Tuesday, December 10, 2013

Masa “BERSIAP” REVOLUSI KEMERDEKAAN – Kok DIBILANG “GENOSIDA” !!

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 05 Desember 2013
-----------------------------------

Masa “BERSIAP” REVOLUSI KEMERDEKAAN
Kok DIBILANG “GENOSIDA” !!

Beberapa hari sebelumnya aku sudah janjian dengan Ciska Pattipilohy. Kita akan bertemu hari Selasa, 03 Des, jam 14.30 di stasiun Leiden Centraal. Dari sana jalan kaki menuju Lipsius 005, Lipsius Building Leiden University, Cleveringaplaats 1, 2311 BFD Leiden.

Alamat ini sebenarnya sudah terkenal. Selain dipakai untuk ruang kuliah, sering digunakan untuk pelbagai seminar dan peluncuran buku. Seperti a.l ketika meluncurkan buku, pada tanggal 08 Juni, 2007. Ketika itu ruangan kuliah yang digunakan untuk pertemuan hari itu, penuh dengan hadirin pada peluncuran buku DR Harry Poeze, (dalam bahasa Belanda), bahasa Indonesianya: – " TAN MALAKA DIHUJAT DAN DILUPAKAN" -- , Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949.

* * *

Sangat mujur, hari Selasa kemarin dulu itu, cuacanya ideal. Musim dingin. Tapi tidak turun hujan. Baik air atau salju. Juga tidak ada angin keras. Malah matahari sesekali menghibahkan sinar hangatnya. Perjalanan kami dari stasiun KA Leiden Centraal ke tempat seminar makan waktu 20 menit. Meskipun umur kami sudah diatas 80, namun masih bisa jalan kaki normal . . . . !

Ruangan Lipsius 005, tempat seminar hari itu hampir penuh. Untuk pertemuan semacam ini , jarang sekali ruangan yang berkapasitas lebih 150 orang itu bisa penuh. Jumlah sekitar 60-an yang hadir kemarin itu sudah dinilai sukses.

Kami menghadiri seminar di bawah judul ---

Leiden Southeast Asia Seminar -- Bersiap and Violence in Indonesia's Revolusionary Period, 1945-1949: A Historiographical review, By ABDUL WAHID.

* * *

Pengundang menjelaskan tertulis sbb: Dr Abdul Wahid (visiting fellow at KITLV):(Aslinya bhs Inggris): Bahasa Indonesianya , kira-kira sbb:

Tahun-tahun diantara 1945-1949 merupakan salah satu dari periode kekerasan dalam sejarah modern Indonesia. Di sepanjang periode ini, berbagai bentuk kekerasan seketika meletus, di banyak bagian negeri menyertai runtuhnya kekuasaan militer Jepang, deklarasi kemerdekaan dan percobaan-percobaan oleh fihak Belanda untuk memulihkan pemerintahan kolonial yang lampau. Aneh sekali, kemahakuasaan kekerasan di sepanjang periode itu, telah dilupakan dalam literatur 1960-1990, sedangkan kebanyakan studi ilmiah mengarah ke penekanan arti penting aspek sosial-politik dari 'revolusi nasional atau revolusi sosial'.

Hanya pada dasawarsa pertama tahun 2000-an muncul usaha ilmiah yang secara serius melakukan penelitian tentang aksi-aksi kekerasan selama periode itu. Salah satu dari isu yang diperdebatkan adalah kekerasan yang terjadi terhadap ribuan orang-orang Belanda dan Indo (Eurasians) yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia, mulai bulan September 1945 sampai kira-kira bulan Mei 1946, di berbagai tempat di Jawa dan Sumatra. Periode itu dinamakan, “Masa-Bersiap”. Episode kekerasan khusus ini menjadi salah satu dari titik perbedaan pendapat yang krusial dalam historiografi konflik Belanda-Indonesia tahun 1945-1949.

Di fihak historiografi Belanda terdapat banyak diskusi mengenai masalah ini, namun, di historiografi Indonesia – karena didominasi oleh pandangan-pandangan nasionalis-- terdapat kebisuan menyeluruh. Seolah-olah (peristiwa itu) tidak pernah terjadi.

Makalah (Abdul Wahid) ini, menelaah kembali publikasi di masa belakangan ini mengenai kekerasan masa Bersiap. Ia meneliti perspektif historis baru mengenai periode Bersiap dalam konteks internasional, dan bertanya bagaimana pengaruhnya terhadap promosi pendekatan yang lebih kritis terhadap studi revolusi Indonesia, khususnya bagi sejarawan-sejarawan Indonesia.
Sampai di situ pengantar tertulis yang diberikan oleh pengundang: KITLV, Leiden.

* * *

Sayang ---- makalah yang dibacakan oleh Abdul Wahid, benar-benar tidak bisa saya tangkap, karena kami, Ciska dan saya, duduk di paling belakang dari ruangan kuliah itu. Apalagi pembicara amat sering omong jauh dari mikrofon. Slide yang ditayangkan, meskipun sulit dibaca dari jauh, namun sedikit-sedikit bisa dibaca.

Namun , --- pengantar tertulis yang diberikan oleh KITLV tadi itu kiranya sudah menggambarkan maksud pembicara. Saya sudah minta kepada fihak KITLV, Yayah Siegers, untuk menyampaikan kepada saya makalah tertulis Abdul Wahid dan Harry Poeze. Dan dijanjikan oleh Yayah Siegers akan dikirimkan kepada saya.

* * *

Tiba pada acara tanya-jawab, aku dapat kesempatan untuk bicara dua menit, memberikan respons terhadap masalah yang dibicarakan.

KEKERASAN DALAM “PERISTIWA MADIUN”

Kepada Abdul Wahid kusarankan, pertama-tama agar, -- ketika membicarakan masalah kekerasan selama periode revoluioner Indonesia 1945/1949, seyogianya makalahnya --- juga dengan tegas menyebut kekerasan yang dilakukan negara terhadap 11 tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, termasuk mantan PM Republik Indonesia, Mr. Amir Syarifuddin, yang dieksekusi di Ngalihan tanpa proses pengadilan ---- atas perintah Kolonel Gatot Subroto yang beroperasi di bawah PM Hatta ketika itu. Mereka dituduh melakukan pemberontakan terhadap negara RI, dalam peristiwa Madiun (1948).

Para sejarawan Indonssia agar memberikan perhatian serius terhadap kekerasan yang terjadi dalam Peristiwa Madiun terhadap tokoh-tokoh yang dituduh atau dicurigai berpandangan Kiri dalam TNI, parpol dan ormas, dan terhadap tuduhan pemberontakan yang dilakukan terhadap terdakwa.

* * *

Mempersoalkan masalah yang oleh fihak Belanda disebut sebagai BERSIAP PERIODE, dengan suara keras aku berkata di muka forum:

The Bersiap Periode is a most beautiful period . . . It is a time of revolution for Indonesian fihgters for national independence. . . . MASA `BERSIAP` BAGI PEJUANG-PEJUANG KEMERDEKAAN Adalah Masa Revolusioner Yang Indah!

Sebagai anak-muda ketika itu saya ambil bagian langsung dalam Revolusi Kemerdekaan, di Jakarta. Masih tersimpan rapi dalam memori seruan: . . . SIAAAAAPPPP . . . .!!! Seruan SIAP itu adalah seruan siap-siaga melawan setiap musuh kemerdekaan yang hendak menghancurkan Republik Indonesia. Aku sarankan kepada Abdul Wahid, untuk lebih banyak menyuarakan perasaan, semangat dan jiwa kaum pejuang kemerdekaan Indonesia . . . . Demikian tanggapan singkat yang ku kemukakan dalam seminar tsb.

* * *

Ini kesaksian dan keterlibatan pribadi . . . . Seruan “ S I A A A P . . . “ adalah seruan untuk bangkit berlawan. Ini apa yang terjadi di Jakarta ketika itu . . . . .Tidak ada hubungan samasekali dengan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda, Indo, golongan minoritas, atau etnis Tionghoa. Karena yang saya alami di Jakarta periode itu, adalah konfrontasi kita dengan tentara Jepang . . . Kami berrencana merebut senjata api dari Jepang. Dan yang kusaksikan sendiri yang dibantai pemuda pada suatu malam adalah orang militer Jepang. . .. Inggris belum tampak di Jakarta.Tentara Nica bikinan Van Mook juga belum beraksi.

Samasekali tidak benar tulisan wartawan Amerika William H Frederick (dikatakan orang yang “mengenal” Indonesia), yang menggambarkan bahwa 'apa yang terjadi ketika itu adalah suatu “genosida”, suatu perang yang dilupakan.' (de Volkskrant, 19 Nov 2013).

* * *

Jurnalis Belanda Lidy Nicolasen, menulis di “de Volksrant”, (19/11,'13) bahwa peneliti Belanda, Max van der Werff, -- bersama peduli sejarah Ady Setyawan, menyimpulkan bahwa yang utama adalah melakukan studi atas keterlibatan Belanda di Indonesia. Mereka tidak mengadakan penelitian atas pertumpahan darah yang dilakukan oleh fihak Indonesia yang terjadi di masa yang dikatakan “Bersiap periode”.

Van de Werff menulis: “Fihak militer (Belanda) selalu menggunakan periode itu, sebagai cawat (schaamlap) untuk menutupi kejahatan-perang mereka sendiri. Yang terjadi adalah suatu perang-sipil. Nederland merupakan suatu kerajaan dunia yang sedang runtuh. Dalam suasana kebérangan (razernij) semua yang mengadakan kerjasama dengan kaum penindas, dibunuh. Saya tidak hendak meréméhkan, tetapi mengapa mereka begitu dibenci? Kaum Indo adalah minyak pelumas (smeerolie) dari mesin-penindas orang-orang berkulit Putih.”

Kata Max van der Werrf: Harus dibuat “Excessennota baru, yang memuat semua kejahatan perang yang dilakukan Belanda di masa perang kolonial di Hindia-Belanda. Dokumen tsb harus selesai dalam dua tahun pada saat Indonesia merayakan Ultah Ke70 Kemerdekaannya.
Lidy Nicolassen mengkahiri tulisannya dengan komentar sbb: Tiga lembaga peneliti, antara lain NIOD, tahun lalu mengusulkan untuk melakukan penelitian besar-besaran atas perang kolonial (di Indonesia). Tetapi pemerintah Belanda menolak saran ini.

Sayang! Bagaimana sikap Indonesia. Saran Tiga lembaga penelitian Belanda itu, adalah untuk diadakannya penelitian bersama Belanda-Indonesia.

Bagaimana pula sikap para sejarawan dan peduli sejarah Indonesia?

Kalau fihak resmi tidak atau belum ada 'political will” untuk itu, – – -bukankah fihak non-pemerintah dari kedua negeri bisa melakukannya? Misalnya proyek studi bersama (sejarah) antar universitas atau lembaga peneliti serupa. . .? Semoga!

* * *




No comments: