Sunday, March 30, 2014

“DIAN” – “IMWU-Nederland” “SIAPA SIH YG MAU JADI UNDOCUMENTED?

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 17 Maret 2014
------------------------------

DIAN” – “IMWU-Nederland”

SIAPA SIH YG MAU JADI UNDOCUMENTED?

* * *



Kemarin pagi itu, adalah hari Minggu mula-mula redup dengan tiupan angin dingin tak hentinya. . . . Suatu hari musim semi yang tidak menyenangkan . . .Namun, tidak merintangi sejumlah warga Indonesia dari Amsterdam, Purmerend, Delft, Zeist, Urecht, Leiden, dll kota, memenuhi undangan Stichting DIAN. Mereka berdesak-desak (sekitar 75 orang) di dalam ruangan pertemuan “Gedung Bangsa Jawa Surinam”, di Paasheuvelweg 28, Amsterdam Zuidoost.

Akhirnya Cuaca tokh merestui kami . . . Untung, tak lama kemudian Sang Surya menampakkan sinar indah segarnya . . . memancarkan sinar hangat terus sampai kemudian bersembunyi lagi sore itu di balik horizon.

Dari pagi sampai sore -- “Stichting DIAN” (Ketua Farida Ishaya; Sekretaris Aminah Idris), yang semula berdiri sebagai grup Wanita Dian di Amsterdam, 27 tahun yang lalu, mrnggelar acara, dengan para peduli Indonesia, dalam suatu pertemuan diskusi sekitar kegiatan pekerja Migran Indonesa di Belanda. Dan menonton sebuah film dokumenter mengenai kegiatan pekerja migran Indonesia di Hongkong, kemudian film cerita berjudul “THE BEHEADING OF MINAH”.... Dipenggalnya Minah, pekerja migran Indonesia di Saudi Arabia, dihukum pancung, karena telah menewaskan majikannya dalam rangka membela diri dari pemerkosaan dan kekerasan yang berulang-ulang.

* * *

Bagi hadirin, pertemuan yang dipandu oleh salah seorang pimpinan IMWU, Ratna SAPTARI, merupakan suatu “kumpulan” yang unik sekali. Di situ hadir teman-teman dari Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, St Wertheim, PERDOI, St. Sapu Lidi, dan banyak lagi. Disebut “unik, karena selain acaranya tunggal, yaitu SITUASI DAN KONIDISI BURUH MIGRAN PEREMPUAN INDONESIA, juga karena sejumlah perwakilan organisasi masyarakat Indonesia di Belanda, berkumpul bersama, adalah “unik”. Suau pertemuan dimana Dini Setyowati mendeklamsikan sajaknya mengeni nasib kaum buruh migran Indnesia.

Dikatakan “unik” karena pertemuan hari itu KHUSUS diperuntukkan bagi “IMWU” – Indonesian Migrant Workers Union – Persatuan Pekerja Migran Indonesia – Nederland.

Sempat kunyatakan dalam pertemuan kemarin itu: . . . Sudah begitu lama tinggal di Nederland, baru sekarang ini “tahu” bahwa ada suatu organisasi Indonbesia di Belanda yang namanya “IMWU”. Saya suka menulis, kataku, tapi baru sekarang sadar ada organisasi yang namanya IMWU. Sungguh bodoh sekali! . . .

Yasmine Soraya, Sekjen IMWU, Nederland pembicara pertama, menyatakan bahwa, “apa yang dikemukakan Pak Isa, bahwa “sungguh bodoh, tidak mengetahui tentang keberadaan “IMWU”, itu tidak benar. Karena kami baru berdiri tiga tahun yang lalu, jelas Yasmine.

Dalam penjelasannya, dikemukakan bahwa “IMWU Nederland, adalah sebuah organisasi (self-organisation) yang didirikan oleh dan untuk para Pekerja Migran Indonesia di Nederland. Tujuan IMWU adalah mempromosi hak-hak buruh bagi semua pekerja khususnya para pekerja Indonesia, baik yang punya maupun yang tidak punya dokumen, di Nederland.

Kami bertekad untuk menghapuskan perdagangan manusia, memperdagangkan kesempatan kerja, kesewenang-wenangan dan berbagai bentuk pelanggaran hak dan diskriminasi terhadap semua pekerja khususnya pekerja Indonesia di Belanda.

* * *

Mengenai masalah mengapa terdapat buruh migran Indonesia, antara lain di negeri Belanda, yang tidak memiliki dokumen, Yasmin Soraya menulis a.l,

. . . . . Bila kesejahteraan sudah tercapai di Indonesia, maka tak akan ada yang mau ambil resiko mencari nafkah di negeri orang jauh dari keluarga, bahkan sampai melanggar hukum dengan tanpa dokumen. Siapa yang mau was-was setiap waktu akan penangkapan, siapa yang mau berada di posisi rentan eksploitasi, sering didiskriminasi bahkan oleh bangsa sendiri? Siapa yang mau?

. . . Tidak semua orang punya kesempatan mendapat kerja layak, tidak semua orang seberuntung yang dapat bekerja dengan tenang, tidak semua orang memiliki jalan mulus tanpa perjuangan berat untuk mencapai kesejahteraan. Tidak semua orang. Tapi maukah pemerintah mengerti situasi ini, atau justru marah-marah, bahkan mengancam menuntut seperti pak Tatang . . . . .?

Untuk memperoleh sekadar informasi permulaan tentang apa permasalahan yang dihadapi oleh para pekerja Migran Indonesia, baik ditelusuri tulisan Sekjen IMWU beberapa waktu yang lalu ( Rabu, 02 Oktober 2013), sbb:

SIAPA SIH YANG MAU JADI UNDOCUMENTED? LanjutanKemerdekaan yang Semu: Paspor sebagai ‘Senjata’[1]

Oleh Yasmine Soraya dkk, IMWU NL

"Mbak, kami baru pulang kongres. Malam, lelah dan menjengkelkan. Aku ribut sama pak Tatang dari Kemenlu, masalah paspor dan SPLP. Menurut dia paspor dan SPLP itu sama. Aku bilang memang sama, tapi masa berlakunya berbeda. Dan kita mengalami kesulitan untuk pengiriman uang dll. Semua teman TKI dari negara lain mengamini, tapi itu tambah membuat dia marah.

Karena semua seminar di ruangan lain sudah lama selesai, akhirnya meeting ditutup tanpa ada jawaban yang bisa menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan masalah kita.

Sorry ya Mbak, ternyata orang kemenlu itu tidak mau tahu bagaimana keadaan sebenarnya di lapangan.“ (Yulia Mallo, coordinator re-integrasi IMWU NL pada Kongres Diaspora Indonesia, 19 Agustus 2013)

* * *

Peristiwa di atas tidak terjadi untuk pertama kalinya. April 2012, saat diskusi di KOMNAS Perempuan, pak Tatang sudah sempat marah, ketika kami mengemukakan alasan mengapa sebaiknya diberi paspor dan bukan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor), bagi rakyat tak terdokumentasi yang butuh perpanjangan paspor. Alih-alih mendengarkan kami, beliau malah mengancam akan menuntut kami.

Waktu itu kami kemukakan bahwa SPLP mengakibatkan penyelewengan wewenang dan penjualan paspor oleh oknum di KBRI (ini pernah terjadi beberapa tahun lalu sebelum masa jabatan Dubes baru).[2] Beliau minta bukti dan bila tak ada bukti, beliau mengancam akan menuntut. Masalahnya bukan ada tidaknya bukti. Butir itu sendiri tak akan muncul bila peristiwanya tak terjadi. Tidak akan ada kawan-kawan yang melapor bila hanya desas desus semata. Terlalu berlebihan bila kami dianggap membual dan memberikan kebohongan, apa untungnya bagi kami?

Kami hanya membeberkan apa yang terjadi di lapangan. Dan betapa sulitnya membuat para pemimpin mendengar jeritan rakyat. Bahkan seorang DIRJEN Perlindungan WNI pun tidak menunjukkan niatnya ingin melindungi WNI, begitu ada WNI yang mengadu.

Apa sih masalah sesungguhnya?

Sepertinya telah terjadi salah paham antara dua kubu; pemerintah dan rakyat. Bahkan sepertinya banyak yang sulit mengerti duduk masalah yang sebenarnya. Ibu Dubes, Retno Marsudi, telah menunjukkan niat baiknya memfasilitasi penyelesaian permasalahan SPLP vs paspor ini. September 2012, atas inisiatif Retno Marsudi, diadakan lokakarya yang mengundang perwakilan Kemlu, Menakertrans, dan Kemkumham RI. Sayang tak ada penyelesaian signifikan. Yang ada penjelasan semata soal mengapa yang diterima WNI tak terdokumentasi adalah SPLP.

Dan ini sudah putusan akhir pemerintah dengan dikeluarkannya surat DIRJEN Imigrasi pada DUBES RI untuk Kerajaan Belanda Nomor: IMI-UM.01.01-2579 tertanggal 18 Mei 2012, tentang tanggapan terhadap penerbitan SPLP bagi WNI Overstayers (tak terdokumentasi). Atas surat tersebut, kami, rakyat, dituntut menelan bulat-bulat keputusan pemerintah tersebut. Titik.

Dua permasalahan yang diangkat

1. Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP)

Dalam tulisan terdahulu “Kemerdekaan yang semu : Passport Sebagai ‘Senjata’[3] telah dijelaskan panjang lebar bahwa sesuai perundang-undangan, SPLP itu hanya berfungsi untuk pemulangan.[4] Tetapi dalam prakteknya, SPLP tetap saja diterbitkan bagi WNI yang tidak berniat pulang. Persyaratan membuat SPLP ini pun bermacam-macam dan terkadang banyak kawan sulit memenuhinya (apalagi yang paspornya dipalsu agen), padahal adakah peraturan khusus mengenai persyaratan pembuatan SPLP ini?

Dalam Surat Dirjen Imigrasi diatas dikatakan bahwa WNI overstayers tidak dapat memenuhi persyaratan penerbitan paspor bagi WNI yang bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia. Padahal apabila pemerintah berniat baik, WNI tersebut dapat saja memenuhi persyaratan mendapatkan paspor. Undang-undang memberi keleluasaan persyaratan bagi pembuatan paspor, hanya dengan paspor lama dan kartu penduduk negara setempat, bukti, petunjuk atau keterangan yang menunjukkan bahwa pemohon bertempat tinggal di negara tersebut.[5] Jelas bahwa persyaratan sifatnya flexible; paspor lama dan penunjuk tempat tinggal pemohon dinegara itu. Sayangnya keleluasaan tersebut tidak digunakan demi kepentingan rakyat.

Di Belanda contohnya, persyaratan permohonan penggantian/pembaharuan paspor RI[6] harus menyerahkan fotocopy kartu ijin tinggal/verblijfdocument yang masih berlaku dan surat keterangan penduduk di suatu gemeente (kota) dengan menyebut kewarganegaraannya (bahasa Belandanya internationaal uittreksel van bevolkingsregister met vermelding v.d. nationaliteit). Bila tak punya, persyaratan ini tak bisa diganti dengan keterangan lain seperti yang tertera dalam peraturan perundangan di atas. Aturan yang sungguh rigid dan tak bertoleransi. Akibatnya banyak WNI dan anak-anak mereka tak memiliki paspor atau SPLP.

2. Bukan SPLP vs Paspor saja tapi juga masalah bukti identitas

SPLP itu sama dengan Paspor”, berulang kali pernyataan ini didengungkan oleh pemerintah; oleh pihak imigrasi dan terakhir oleh pak Tatang, pejabat kemlu. Memang ada dua macam dokumen perjalanan RI: SPLP dan paspor. Memang SPLP juga salah satu bentuk perlindungan —meski perlindungannya hanya dalam hal pemulangan saja. Tapi yang menjadi masalah adalah bukti identitas yang diakui masyarakat internasional. Dan ini hanyalah paspor.[7]

SPLP hanya sama dengan paspor dalam hal fungsinya sebagai dokumen perjalanan, tapi bukan sebagai bukti identitas. SPLP tidak diakui sebagai bukti identitas dalam kehidupan sehari-hari di dunia internasional.[8] Lucunya, PP baru No. 31 tahun 2013 atas penjelasan UU No. 6 tahun 2011 yang baru dikeluarkan mulai menyebutkan bahwa dokumen perjalanan juga adalah bukti identitas.[9] Pemerintah bisa saja mengklaim bahwa SPLP juga bukti identitas, tapi di lapangan dan terutama di dunia internasional hal ini tak berlaku.

Siapa sih yang mau jadi undocumented?

Masalah undocumented memang rumit. Tidak akan ada orang yang mau jadi undocumented bila keadaan tak memaksa. Bila kesejahteraan sudah tercapai di Indonesia, maka tak akan ada yang mau ambil resiko mencari nafkah di negeri orang jauh dari keluarga, bahkan sampai melanggar hukum dengan tanpa dokumen. Siapa yang mau was-was setiap waktu akan penangkapan, siapa yang mau berada di posisi rentan eksploitasi, sering didiskriminasi bahkan oleh bangsa sendiri? Siapa yang mau?

Kita tuh CINTAAAAAAA banget sama Indonesia,” kata mbak sebut sajaRini, salah satu kawan tak terdokumentasi, pekerja dengan dua anak yang berusaha mendapatkan dokumen tinggal di Belanda. “Tapi karena sulitnya situasi Indonesia, birokrasi yang rumit, maka kami harus mencari jalan untuk kelangsungan hidup kami.” 

Maka, jangan salahkan mereka bila banyak WNI overstayers di dunia ini tak memproses penggantian paspor ketika masa berlaku paspor habis. Maklum prosedur dan persyaratannya terkadang tak bisa dipenuhi dan pada akhirnya mereka lebih memilih tak terdokumentasi saja. Karena memang, seperti kata bu Yati dalam tulisan sebelumnya, memiliki SPLP itu “Percuma Tak Berguna” kecuali untuk pemulangan saja. Jadi jangan heran dan kaget, pada saat ada pemutihan dari negara setempat, tiba-tiba muncul berpuluh ribu WNI tak terdokumentasi memproses dokumen ini, membuat KBRI/ KJRI kewalahan. Andaikan penggantian paspor tak rumit, dan SPLP memang berguna selain untuk pemulangan, maka dengan kesadaran sendiri rakyat pun akan memproses secara benar dan tidak mendadak bila dibutuhkan. Kejadian rusuh seperti di Jeddah kemarin pun dapat dihindari. Tak hanya kerusuhan, iming-iming pemutihan oleh gerakan separatisme seperti yang terjadi di Belanda pun bukan menjadi ancaman.

Tidak semua orang punya kesempatan mendapat kerja layak, tidak semua orang seberuntung yang dapat bekerja dengan tenang, tidak semua orang memiliki jalan mulus tanpa perjuangan berat untuk mencapai kesejahteraan. Tidak semua orang. Tapi maukah pemerintah mengerti situasi ini, atau justru marah-marah, bahkan mengancam menuntut seperti pak Tatang di atas?

Setiap kali aku baca article ini aku pengen marahhhh banget, kenapa ya...orang2 yg diberikan KESEMPATAN untuk membantu rakyatnya kok cuman bisa lepas tangan.... dan bergaya bahwa dia yg paling tau dan benar... Padahal mereka kan bukan orang bodoh sebenarnya , mereka jg tau bahwa tidak sedikit rakyatnya yg undoc .

Atau mereka tidak tau procentase dr SPLP yg mereka keluarkan sebenarnya banyak yg orang undoc. Dan mereka tidak mau tau resiko apa yg diterima orang undoc.... ;(( Seperti kata Mbak Rini ...

"Kita tuh.. cinta Indonesia dan kita tidak pernah ingin menjadi undocumented , tapi nasib yg membawa kita ke negara orang , sayangnya Tetesan keringat kita cuman dihargai dg seonggok kertas SPLP padahal harga diri kita di PASPORT...", betul2 kita cuman dianggep sebelah mata padahal keringat kita tuh adalah PELUMAS bg RODA LAJUNYA PEREKONOMIAN INDONESIA –bu Yati. September 2013. (Sumber – SEDANE, majalah perburuhan)

* * *

No comments: