Kolom
IBRAHIM
ISA
Sabtu,
21 Desember 2013----------------------------------
Film “SOEKARNO”
Menuai Kritik Keras
* * *
* * *
Kesan DR SALIM SAID
“SETELAH MENONTON (Film) SUKARNO
* * *
* * *
Beberapa hari yang lalu
aku menerima kiriman dari sahabatku sejarawan Dr Hoesein Rushdy
sebuah foto. Di situ diabadikan suatu aksi unjuk rasa puluhan
pendemo di depan kantor PT Tripar Multivision, Jakarta. Mereka
memprotes
film baru tentang Sukarno yng disutsradarai oleh Hanung
Barmantyo.
Pengunjuk rasa yang
yang
beraksi atas nama “Masyarakat Pencinta Bung Karno”, menyatakan
bahwa film tsb adalah UPAYA DESOEKARNOISASI, Mereka
menuntut penghentian pemutaran film Soekarno. Menurut
mereka film
karya Hanung Bramantyo tsb banyak memotong peristiwa sejarah
perjuangan saat melawan Jepang.
Tidak sulit untuk
menyimpulkan bahwa pembutan film SOEKARNO adalah kelanjutan yang
logis dari kampanye-media tertentu di masyarakat untuk
“menghidupkan
kembali imago-buruk mantan Presiden Suharto” yang sudah
babak-belur dilanda gerakan Reformasi dan Demokratisasi --
karena
prestasinya bergelimang dengan KKN. Dan berakhir dengan Suharto
“lengser keprabon – mandek pandito” . . .
Proses itu menunjukkan
betapa bosan dan muaknya masyarakat dengan politik-ekonomi
pelelangan
kekayaan tanah air dan penjualan bangsa kepada kekuatan modal
monopoli kapitalisme global. Sesungguhnya bangkrutnya politik
rezim
Orba dan tuntutan masyarakat untuk suatu PERUBAHAN FUNDAMENTAL
dalam
politik-ekonomi Indonesia yang mengutamakan kepentingan tanah
air dan
bangsa, sudah menjadi kenyataan, realita yang pasti.
Para pembela
politik-ekonomi rezim Orba kini berusaha mengangkat kembali
imago
Suharto. Di segi lain mereka MELAKUKAN KAMPANYE MEMBURUKKAN
IMAGO
BAPAK BANGSA BUNG KARNO. Seperti yang dinyatakan oleh
“Masyarakat
Pencinta Bung Karno”, suatu “upaya DESOEKARNOISASI”.
Dalam bahasa cuaca, apa yang dilakukan para pembela Suharto dan
kekuatan anti-Sukarno ini adalah suatu ARUS SAKAL!!
MEMBALIKKAN
PERKARA . .. Yang cepat atau lembat keseluruhannya akan
dicampakkan oleh logika normal masyarakat Indonesia.
* * *
Ditiupkanlah isu-isu
bahwa
rakyat “merindukan kembalinya jaman Orba” . . Lalu dipopulerkan
celetukan -- “Lebih enak jamanku toh?' Entah berapa ratus atau
ribu “billboard” foto Suharto tersenyum . . . yang disebarkan
dan
dipasang dimana-mana. Mengiringi dan meramaikan dibangunnya
“musium
Suharto” ( 1 Maret 2013) di Godean, Kemusuk, Sleman D.I.
Yogyakarta.
Di Facebook bisa dibaca
banyak lagi kritik terhadap film karya Hanung tsb.
* * *
Mantan Dubes RI di
Praha,
DR Salim Said menyatakan di awal komentarnya bahwa “Setelah
menonton Sukarno, film terbaru Hanung Bramantyo, saya harus
dengan
sedih menyatakan kekecewaan saya”.
Tulisnya lagi: Kesan
pertama
saya setelah meninggalkan gedung pertunjukan, Hanung tidak
mempelajari dengan baik Soekarno dan dinamika perjalanan
hidupnya.
Lalu dinyatakannya terus terang bahwa karya Hanung film
Soekarno
itu, adalah “SUATU KECOROBOHAN KONYOL!!”.
Berikut ini lengkapnya
kesan Salim Said tampil dengan tulisan:
Setelah
Menonton
Sukarno
Oleh: Salim Said
Setelah menonton Sukarno, film terbaru Hanung Bramantyo, saya harus dengan sedih menyatakan kekecewaan saya. Hanung adalah salah seorang sutradara terbaik Indonesia sekarang. Filmnya ttg Kiyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) adalah satu dari beberapa film Indonesia terbaik hingga saat ini secara sinematis. Film itu dibuat dengan teliti dan dengan selera yang bagus berdasarkan skenario yang rapi dalam mengungkapkan jalannya cerita.
Ketika saya menjadi salah seorang anggota juri FFI waktu itu, saya berjuang agar karya Hanung itu mendapatkan hadiah sebagai film terbaik. Kami para juri akhirnya sepakat, tapi panitia FFI membatalkan keputusan kami.
Sebagai mantan kritikus film majalah TEMPO, saya termasuk penonton awal Sukarno sesaat setelah film produksi Raam Punjabi itu memasuki pasar. Kesan pertama saya setelah meninggalkan gedung pertunjukan, Hanung tidak mempelajari dengan baik Soekarno dan dinamika perjalanan hidupnya.
Mungkin untuk mengatasi kelemahannya dalam hal tersebut, film muncul sebagai serangkaian fragmen-fragmen perjalanan hidup Soekarno. Ini sangat berbeda dengan perjalanan hidup Ahmad Dahlan yang diceritakan secara lancar pada karya Hanung sebelumnya.
Dinamika hidup Soekarno memang lebih rumit dari hidup Kiyai Dahlan. Tapi hal demikian sudah harus diketahui Hanung sebelum memulai shooting filmnya. Seharusnya Hanung mencermati dengan saksama skenario (jika ditulis orang lain) sebelum menterjemahkannya ke layar lebar.
Akibat dari kelemahan dan kurangnya persiapan sutradara dan kelemahan skenario, yang jadi tokoh menonjol dalam film itu bukan Sukarno atau Hatta, melainkan Syahrir. Dalam bahasa orang film, Syahrir adalah protagonis dan Sukarno adalah antagonis.
Bukan cuma itu, akibat kecerobohan skenario, Sukarno tampil dalam karya Hanung itu sebagai seorang seks maniak yang bermoral rendah dan tanpa perasaan. Tidak ada digambarkan proses yang meyakinkan lahirnya keputusan Sukarno jatuh cinta dengan Fatma yang menyebabkan Inggit meninggalkan Sukarno. Perkawinan Sukarno dengan Inggit adalah cerita tentang daya tarik Sukarno yang berhasil "merebut" Inggit dari suami pertamanya, Haji Sanusi.
Dengan menggambarkan Sukarno mudah "mencampakkan" Inggit yang lebih tua untuk mendapatkan Fatma yang masih remaja, kesan yang dipancarkan oleh film karya Hanung adalah gambaran Sukarno yang sekmaniak, egois dan tidak tahu menghargai pengorbanan Inggit.
Pada bagian yang menggambarkan kelahiran Guntur (suatu penggambaran yang berlebihan dan nyaris tidak menyumbang apa-apa terhadap jalan cerita) memang ada dialog tentang Sukarno yang bahagia karena akhirnya mendapatkan keturunan setelah sebelumnya hanya punya sejumlah anak angkat. Tapi akan lebih berguna bagi jalan cerita dan watak Sukarno jika pernyataan Sukarno itu dimunculkan ketika Sukarno akhirnya mengambil Fatma yang remaja untuk menggantikan Inggit yang tidak kunjung melahirkan keturunan.
Adegan Sukarno ikut "bekerja" seperti banyak Romusha yang menderita, (di depan kamera para pemotret Kantor Propaganda Jepang) adalah kreasi Hanung yang mungkin dimaksudkan sebagai gambaran betapa menderitanya Sukarno sebagai "kaki tangan " Jepang. Tapi karena Syahrir sudah dan terus menerus digambarkan sebagai tokoh anti Jepang, maka kesan yang timbul dari adegan kerja Sukarno di tengah-tengah penderitaan para Romusha, akhirnya hanya makin menekankan Sukarno sebagai kolaborator Jepang yang menjual rakyatnya untuk menjadi kuli bagi pemerintahan militer Jepang.
Tidak kurang menarik mengamati kecerobohan sutradara dan penata busana pada adegan rapat yang melahirkan Pancasila. Pada adegan itu wakil golongan Islam bukan saja digambarkan sebagai grombolan berangasan yang berteriak-teriak memaksakan Syariat Islam sebagai dasar negara, mereka juga ditampilkan dalam pakaian yang mengingatkan saya para pekerja asal anak benua India saat mereka membersihkan Masjidil Haram di Mekkah.
Kalau saja Hanung dan penulis skenarionya membaca secara saksama sejarah persiapan kemerdekaan Indonesia menjelang takluknya Jepang, niscaya kecerobohan konyol demikian pasti bisa dihindarkan. (cetak tebal oleh I.I.)
Tentu ada kekecualian terhadap komentar saya, jika Hanung memang berpendirian bahwa Sukarno adalah seorang seksmaniak yang mencampakkan Inggit dengan dingin agar bebas memetik daun segar (Fatma) di Bengkulu. Juga kalau Hanung memang melihat Sukarno sebagai kolaborator Jepang dan Syahrir sebagai patriot.
Dan dalam soal penggambaran rokoh-tokoh Islam dan pakaian mereka yang bagaikan kuli yang membersihkan Masjidil Haram, Hanung barangkali memang punya sikap merendahkan wakil-wakil Islam dalam sidang membicarakan dasar negara waktu itu.
Oleh: Salim Said
Setelah menonton Sukarno, film terbaru Hanung Bramantyo, saya harus dengan sedih menyatakan kekecewaan saya. Hanung adalah salah seorang sutradara terbaik Indonesia sekarang. Filmnya ttg Kiyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) adalah satu dari beberapa film Indonesia terbaik hingga saat ini secara sinematis. Film itu dibuat dengan teliti dan dengan selera yang bagus berdasarkan skenario yang rapi dalam mengungkapkan jalannya cerita.
Ketika saya menjadi salah seorang anggota juri FFI waktu itu, saya berjuang agar karya Hanung itu mendapatkan hadiah sebagai film terbaik. Kami para juri akhirnya sepakat, tapi panitia FFI membatalkan keputusan kami.
Sebagai mantan kritikus film majalah TEMPO, saya termasuk penonton awal Sukarno sesaat setelah film produksi Raam Punjabi itu memasuki pasar. Kesan pertama saya setelah meninggalkan gedung pertunjukan, Hanung tidak mempelajari dengan baik Soekarno dan dinamika perjalanan hidupnya.
Mungkin untuk mengatasi kelemahannya dalam hal tersebut, film muncul sebagai serangkaian fragmen-fragmen perjalanan hidup Soekarno. Ini sangat berbeda dengan perjalanan hidup Ahmad Dahlan yang diceritakan secara lancar pada karya Hanung sebelumnya.
Dinamika hidup Soekarno memang lebih rumit dari hidup Kiyai Dahlan. Tapi hal demikian sudah harus diketahui Hanung sebelum memulai shooting filmnya. Seharusnya Hanung mencermati dengan saksama skenario (jika ditulis orang lain) sebelum menterjemahkannya ke layar lebar.
Akibat dari kelemahan dan kurangnya persiapan sutradara dan kelemahan skenario, yang jadi tokoh menonjol dalam film itu bukan Sukarno atau Hatta, melainkan Syahrir. Dalam bahasa orang film, Syahrir adalah protagonis dan Sukarno adalah antagonis.
Bukan cuma itu, akibat kecerobohan skenario, Sukarno tampil dalam karya Hanung itu sebagai seorang seks maniak yang bermoral rendah dan tanpa perasaan. Tidak ada digambarkan proses yang meyakinkan lahirnya keputusan Sukarno jatuh cinta dengan Fatma yang menyebabkan Inggit meninggalkan Sukarno. Perkawinan Sukarno dengan Inggit adalah cerita tentang daya tarik Sukarno yang berhasil "merebut" Inggit dari suami pertamanya, Haji Sanusi.
Dengan menggambarkan Sukarno mudah "mencampakkan" Inggit yang lebih tua untuk mendapatkan Fatma yang masih remaja, kesan yang dipancarkan oleh film karya Hanung adalah gambaran Sukarno yang sekmaniak, egois dan tidak tahu menghargai pengorbanan Inggit.
Pada bagian yang menggambarkan kelahiran Guntur (suatu penggambaran yang berlebihan dan nyaris tidak menyumbang apa-apa terhadap jalan cerita) memang ada dialog tentang Sukarno yang bahagia karena akhirnya mendapatkan keturunan setelah sebelumnya hanya punya sejumlah anak angkat. Tapi akan lebih berguna bagi jalan cerita dan watak Sukarno jika pernyataan Sukarno itu dimunculkan ketika Sukarno akhirnya mengambil Fatma yang remaja untuk menggantikan Inggit yang tidak kunjung melahirkan keturunan.
Adegan Sukarno ikut "bekerja" seperti banyak Romusha yang menderita, (di depan kamera para pemotret Kantor Propaganda Jepang) adalah kreasi Hanung yang mungkin dimaksudkan sebagai gambaran betapa menderitanya Sukarno sebagai "kaki tangan " Jepang. Tapi karena Syahrir sudah dan terus menerus digambarkan sebagai tokoh anti Jepang, maka kesan yang timbul dari adegan kerja Sukarno di tengah-tengah penderitaan para Romusha, akhirnya hanya makin menekankan Sukarno sebagai kolaborator Jepang yang menjual rakyatnya untuk menjadi kuli bagi pemerintahan militer Jepang.
Tidak kurang menarik mengamati kecerobohan sutradara dan penata busana pada adegan rapat yang melahirkan Pancasila. Pada adegan itu wakil golongan Islam bukan saja digambarkan sebagai grombolan berangasan yang berteriak-teriak memaksakan Syariat Islam sebagai dasar negara, mereka juga ditampilkan dalam pakaian yang mengingatkan saya para pekerja asal anak benua India saat mereka membersihkan Masjidil Haram di Mekkah.
Kalau saja Hanung dan penulis skenarionya membaca secara saksama sejarah persiapan kemerdekaan Indonesia menjelang takluknya Jepang, niscaya kecerobohan konyol demikian pasti bisa dihindarkan. (cetak tebal oleh I.I.)
Tentu ada kekecualian terhadap komentar saya, jika Hanung memang berpendirian bahwa Sukarno adalah seorang seksmaniak yang mencampakkan Inggit dengan dingin agar bebas memetik daun segar (Fatma) di Bengkulu. Juga kalau Hanung memang melihat Sukarno sebagai kolaborator Jepang dan Syahrir sebagai patriot.
Dan dalam soal penggambaran rokoh-tokoh Islam dan pakaian mereka yang bagaikan kuli yang membersihkan Masjidil Haram, Hanung barangkali memang punya sikap merendahkan wakil-wakil Islam dalam sidang membicarakan dasar negara waktu itu.
* * *
Kepada DR Hoesein
Rusdhy yang mengirimkan bahan tentang unjuk rasa itu,
kutulis:
Bila benar-benar serius siapa saja yang hendak membuat film
tentang
Bung Karno . .. Ceriteranya sebaiknya disusun oleh sebuah komisi
atau
panitia . ..
Mutlak mencakup sejarawan seperi Dr Aswi Warman Adam dan Dr Baskara Wardaya, Bonnie Triyana, Wilson, Hilmar Farid dll.. . . . . . .
Riwayat BK seyogianya ---- disusun atas dasar karya-karya politiknya yang telah dibukukan seperti "Dibawah Bendera Revolusi" Jiid I, II, dan "Revolusi Belum Selesai", Jilid I, II. DAN . . . . . . buku edisi terakhir "BUNG KARNO PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT", Cindy Adams (1965). . . dll . . . . ..
Hanya dengan cara demikian baru ceritera BK bisa dianggap serius . . . .
.. Kalau tidak jangan-jangn hanya mengada-ada saja . . .. atau berdongeng tanpa dasar . . . .
Mutlak mencakup sejarawan seperi Dr Aswi Warman Adam dan Dr Baskara Wardaya, Bonnie Triyana, Wilson, Hilmar Farid dll.. . . . . . .
Riwayat BK seyogianya ---- disusun atas dasar karya-karya politiknya yang telah dibukukan seperti "Dibawah Bendera Revolusi" Jiid I, II, dan "Revolusi Belum Selesai", Jilid I, II. DAN . . . . . . buku edisi terakhir "BUNG KARNO PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT", Cindy Adams (1965). . . dll . . . . ..
Hanya dengan cara demikian baru ceritera BK bisa dianggap serius . . . .
.. Kalau tidak jangan-jangn hanya mengada-ada saja . . .. atau berdongeng tanpa dasar . . . .
* * *
Ketika bertukar fikiran
dengan kawanku Yanti Mirdayanti, dosen di Universitas
Hamburg,
Jerman, kukatakan, sbb:
Tentang seorang tokoh
atau
peristiwa sejarah telah banyak ditulis ceritera dan novel . . .
.
Juga telah dibuat film cerita . . . . Ada keleluasaan
penulis/sutradara untuk membubuhkan interpretasinya bahkan
variasinya
sendiri. . . . . . .
Namun, . . .
Bagaimanapun
bila menulis ceritera atau dokumentasi tentang seorang tokoh
sejarah
. . . bukankah pada tempatnya SIPENULIS /SUTRADRA berusaha
MENGENAL
tentang tokoh yang mau ditulisnya? Betapapun fantasi dan fiksi
yang
ada diotak penullis/sutradara tsb . . . DIA SEYOGIANYA terlebih
dahulu berusaha MENGENAL TENTANG ORANG YANG DICERITERAKANNYA ITU
. ..
Ia bebas berceritera,
itu
termasuk FREEDOM OF EXPRESSION . . . freedom of speech, writing
etc... Tapi kalau misinya adalah untuk memberikan pencerahan
sekitar sejarah bangsa . . . jangan terlalu banyak fiksi atau
fantasi
penulis sendiri . . . Yang pokok adalah mengetahui benar
tentang
tokoh mengenai siapa ia akan tulis atau bikin film . .?, .
Jangan
mengutamakan fantasi atau fiksinya sendiri . . . Tapi
kalau tokh
mau mendahulukan fantasi atau fiksi serta interpretasinya
sendiri . .
., ITUPUN TIDAK AKAN ADA YANG MELARANGNYA .... FREEDOM OF
EXPRESSION
. . . . .
* * *
Tampaknuya Hanung
Barmantyo tidak hanya berfantasi dan berfiksi tentan
SOEKARNO., . .
seperti seru pengunjuk rasa “Masyarakat Pencinta Bung Karno”:
Yang dilakukan
Produser Sutradara HANUNG BARMANTYO, adalah suatu UPAYA
DESOEKARNOISASI!!
* * *
No comments:
Post a Comment