Tuesday, March 4, 2014

"MENGGUGAT ULANG "AKADEMI JAKARTA (AJ)" YANG MENCORET NAMA MARTIN ALEIDA

Kolom IBRAHIM ISA 

Selasa, 04 Maret 2014

------------------------------------------


"MENGGUGAT ULANG "AKADEMI JAKARTA (AJ)"
YANG MENCORET NAMA MARTIN ALEIDA

*    *    *
Beberapa hari yang lalu, 28 Februari 2014, MARSELLI SUMARNO - Anggota Dewan Kesenian Jaskarta, menyiarkan SURAT TERBUKA. Isinya adalah
gugatan terhadap kebijakan AJ - Akademi Jakarta, yang  menuruti kebijakan ketuanya  Taufik Abdullah, telah mencoret nama penulis
Martin Aleida, dari pencalonan Dewan Juri, yang telah memilihnya sebagai pemenang Penghargaan 2103.

Dari Surat Terbuka Marselli Sumarno, menjadi jelas  bahwa Ketua AJ, Taufik Abdullah, bertindak di luar wewenangnya, membatalkan nama Martin Aleida,
karena menurut keterangan Sekretaris AJ, keputusan Dewan Juri sesungguhnya adalah MENENTUKAN.

Perjuangqan MELAWAN LUPA, MELAWAN  DIAM, adalah suatu proses yang berjalan terus, meskipun orang-orang seperti Taufik Abdullah,
juga akan terus menrintangi, mengahalangi dan menentangnya. Alasan pencporetan nama Martin Aleida, dengan dalih
bahwa calon yang satunya telah lebih lama berkarya, adalah non sense. Marselli Sumarno mengungkap bahwa dibanding calon I Gusti Kompiang,
yang telah 45 tahun berkarya, MARTIN ALEIDA telah berkarya lebih lama -- 51 tahun.  Lagipula dari segi mutu karyanya, jelas unggul seperti yang
dikemukakan konsideran Dewan Juri, (konsepnya dibuat oleh penulis Leila Chdori)  --:


“Membaca Martin adalah membaca kesedihan. Membacanya adalah juga sekaligus menyaksikan sejarah hitam dalam setiap huruf-hurufnya. Tetapi kata-kata yang dibangun menjadi ceritanya juga menerbitkan harapan yang tak lazim. Dalam serangkaian cerita pendek dalam kumpulannya yang terbaru Langit Pertama Langit Kedua, cerita pendek Di Kaki Hariara 20 Tahun Kemudian adalah sebuah kisah sederhana tentang guru yang menerapkan demokrasi, satu konsep asing di dalam dunia pendidikan di Indonesia; Wasiat untuk Cucuku adalah surat yang jujur kepada para generasi baru tentang hidup di Indonesia dengan segala realitanya. Dengan bahasa yang sederhana, diksi yang tepat, cerita pendek ini berhasil membuat ledakan di sebuah ruang yang sempit bernama cerpen”

*     *     *

Tidak ada jalan lain bagi  AJ, bagi ketuanya Taufik Abdullah, untuk mawas diri, mempertimbangkan dengan sunggh-sungguh
protes dan gugatan yang diajukan pelbagai fihak khususnya oleh Dewan Juri yang sebagai tindakan protes telah mengundurkan
diri, --  Akademi Jakarta HARUS MENGAKUI KESALAHAN DAN KESEWENANG-WENANGANNYA DALAM MENCORET NAMA MARTIN ALEIDA.

Menolak tanggapan kritis masyarakat  terhadap AJ, menunjukkan bahwa AJ di bawah pimpinan ketuanya Taufik Abdullah,
sudah kehilangan samasekali kredibilitasnya sebagai suatu lembaga budaya -seniman/penulis.

Dan  oleh karenanya AJ sudah tidak punya tempat lagi dalam kehidupan budaya Jakarta dan Indonesia.

*    *    *

    

Surat Terbuka kepada Akademi Jakarta dari Marselli Sumarno (Anggota Dewan Kesenian Jakarta)
28 February 2014 at 07:55Surat Terbuka kepada Akademi Jakarta
Saya tergelitik untuk membuat surat terbuka ini setelah membaca berita Tempo (edisi 26 Januari, 2014), yang berjudul Menganulir Martin dan dengan sub judul : Penghargaan Akademi Jakarta 2013 batal diberikan kepada Martin Aleida. Diwarnai pengunduran dewan juri dan isu politis.

Penghargaan Akademi Jakarta (AJ)  melibatkan dewan juri yang terdiri dari saya bersama Astari Rasjid sebagai ketua juri, Leila S. Chudori, Ardjuna Hutagalung dan Jamal D. Rahman. Dewan juri memang telah mengundurkan diri.

Sikap itu kami ambil karena akhirnya AJ hanya memenangkan seniman tari dan musik tradisional Bali, I Gusti Kompiang Raka dan menganulir kemenangan sastrawan Martin Aleida. Keputusan final itu  ditetapkan dalam rapat AJ yang dihadiri oleh Taufik Abdullah (Ketua AJ), bersama Ajip Rosidi, AD Pirous, Saini KM berserta NH Dini. Padahal dewan juri telah menyorongkan dua seniman tersebut sebagai pemenang.

Menurut berita Tempo, Taufik menyatakan bahwa kewenangan juri hanya memberi masukan kepada AJ. Pernyataan Taufik itu sungguh perlu dikaji, sebab dalam pembukaan rapat pertama dewan juri, Abuhasan Asy’ari selaku Sekretaris AJ, telah menjelaskan bahwa peran dewan juri adalah menentukan pemenang penghargaan AJ. Mengapa pendapat Ketua dan Sekretaris AJ bertentangan? Maka, sewaktu rekan-rekan saya di Dewan Kesenian Jakarta mempertanyakan soal SK penjurian, jawaban saya cukup sederhana : Setahu saya yang selama ini berlaku adalah ‘SK sastra lisan’. Lebih jauh, pengalaman saya dalam  penjurian baik itu dalam Festival Film Indonesia, dalam lingkup TVRI serta dalam berbagai forum penghargaan lainnya, jelas dibedakan antara apa itu  komite seleksi dan dewan juri. Komite seleksi bertugas memilih unggulan para pemenang, sedangkan dewan juri menentukkan para pemenangnya.

Yang menarik bahwa Toeti Heraty, Wakil Ketua AJ, turut  hadir dalam rapat kedua dewan juri yang memutuskan Martin maupun Kompiang sebagai pemenang. Namun Toeti tidak hadir dalam rapat penetapan oleh AJ, sehingga beliau tidak bisa ‘mengawal’ keputusan dewan juri. Menurut Toeti, mungkin saja ada dua pemenang sekaligus, sedangkan soal hadiah akan diusahakan. Kenyataannya oleh  AJ, Kompiang dinilai pantas menerima penghargaan karena pencapaian prestasi hidupnya (life achievement). Dalam surat balasan AJ kepada dewan juri, juga ditegaskan bahwa Kompiang telah 45 tahun berkarya dan Martin belum menandingi Kompiang.

Dalam pembicaraan saya dengan Martin dan juga dalam catatan biografinya yang terdapat di kantor AJ, jelaslah bahwa sebenarnya Martin  (kini 70 tahun) itu  telah berkarya sejak tahun 1962. Maka kalau dihitung-hitung Martin sudah berkarir selama 51 tahun. Fakta yang tak terbantahkan bahwa dia sebenarnya mengungguli life achievement-nya Kompiang. Itulah mengapa dengan perjalanan karir Martin yang begitu panjang, Kompas telah memberikan hadiah kesetiaan profesi kepadanya di tahun 2013.

Saya teringat, di tahun 2009 saya bersama teman-teman  (antara lain Seno Gumira Ajidarma, Leila S. Chudori) juga berkesempatan menjadi dewan juri penghargaan AJ. Ditemani oleh Misbach Yusa Biran, Wakil Ketua AJ kami memutuskan pemenangnya adalah aktor Slamet Rahardjo. Misbach juga sempat menjelaskan ‘SK sastra lisan’ bagi dean juri. Patut dicatat, waktu itu Slamet baru berusia 60 tahun dan telah  meniti karirnya selama 36 tahun, terhitung sejak ia pertamakali main dalam film Cinta Pertama (1973). Jadi bagaimanakah konsistensi AJ dalam menerapkan kriteria kesetiaan profesi seorang seniman?

Kalaupun mau bicara soal politis, karena dulu Martin pernah terlibat dalam kegiatan di Lekra dan pernah dipenjarakan di zaman Orde Baru, namun dewan juri berfokus pada karya-karya sastranya dan tidak mengedepankan pembelaan politis. Dewan juri menuliskan konsideran-konsideran mengapa Martin layak dimenangkan. Konsideran yang sejak awal dikonsepkan oleh Leila S. Chudori itu antara lain berbunyi : “Membaca Martin adalah membaca kesedihan. Membacanya adalah juga sekaligus menyaksikan sejarah hitam dalam setiap huruf-hurufnya. Tetapi kata-kata yang dibangun menjadi ceritanya juga menerbitkan harapan yang tak lazim. Dalam serangkaian cerita pendek dalam kumpulannya yang terbaru Langit Pertama Langit Kedua, cerita pendek Di Kaki Hariara 20 Tahun Kemudian adalah sebuah kisah sederhana tentang guru yang menerapkan demokrasi, satu konsep asing di dalam dunia pendidikan di Indonesia; Wasiat untuk Cucuku adalah surat yang jujur kepada para generasi baru tentang hidup di Indonesia dengan segala realitanya. Dengan bahasa yang sederhana, diksi yang tepat, cerita pendek ini berhasil membuat ledakan di sebuah ruang yang sempit bernama cerpen”

Surat terbuka ini saya tulis dengan niat untuk ‘naik banding’ kepada lembaga AJ. Pertama, sebagian anggota AJ telah semena-mena dalam menerapkan kriteria kesetiaan profesi sebagai  ukuran utama bagi calon pemenang penghargaan. Kedua, AJ tidak membuka dialog dengan dewan juri. terutama dalam penetapan pemenang penghargaan. Ketiga, lagi-lagi kalau harus dikaitkan dengan soal politis, betapa Indonesia dewasa ini perlu suatu rekonsiliasi nasional atas Tragedi 1965 dan itu membutuhkan niat baik semua pihak, terutama dari para penguasa, cendekiawan, budayawan. Pertanyaannya : Apakah penyelenggaraan penghargaan AJ harus seperti ini? Perombakan macam apakah yang harus dilakukan oleh AJ agar tetap menjadi lembaga yang terpandang di masa depan? Salam.

 Marselli Sumarno,
Anggota Dewan Kesenian Jakarta.

No comments: