Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 05 Desember 2013-----------------------------------
Masa
“BERSIAP” REVOLUSI KEMERDEKAAN
– Kok
DIBILANG “GENOSIDA” !!
Beberapa
hari
sebelumnya aku sudah janjian dengan Ciska Pattipilohy. Kita akan
bertemu hari Selasa, 03 Des, jam 14.30 di stasiun Leiden
Centraal.
Dari sana jalan kaki menuju Lipsius 005, Lipsius Building Leiden
University, Cleveringaplaats 1, 2311 BFD Leiden.
Alamat
ini
sebenarnya sudah terkenal. Selain dipakai untuk ruang kuliah,
sering digunakan untuk pelbagai seminar dan peluncuran buku.
Seperti
a.l ketika meluncurkan buku, pada tanggal 08 Juni, 2007. Ketika
itu ruangan kuliah yang digunakan untuk pertemuan hari itu,
penuh
dengan hadirin pada peluncuran buku DR Harry Poeze, (dalam
bahasa
Belanda), bahasa Indonesianya: – " TAN MALAKA DIHUJAT DAN
DILUPAKAN" -- , Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949.
*
* *
Sangat
mujur,
hari Selasa kemarin dulu itu, cuacanya ideal. Musim dingin.
Tapi tidak turun hujan. Baik air atau salju. Juga tidak ada
angin
keras. Malah matahari sesekali menghibahkan sinar hangatnya.
Perjalanan kami dari stasiun KA Leiden Centraal ke tempat
seminar
makan waktu 20 menit. Meskipun umur kami sudah diatas 80, namun
masih bisa jalan kaki normal . . . . !
Ruangan
Lipsius
005, tempat seminar hari itu hampir penuh. Untuk pertemuan
semacam ini , jarang sekali ruangan yang berkapasitas lebih 150
orang
itu bisa penuh. Jumlah sekitar 60-an yang hadir kemarin itu
sudah
dinilai sukses.
Kami
menghadiri
seminar di bawah judul ---
“Leiden
Southeast
Asia Seminar -- Bersiap and
Violence in Indonesia's Revolusionary Period, 1945-1949: A
Historiographical review, By ABDUL WAHID.
* * *
Pengundang
menjelaskan
tertulis sbb: Dr Abdul Wahid (visiting fellow at
KITLV):(Aslinya bhs Inggris): Bahasa Indonesianya ,
kira-kira sbb:
“Tahun-tahun
diantara
1945-1949 merupakan salah satu dari periode kekerasan dalam
sejarah modern Indonesia. Di sepanjang periode ini, berbagai
bentuk
kekerasan seketika meletus, di banyak bagian negeri
menyertai
runtuhnya kekuasaan militer Jepang, deklarasi kemerdekaan
dan
percobaan-percobaan oleh fihak Belanda untuk memulihkan
pemerintahan
kolonial yang lampau. Aneh sekali, kemahakuasaan kekerasan
di
sepanjang periode itu, telah dilupakan dalam literatur
1960-1990,
sedangkan kebanyakan studi ilmiah mengarah ke penekanan arti
penting
aspek sosial-politik dari 'revolusi nasional atau revolusi
sosial'.
“Hanya
pada
dasawarsa pertama tahun 2000-an muncul usaha ilmiah yang
secara
serius melakukan penelitian tentang aksi-aksi kekerasan
selama
periode itu. Salah satu dari isu yang diperdebatkan adalah
kekerasan
yang terjadi terhadap ribuan orang-orang Belanda dan Indo
(Eurasians)
yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia, mulai bulan
September 1945
sampai kira-kira bulan Mei 1946, di berbagai tempat di Jawa
dan
Sumatra. Periode itu dinamakan, “Masa-Bersiap”.
Episode kekerasan
khusus
ini menjadi salah satu dari titik perbedaan pendapat yang
krusial dalam historiografi konflik Belanda-Indonesia tahun
1945-1949.
“Di
fihak
historiografi Belanda terdapat banyak diskusi mengenai
masalah
ini, namun, di historiografi Indonesia – karena didominasi
oleh
pandangan-pandangan nasionalis-- terdapat kebisuan
menyeluruh.
Seolah-olah (peristiwa itu) tidak pernah terjadi.
“Makalah
(Abdul
Wahid) ini, menelaah kembali publikasi di masa belakangan
ini
mengenai kekerasan masa
Bersiap. Ia
meneliti perspektif historis baru mengenai periode Bersiap
dalam konteks internasional, dan bertanya bagaimana
pengaruhnya
terhadap promosi pendekatan yang lebih kritis terhadap studi
revolusi
Indonesia, khususnya bagi sejarawan-sejarawan Indonesia.
Sampai di situ pengantar tertulis yang diberikan
oleh
pengundang: KITLV, Leiden.
* * *
Sayang ---- makalah yang dibacakan oleh Abdul
Wahid,
benar-benar tidak bisa saya tangkap, karena kami, Ciska dan
saya,
duduk di paling belakang dari ruangan kuliah itu. Apalagi
pembicara amat sering omong jauh dari mikrofon. Slide yang
ditayangkan,
meskipun sulit dibaca dari jauh, namun sedikit-sedikit bisa
dibaca.
Namun , --- pengantar tertulis yang diberikan oleh
KITLV
tadi itu kiranya sudah menggambarkan maksud pembicara. Saya
sudah
minta kepada fihak KITLV, Yayah Siegers, untuk menyampaikan
kepada
saya makalah tertulis Abdul Wahid dan Harry Poeze. Dan
dijanjikan
oleh Yayah Siegers akan dikirimkan kepada saya.
* * *
Tiba pada acara tanya-jawab, aku dapat kesempatan
untuk
bicara dua menit, memberikan respons terhadap masalah yang
dibicarakan.
KEKERASAN
DALAM
“PERISTIWA MADIUN”
Kepada Abdul Wahid kusarankan, pertama-tama agar,
--
ketika membicarakan masalah kekerasan selama periode revoluioner
Indonesia 1945/1949, seyogianya makalahnya --- juga dengan tegas
menyebut kekerasan yang dilakukan negara terhadap 11 tokoh-tokoh
pejuang kemerdekaan, termasuk mantan PM Republik Indonesia, Mr.
Amir
Syarifuddin, yang dieksekusi di Ngalihan tanpa proses pengadilan
---- atas perintah Kolonel Gatot Subroto yang beroperasi di
bawah PM
Hatta ketika itu. Mereka dituduh melakukan pemberontakan
terhadap
negara RI, dalam peristiwa Madiun (1948).
Para sejarawan Indonssia agar memberikan perhatian
serius terhadap kekerasan yang terjadi dalam Peristiwa Madiun
terhadap tokoh-tokoh yang dituduh atau dicurigai berpandangan
Kiri
dalam TNI, parpol dan ormas, dan terhadap tuduhan pemberontakan
yang
dilakukan terhadap terdakwa.
* * *
Mempersoalkan masalah yang oleh fihak Belanda
disebut
sebagai BERSIAP PERIODE, dengan suara keras aku berkata
di
muka forum:
The Bersiap Periode is a most beautiful period . .
. It
is a time of revolution for Indonesian fihgters for national
independence. . . . MASA `BERSIAP` BAGI PEJUANG-PEJUANG
KEMERDEKAAN Adalah Masa Revolusioner Yang Indah!
Sebagai anak-muda ketika itu saya ambil bagian
langsung
dalam Revolusi Kemerdekaan, di Jakarta. Masih tersimpan rapi
dalam
memori seruan: . . . SIAAAAAPPPP . . . .!!! Seruan SIAP
itu
adalah seruan siap-siaga melawan setiap musuh kemerdekaan yang
hendak
menghancurkan Republik Indonesia. Aku sarankan kepada Abdul
Wahid,
untuk lebih banyak menyuarakan perasaan, semangat dan jiwa kaum
pejuang kemerdekaan Indonesia . . . . Demikian tanggapan singkat
yang ku kemukakan dalam seminar tsb.
* * *
Ini kesaksian dan keterlibatan pribadi . . . .
Seruan “ S I A A A P . . . “ adalah seruan untuk bangkit
berlawan. Ini
apa yang terjadi di Jakarta ketika itu . . . . .Tidak ada
hubungan
samasekali dengan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda, Indo,
golongan minoritas, atau etnis Tionghoa. Karena yang saya alami
di
Jakarta periode itu, adalah konfrontasi kita dengan tentara
Jepang .
. . Kami berrencana merebut senjata api dari Jepang. Dan yang
kusaksikan sendiri yang dibantai pemuda pada suatu malam adalah
orang
militer Jepang. . .. Inggris belum tampak di Jakarta.Tentara
Nica
bikinan Van Mook juga belum beraksi.
Samasekali tidak benar tulisan wartawan Amerika
William
H Frederick (dikatakan orang yang “mengenal” Indonesia), yang
menggambarkan bahwa 'apa yang terjadi ketika itu adalah suatu
“genosida”, suatu perang yang dilupakan.' (de Volkskrant, 19 Nov
2013).
* * *
Jurnalis Belanda Lidy Nicolasen, menulis di “de
Volksrant”, (19/11,'13) bahwa peneliti Belanda, Max van der
Werff, -- bersama peduli sejarah Ady Setyawan, menyimpulkan
bahwa
yang utama adalah melakukan studi atas keterlibatan Belanda di
Indonesia. Mereka tidak mengadakan penelitian atas pertumpahan
darah
yang dilakukan oleh fihak Indonesia yang terjadi di masa yang
dikatakan “Bersiap periode”.
Van de Werff menulis: “Fihak militer (Belanda)
selalu
menggunakan periode itu, sebagai cawat (schaamlap) untuk
menutupi
kejahatan-perang mereka sendiri. Yang terjadi adalah suatu
perang-sipil. Nederland merupakan suatu kerajaan dunia yang
sedang
runtuh. Dalam suasana kebérangan (razernij) semua yang
mengadakan
kerjasama dengan kaum penindas, dibunuh. Saya tidak hendak
meréméhkan, tetapi mengapa mereka begitu dibenci? Kaum Indo
adalah
minyak pelumas (smeerolie) dari mesin-penindas orang-orang
berkulit
Putih.”
Kata Max van der Werrf: Harus dibuat “Excessennota
baru, yang memuat semua kejahatan perang yang dilakukan Belanda
di
masa perang kolonial di Hindia-Belanda. Dokumen tsb harus
selesai
dalam dua tahun pada saat Indonesia merayakan Ultah Ke70
Kemerdekaannya.
Lidy Nicolassen mengkahiri tulisannya dengan
komentar
sbb: Tiga lembaga peneliti, antara lain NIOD, tahun lalu
mengusulkan
untuk melakukan penelitian besar-besaran atas perang kolonial
(di
Indonesia). Tetapi pemerintah Belanda menolak saran ini.
Sayang! Bagaimana sikap Indonesia. Saran Tiga
lembaga
penelitian Belanda itu, adalah untuk diadakannya penelitian
bersama
Belanda-Indonesia.
Bagaimana pula sikap para sejarawan dan peduli
sejarah
Indonesia?
Kalau fihak resmi tidak atau belum ada 'political
will”
untuk itu, – – -bukankah fihak non-pemerintah dari kedua negeri
bisa melakukannya? Misalnya proyek studi bersama (sejarah) antar
universitas atau lembaga peneliti serupa. . .? Semoga!
* * *
No comments:
Post a Comment