja. Jadi tidak ada yang diperbesar atau diperkecil. Kalau begitu mana yang benar?”, tanya Aswi.

* * *

Yang, benar adalah bahwa sang profesor sejarah rezim Orde Baru, Nugroho Notosusanto, jelas mencoba memulas fakta sejarah – dalam hal ini ia 'mengkotak-katik' foto sejarah. Dengan tujuan 'menghapuskan' foto Bung Karno dari dokumentasi peristiwa penaikan bendera Merah Putih, pada hari Proklamsi 17 Agustus 1945.

* * *




No comments: