Kolom
IBRAHIM ISA
Selasa, 03 Desember 2013
-----------------------------------
Selamat dengan penyelenggaraan SEMINAR -- EKSIL INDONESIA DAN NASIONAlISME KITA -- LIPI ---, 03 Dresember 2013 Pak Baskoro dan Pak Amin yth., Mengharapkan agar seminar ini mendorong maju pertumbuhan dan perkembangan kesadaran masyarakat kita ke arah penegakkan dan pemberlakuan HAM dan berdirinya NEGARA HUKUM Republik Indonesia.
Sejak sadar
kehidupan politik dan ambil bagian di dalam Revolusi
Kemerdekaan Indonesia, saya tidak pernah merasa lebih
bangga selain JADI ORANG INDONESIA.
Saya rasa
demikina pula jiwa dan semangat sahabat-sahabat
senasib saya yang Pak Amin golongkan di bawah nama
"kaum nasionalis jarak jauh".
* * *
Dalam
makalahnya Pak Dr Amin menulis a.l sbb:
".
. . . Singkatnya, meski terhalang jarak dan
waktu, nasionalisme mereka tidak pudar. Sekarang
kewarganegaraan mereka bermacam-macam,
mengikuti negara di mana mereka tinggal, tetapi
secara politik dan ideologi mereka tetap
merasa sebagai orang Indonesia. Mereka adalah kaum
nasionalis jarak jauh."
Suatu
istilah baru yang menarik. Ketika saya menulis
Memoar, "KABAR DARI NEGERI SEBERANG",
Penerbit Historia Publisher 2012,
sejarawan Wilson, menanggapinya a.l., sbb:
"Dalam
buku ini kita bisa mengetahui kalau nasionalisme
dari negeri seberang yang diuraikan Ibrahi Isa
lebih membumi dripada para pejabat di negeri ini".
* *
*
Selama
menjadi "orang eksil", tidak kurang dari 40-an
kolom dan artikel yang saya tulis mempersoalkan
keharusan pemerintah memulihkan/merehabilitasi
kewarganegaraan orang-orang Indonesia yang paspornya
secara sewenang-wenang telah dicabut oleh penguasa
Indonesia ketika itu. Orang pertama yang saya
tulisi ketika itu adalah Kejaksaan Agung RI dan
Presiden RI BJ Habibie. Tetapi dari para pejabat
negara itu samasekali tidak ada response.
Kemudian ada kebijakan Presiden Wahid untuk merehabilitasi kewarganegaraan "orang-orang yang terhalang pulang". Sayang kebijakan Gus Dur itu disabot oleh Menteri Yusril Izha Mahendra ketika itu.
Presiden SBY
tampil dengan "kebijakan baru" memberikan paspor
kepada mereka-mereka yang paspornya dicabut, tanpa
mempersoalkan
apa masalahnya.
* * *
Sebagian
besar menolak kebijakan Presiden SBY dengan
pertimbangan menurut situasi dan kondisi masing-masing.
Sebagian kawan menyambut kebijakan Presiden SBY. Dengan demikian menerima kembali kewarganegaraan mereka dalam bentuk paspor baru. Tapi jelas hak kewarga-negaraan dan politik lainnya masih tetap seperti kebijakan Orba yang diskriminatif. Belum ada perubahan hakiki.
Kolom yang
saya lampirkan memberikan gambaran mengapa saya
menolak kebijakan Presiden SBY tsb.
* * *
Paspor bagi Orang Terhalang Pulang 23-Aug-2008, 23:18:39 WIB |
KabarIndonesia
- KEMARIN, aku kirim dua e-mail. Masing-masing kepada Salim dan Gunardito, kawan-kawan lama yang berdomisili di Cuba. Email untuk Salim berisi ucapan SELAMAT, berhubung diperolehnya (kembali) paspor RI yang lebih 40 tahun yang lalu secara sewenang-wenang dicabut oleh KBRI. Meskipun ketika itu (1965/66) kepala negara dan kepala pemerintah formalnya adalah Presiden Sukarno, tetapi kekuasaan riil, termasuk di Deparlu RI, sudah ada di tangan militer di bawah Jendral Suharto. Kini, semua teman-teman Indonesia yang terdampar di Havana karena paspornya dicabut Orba, semuanya sudah memperoleh (kembali) paspor mereka masing-masing. Keistimewaan kasus Salim: Ia memperoleh kembali paspor RI, pada tanggal 17 Agustus 2008, Hari Nasional Indonesia. Istimewanya, hal itu berlangsung di wilayah Republik Indonesia pula. Langsung diumumkan oleh Dubes Manik sendiri, seusai upacara Upacara Peringatan 17 Agustus di KBRI Havana. Memang, peristiwa itu bagi Salim, mengandung arti simbolik. Apakah itu suatu permulaan r e h a b i l i t a si bagi semua korban pelanggaran HAM Orba? Siapa tahu! Apakah suatu ilusi mengharapkan direhabilitasinya semua korban pelanggaran HAM oleh Orba, khususnya para korban Peristiwa 1965? Untuk mengambil satu contoh saja: Trikoyo Ramidjo, 82 tahun, eks tapol P. Buru, sampai detik ini, KTP-nya masih setiap kali harus diperbaharui. Padahal menurut aturan pemerintah penduduk yang berumur di atas 60 tahun, otomatis mendapat KTP Seumur Hidup. Tetapi Trikoyo tidak dapat, karena dia eks-Tapol. Belum lagi stigmatisasi dan diskriminasi yang berlangsung terus terhadap para korban Peristiwa 1965. Mengharapkan REHABILITASI semua korban Peristiwa 1965, bukanlah suatu ilusi! Syaratnya ialah diteruskannya tanpa kendur sedikit pun usaha dan kegiatan oleh semua kekuatan pro demokrasi dan pro HAM, agar masalah pelanggaran HAM oleh Orba di masa lalu ditangani dan diurus sampai tuntas. Urusan tersebut tidak bisa dipercayakan kepada pemerintah atau lembaga negara lainnya. Hanyalah melalui kegiatan, usaha dan perjuangan dari yang bersangkutan sendiri, plus solidaritas kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya, maka harapan REHABILITASI itu akan menjadi kenyataan. Hanya sesudah REHABILITASI semua korban pelanggaran HAM Orba, barulah kita bisa bicara tentang REKONSILIASI NASIONAL. Insya Allah! * * * Salah satu warisan Orba yang menjadi beban pemerintah pasca-Suharto, kecuali kasus pembantaian masal Peristiwa 1965, utang dalam dan luar negeri yang bertumpuk-tumpuk, budaya KKN yang masih merajalela, dan keadaan finek yang amburadul, selain itu adalah dosa-dosa pelanggaran HAM kasus pencabutan paspor. Ratusan Mahid (mahasiswa ikatan dinas) yang dikirim ke luar negeri oleh pemerintah Presiden Sukarno, termasuk juga mereka-mereka yang mendapat beasiswa dari pelbagai organisasi, untuk menempuh studi pada perguruan tinggi di pelbagai negeri sosialis ketika itu, seperti Uni Sovyet, Republik Rakyat Tiongkok, Vietam Utara, Korea Utara, Cuba, Bulgaria, Rumania, Polandia dan Tjekoslowakia telah dicabut paspornya. Alasannya? Karena para mahasiswa itu menolak mengutuk Presiden Sukarno yang wewenang dan kedudukannya sedang digoyang oleh pihak militer, juga karena mereka menolak menyatakan kepatuhan pada kekuasaan militer di Jakarta ketika itu. Selain itu masih ada ratusan lagi warga negara Indonesia, yaitu mereka-mereka yang kebetulan sedang bertugas di luar negeri, atau sedang mengadakan kunjungan kenegaraan, dan sebagainya, yang dicabut paspornya, tanpa alasan hukum apapun. Semata-mata karena mereka dituduh PKI atau simpatisan PKI, pendukung Presiden Sukarno dan difitnah melakukan subversi terhadap RI di luar negeri. * * * Menyampaikan percakapannya dengan Dubes RI di Cuba, Manik, Salim menulis dalam e-mailnya kepadaku: sebelum penyerahan paspor itu de facto saya adalah wni, dan setelah penerimaan paspor de facto dan de jure wni. "At last justice is restored," kata saya. Demikian Salim, sekali lagi kuucapkan SELAMAT kepada Salim dengan paspor RI yang baru diterimanya (kembali). Bagi teman-teman Indonesia lainnya di Cuba seperti Gunardito, Widodo dan Kusrini, paspor RI telah lebih dulu disampaikan. Kepada merekapun telah kusampaikan ucapan selamat. Keadaan teman-teman di Cuba jelas berbeda dengan situasi banyak 'orang terhalang pulang' lainnya yang kemudian berdomisili di Eropa dan sementara di negeri lainnya. Karena, sejak paspor mereka dicabut secara sewenang-wenang oleh rezim Orba (1965/1966), status teman-teman di Cuba adalah 'stateless'. Sedangkan bagi banyak teman-teman Indonesia lainnya, yang mengajukan permintaan dan memperoleh suaka di Eropa dan sementara negeri lainnya, atas dasar situasi kongkrit masing-masing, antara lain demi keamanan pribadi dan perlindungan hukum dan politik sebagai pendatang di negeri-negeri tersebut, mereka berkesimpulan memilih kewarganegaraan negeri-negeri dimana mereka berdomisili dan meminta suaka. * * * Sejak pemerintah SBY memberlakukan UU Kewarganegaraan RI, 2008, kepada para 'orang terhalang pulang' diberikan 'jalan' untuk memperoleh kembali paspor RI. Rupanya kebijakan inilah yang ditempuh Presiden SBY sebagai cara (tanpa menyinggung hakikat apa yang menyebabkan begitu banyak warga negara RI yang 'terhalang pulang' sejak berdirinya Orba) untuk 'mengkoreksi' suatu anomaly dalam kehidupan Indonesia bernegara. Suatu anomaly yang disebabkan oleh kesewenang-wenangan rezim Orba terhadap ratusan warga negara Indonesia di luar negeri. Ketika itu ratusan warganegara RI, yang patuh hukum, yang tak melakukan kejahatan apapun terhadap Republik Indonesia, serta setia kepada Presiden Sukarno dan Republik Indonesia, yang sedang studi atau bertugas di luar negeri demi untuk mengabdi pada tanah-air dan bangsa tercinta, Indonesia, paspor dan kewarganegaraan mereka telah dicabut. Semata-mata karena mereka menolak untuk mengutuk Presiden Sukarno dan menolak memberikan pernyataan kepatuhan kepada penguasa baru, golongan militer di bawah Jendral Suharto. Sejak itu, status warga negara Indonesia yang paspornya dicabut secara sewenang-wenang itu, menjadi tak menentu. Mereka hidup di bawah tekanan mental karena tidak bisa pulang dan menjadi 'orang kelayaban' di luar negeri. Dalam waktu panjang mereka jadi orang-orang yang tidak punya negara dan tidak memperoleh perlindungan hukum sama sekali. Mereka tak berani pulang karena tak ada paspor. Lagi pula mereka amat khawatir akan mengalami nasib seperti ratusan ribu warga negara Indonesia yang tak bersalah yang menjadi korban persekusi dan pembantaian masal 1965/1966. Situasi tersebut berlangsung terus sampai jatuhnya Presiden Suharto. Syukur alhamdulillah, Presiden Abdurrahman Wahid menghimbau mereka pulang. Beliau mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1, Th. 2000 sehubungan dengan pengurusan agar 'yang terhalang pulang' memperoleh paspor dan dapat kembali ke tanah air. Menkumdang ketika itu, Yusril Ihza Mahendra, dikirim Presiden Wahid ke Belanda untuk bertemu muka dengan 'orang-orang yang terhalang pulang' dan mengurusnya. Tetapi Yusril sama sekali tidak melaksanakan Instruksi Presiden No. 1 Th 2000 tersebut. Presiden Wahid jatuh. Presiden Megawati naik, tetapi masalah ini tetap terkatung-katung, sampai dikeluarkannya kebijakan Presiden SBY tersebut. * * * Tawaran pemerintah, memperoleh paspor kembali dan dengan itu kewarganegaraan RI kembali, dengan mengikuti prosedur UU Kewarganegaraan RI, 2008, diajukan melalui KBRI. Direncanakan Menkumdang dan HAM ketika itu, Awaludin Hamid, datang sendiri ke Belanda untuk bertemu dengan 'orang-orang yang terhalang pulang'. Maksudnya, memberikan penjelasan sekitar pemberlakuan UU Kewarganegaraan RI 2008 tersebut. Tetapi Awaludin Hamid menolak keras untuk mengaitkan masalah pencabutan paspor dengan pelanggran HAM Orba. Ia hanya hendak melaksanakan UU Kewargenegaraan RI 2008. Melalui UU tersebut memberikan paspor RI kepada 'orang-orang yang terhalang pulang'. Dalam pembicaraan dengan fihak KBRI di Den Haag, sebagian teman-teman yang 'terhalang pulang' yang paspornya telah dicabut secara wewenang-wenang oleh Orba, berpendapat sebagai berikut (Pendapat ini disampaikan kepada KBRI Den Haag): 1. Pertama-tama Pemerintah Indonesia harus secara terbuka mengakui bahwa pencabutan paspor warga negara dengan sewenang-wenang oleh rezim Orba, adalah suatu tindakan pelanggaran HAM terhadap warga negaranya sendiri. 2. Pemerintah harus minta maaf kepada semua warga negara RI yang paspornya telah dicabut secara sewenang- wenang. Serta mengembalikan paspor-paspor yang mereka telah cabut itu. 3. Selanjutya terserah kepada setiap warga negara RI yang paspornya telah dicabut secara wewenang-wenang oleh Orba, untuk menentukan sendiri apakah akan mengurus perolehan paspor RI yang baru, atau mempertahankan status mereka sebagai pemilik paspor negeri di mana mereka berdomisili. 4. Dari sekian banyak masalah penting yang kita hadapi dewasa ini, amat penting adalah masalah REHABILITASI para korban Peristiwa 1965, dan korban pelanggaran HAM lainnya yang dilakukan Orba. Ini sebagai langkah menuju Rekonsiliasi Nasional. Sikap adil ini, menyebabkan Menteri Awaludin Hamid tidak jadi datang ke Belanda untuk mengadakan pertemuan dengan para 'orang terhalang pulang'. Sampai di sinilah kuakhiri tulisan ini mengenai masalah PASPOR RI untuk 'ORANG TERHALANG PULANG'. |
Tuesday, December 10, 2013
Selamat dengan penyelenggaraan SEMINAR -- EKSIL INDONESIA DAN NASIONAlISME KITA -- LIPI ---, 03 Dresember 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment