Saturday, May 24, 2014

'HARI KEBANGKITAN NASIONAL' Dan “KESADARAN BERBANGSA”

Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 20 Mei 2014
-----------------------------

'HARI KEBANGKITAN NASIONAL' Dan “KESADARAN BERBANGSA”

Adalah suatu tradisi yang mulya bahwa setiap tahun pada 20 Mei, kita berhenti sejenak MEMPERINGATI HARI KEBANGKITAN NASIONAl. Di saat situasi bangsa dan negeri menuntut diadakannya PERUBAHAN seperti tunttuan gerakan Reformasi dan Demokrasoi.

Di bawah ini disiarkan tulisan IBRAHIM ISA, Jum'at, 20 Mei 2010, memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei. Isinya amat relevan, yaitu ; MASALAH KESADARAN BERBANGSA.

Lalu ada sebuah tulisan Maria Hartininsih . . Isinya menarik dan mengharukan: Hari-hari sekitar digulingkannya Presiden Sukarno oleh Jendral Suharto. Kata-kata Bung Karno yang dikutip dalam tulisan Maria Hartiningsih, merupakan pesan dan ajaran penting sehubungan dengan \KESADARAN BRERBANGSA.

* * *

Memperingati “Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908”, dilakukan bangsa
kita dengan pelbagai cara. Seyogianya dengan tujuan utama MENINGKATKAN KESADARAN BERBANGSA. Karena, untuk meneruskan perjuangan demi kebenaran dan keadilan, demi kemulyaan dan kejayaan bangsa dan negeri Indonesia, yang dalam tahun-tahun belakangan ini menghadapi tantangan yang semakin gawat, -- amat diperlukan pengetahuan dan pengenalan tentang sejarah dan identitas bangsa sendiri . Hanya dengan landasan itu baru mungkin bisa ditegakkan keyakinan serta optimisme tak tergoyahkan, yang amat diperlukan dalam perjuangan yang panjang ini.

Dengan membalik-balik kembali banyak catatan dan lebih banyak lagi buku
mengenai sejarah bangsa ini, bisa diperoleh kejelasan bagaimana para
pendahulu kita, berjuang membangun, menegakkan serta memperkokoh “NATION BUILDING” dan “Character Building”.

Dalam periode pasca 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa dilanjutkan demi
menegakkan dan membela kedaulatan serta keutuhan wilayah negara Republik
Indonesia --- dari Sabang sampai Merauké. Berjuang untuk merealisasi
cita-cita dan tekad bangsa seperti yang tercantum dalam pidato Bung
Karno, “LAHIRNYA PANCASILA, 1 Juni 1945”. Visi dan falsafah berbangsa
itu semua telah dituangkan secara padat serta dipatrikan dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Dalam pada itu berbagai kegiatan
dan usaha keras terus dilakukan untuk menarik pelajaran dari pengalaman
perjuangan selama ini.

/* * *

Cara memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, seperti tsb
diatas, sudah banyak dilakukan. Khususnya oleh generasi muda, para
mahasiswa, cendekiawan dan para aktivis pelbagai organisasi massa dan
LSM, media dll. Yang peduli nasib dan haridepan bangsa dan tanah air.
Yang punya cita-cita mulya berjuang demi merealisasi tuntutan gerakan
Reformasi. Suatu gerakan masa yang historis. Yang berhasil menggoyahkan
serta menggulingkan rezim otoriter dan opresif Orde Baru, – – – Tetapi
masih tersendat-sendat dalam memberlakukan secara konsisten tuntutn
agenda Reformasi, teristimewa yang bersangkutan dengan pelaksanaan 'rule
of law' dan HAM. Halmana menunjukkan masih besarnya pengaruh dan
kekuatan riil Orde Baru yang formalnya sudah ditumbangkan sejak Gerakan
Reformasi dan Demokratisasi Mei 1998./

* * *

Memperingati Hari Kebangkitan Nasional, kali ini, dimaksudkan menarik
perhatian pembaca pada hal yang mungkin dilupakan. Tampaknya hal yang
sudah seharusnya difahami dan dikhayati bersama. Yaitu mengenai peranan
serta perjuangan pejuang-pejuang pendahulu dalam MEMBANGKITKAN bangsa dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Lebih kongkrit lagi dalam
MEMBANGUN BANGSA. Agar dari keteladan beliau-beliau itu dikhayati
bersama manfaatnya.

Benar! Sukarno-Hatta telah resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Ajaran-ajaran Bung Karno oleh pelbagai lembaga pendidfikan dan studi dan
bahkan parpol, – dinyatakan sebagai ide-pembimbing kegiatan dan
perjuangan. Namun dalam kehidupan politik serta tindakan sehari-hari,
terkesan bahwa pernyataan-pernyataan serupa itu, tinggal di atas kertas
saja. Ajaran Bung Karno mengenai 'nation building' dan 'character building' boleh dikatakan hampir terlupakan samasekali.

Setelah berhasil menggeser Presiden Sukarno dari kedudukannya sebagai
kepala negara dan kepala pemerintah RI, -- Jendral Suharto menjadi
presiden RI melalui proses 'kudeta merangkak' <çreeping coup d'etat>.
Rezim Orba yang dikepalainya mempergencar kampanye 'de-Sukarnosasi'.
Lebih dari tigapuluh tahun lamanya rezim Orba terus menerus melakukan
segala sesuatu untuk menghapuskan dari catatan sejarah bangsa, nama dan
peranan Bung Karno dalam proses perjuangan bangsa Indonesia melawan
kolonialisme Belanda yang beliau lakukan sambil bersamaan dengan itu
membangun dasar ideologi dan politik bagi suatu NATION BUILDING.
Pembangunan Bangsa Indonesia.

* * *

Untuk menyegarkan fikiran dan semangat, serta mengokohkan KESADARAN
BERBANGSA, MENGKHAYATI IDENTITAS BANGSA, MENGKHAYATI PANJACASILA, PRINSIP BERBANGSA BHINNEKA TUNGGAL IKKA, kini sudah waktunya suatu gerakan belajar kembali AJARAN -AJARAN BUNG KARNO. Dewasa ini lebih dari cukup buku dan tulisan mengenai ajaran Bung KARNO. Teristimewa yang telah tersusun dengan baik dalam karya klasik Bung Karno: “Dibawah Bendera Revolusi” , Jilid I dan II. Serta pidato-pidato beliau. Khususnya setelah terjadinya Peristiwa G30S, yang dibukukan dalam dua jilid, “REVOLUS BELUM SELESAI”. Juga tak boleh kurang buku klasik dan otentik riwayat hidup Bung Karno, “AN AUTOBIOGRAPHY, As Told to Cindy Adam, 1965”.

* * *

Disamping itu, kiranya menarik, untuk membaca bahan ilustrasi mengeni
pribadi Bung Karno. Betapa beliau berusaha mencegah terjadinya 'perang
saudara' , dan kareanya tidak melakukan perlawanan frontal terhadap
'kudeta merangkak' Jendral Suharto. Serta betapa kekuasaan militer
Jendral Suharto ketika itu dengan sewenang-wenang memperlakukan pejuang dan Bapak Nasion Bung Karno. Bunng Karno diperlakukan lebih dari seorang kriminil.

Disajikan di bawah ini sebuah artikel berjudul SEPOTONG SEJARAH. Artikel
tsb disiarkan oleh Maria Hartiningsih, Sbb:

SEPOTONG SEJARAH PUTU SUGIANITRI
Oleh Maria Hartininsih
,

* * *

Apakah bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar?

Putu Sugianitri terdiam sejenak sebelum mengatakan, bangsa yang besar
adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya.
Putu Sugianitri (60), yang saat ini lebih dikenal sebagai pembudidaya
jeruk bali, adalah ajudan terakhir Bung Karno. Ia baru bertugas sekitar
setahun ketika situasi politik di dalam negeri sangat kritis.

Nitri, panggilannya, dilantik sebagai polisi wanita (polwan) pada pagi
30 September 1965 di Sukabumi, setelah mengikuti pendidikan bintara setahun.

"Ada 31 siswa bintara waktu itu, lima dari Bali,"/ungkap Nitri, suatu
siang ketika kami berbincang di bale bengong bambu di halaman rumahnya,
di kawasan Renon, Denpasar, Bali.

Mungkin ia termasuk siswa paling muda kalau menilik usia sebenarnya. Ia
mengaku "mencuri umur". Syarat usia menjadi siswa bintara 18 tahun,
dengan tingkat pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Nitri saat itu
baru selesai SMP. Pada acara ramah tamah malam hari setelah pelantikan, sedianya Kepala Polri datang, tetapi tak jadi karena ada sesuatu yang penting di Jakarta.

"Saya sudah pakai kostum tari," tutur Nitri.
Di antara siswa-siswa seangkatan, ia dikenal sebagai penari Bali yang andal.
"Tiba-tiba lampu mati. Acara batal. Saya tidak jadi menari. Kami kembali
ke asrama."

Beberapa hari setelah itu, seorang polisi dari Detasemen Kawal Pribadi
Presiden, dikomandani Ajun Komisaris Besar Mangil, menggantikan
Tjakrabirawa, menjemputnya ke Jakarta untuk bergabung dengan enam polwan
lain di Istana Negara.

Di istana juga ada ajudan lain, masing-masing dua dari Korps Wanita
Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Semuanya berseragam.
Nitri satu-satunya ajudan yang tak berseragam karena tugasnya lebih
untuk mendampingi Bung Karno di istana, menyiapkan makanan, minuman,
serta obat.Pekerjaan Nitri dimulai pada pukul enam pagi untuk mencari kue-kue jajan pasar kesukaan Bung Karno.

"Beliau paling suka lemper ayam yang daging ayamnya diopor, disuwir-suwir, dan lempernya digulung dengan daun pisang hijau pupus. Juga hunkue tak berwarna yang di dalamnya ada pisang kepok,"/tutur Nitri.

"Beliau suka sekali sayur lodeh bari, ini sayur lodeh yang sudah tiga hari."

Bung Karno, kata Nitri, mengenal kedisiplinan sekaligus watak keras Nitri.
Ia berani bertanya, bahkan membantah Bung Karno kalau perlu.
Tetapi, ia juga sangat setia.

Dia adalah satu dari sedikit orang yang menjadi saksi saat-saat terakhir
Bung Karno sebagai presiden dan bagaimana kemudian keluarganya diperlakukan.

Berhenti.
Pengumuman Bung Karno diberhentikan sebagai presiden terjadi ketika Bung
Karno berada di Bogor. "Beliau berada di Istana Bogor, Jumat, naik helikopter. Begitu ada pengumuman, Bung Karno kembali ke Jakarta, dengan
baju biasa, naik VW Combi.”Sukma (Sukmawati Soekarno) waktu itu tanya/,

Kok baju Bapak enggak dipakai.’
Bung Karno menjawab, ’/Kan, sudah ada pengumuman Bapak bukan presiden
lagi,’" Nitri mengucapkan kalimat itu dengan suara tercekat.

Bung Karno dan para ajudan sempat melihat-lihat situasi Jakarta dengan
kendaraan itu. Ia berpakaian biasa, tanpa peci. Waktu itu sedang musim
rambutan. Bung Karno ingin makan rambutan rapiah kesukaannya.

"Beliau bilang dalam bahasa Bali, ’/Tri, sing ngelah pis, saya tak punya
uang.’" ,. "Saya turun, membeli rambutan, lalu bilang ke pedagangnya, ’Tolong
kasih ke orangtua di mobil itu.’ /

Bung Karno bertanya, ’Manis enggak?’ Suara khas itu membuat si pedagang
tahu siapa yang ia hadapi."
Sebelum diusir dari istana, setiap pagi Bung Karno membaca semua koran
yang terbit, yang semua mendiskreditkan namanya.

"Saya tanya, kok Bapak diam saja. Beliau menjawab, ’
Saya tidak mau terjadi perang saudara karena pro dan kontra.’
Beliau juga tidak sudi meminta suaka seperti dilakukan Pangeran Norodom
Sihanouk dari Kamboja.
Kata beliau, ’Saya lebih baik mati di sini, tetapi Indonesia selamat
dari perang saudara.’"/
Dalam suasana politik yang panas itu, berbagai gosip juga menerpanya
terkait dengan Bung Karno.
"Saya marah sekali. Tapi, bisa apa saya?"suaranya meninggi.

Nitri berhenti menjadi ajudan setelah Bung Karno dipindahkan ke Wisma
Yaso, diasingkan dari teman-teman, kerabat, dan keluarga.
Ia sempat diminta menjadi ajudan keluarga penguasa yang baru, tetapi
ditolaknya.

"Semua orang waktu itu melihat kami dengan pandangan jijik. Untuk apa
saya bekerja di situ?"
Protes atas perlakuan terhadap Bung Karno dan keluarganya, ia lakukan
dengan menyatakan berhenti sebagai polwan.
"Kalau Bung Karno, Bapak Bangsa dan Proklamator saja bisa diperlakukan
seperti itu, apalagi orang seperti saya?"

Setelah itu Nitri sempat tinggal di rumah Ibu Fatmawati dan menyaksikan
dari dekat kesulitan-kesulitan yang dihadapi keluarga Bung Karno.
Ia sempat bertemu lagi dengan Bung Karno, ketika mantan presiden itu
mendapat izin menghadiri upacara perkawinan Guntur dengan dikawal ketat.

"Mukanya bengkak, topinya menceng-menceng dan sudah banyak lupa,"ungkap
Nitri mengenang.Kepada Bung Karno, ia sempat meminta nama untuk anak sulungnya.

/"Nama itu ditulis di secarik kertas kecil, disembunyikan Mbak Mega di
bawah alas sepatu. Pemeriksaan waktu itu sangat ketat, meski yang datang
menengok anggota keluarga dekat. Bung Karno memberi nama anak saya,
Fajar Rohita. Sekarang usianya 39 tahun."/

Melanjutkan Hidup

Meski situasi sudah jauh lebih baik, bahkan Megawati pernah menjadi
Presiden RI, menurut Nitri, ada bagian sejarah yang tak bisa diubah dan
harus diingat, agar bangsa ini belajar dari apa yang dilakukan terhadap
orang yang berjasa melahirkan negeri ini.

"Sampai saat ini masih *sulit * buat saya menerima *perlakuan terhadap
Bung Karno pada hari-hari terakhir beliau," ujarnya.

Nitri menjalani kehidupan berkeluarga yang penuh dinamika. Sempat
tinggal di Bandung, Nitri kembali ke Bali. Ia melukis, menjadi eksportir
kerajinan Bali dan menari. Sebagian lukisannya yang beraliran surealis
tergantung di dinding rumahnya yang sederhana.
Beberapa tahun terakhir ini, ketika enam dari tujuh anaknya sudah
mandiri, Nitri mengembangkan tanaman langka Bali di lahan yang ia
kontrak selama 30 tahun.

"Mulanya saya hanya ingin makan buah-buahan asli Bali yang biasa saya
makan waktu masih kecil. Selain jeruk bali besar merah, juga mangga
amplemsari, itu mangga asli Bali yang sudah langka," ujarnya.
Setiap hari ia bangun pukul empat pagi, lalu ke pasar, belanja untuk
warung makan kecil yang dijalankan pembantunya. Setelah itu, seharian ia
berada di kebun.

Nitri menjalani hidupnya seperti orang kebanyakan, tetapi dengan
kesadaranbahwa _dari setiap langkah yang terayun, ada ingatan yang
tertinggal_. _Itulah jejak sejarah.Sumber: KCM, Sabtu, 18 Agustus 2007._

* * *





No comments: