Sabtu,
24
Mei 2014
------------------------------
(Mugiyanto, korban penculikan prabowo, Kompas, 24 mei, 2014):
------------------------------
LAGI SUARA GENERASI MUDA
“Kami yang Menanti
Keadilan”
*
* *
“. . . .. Saya adalah salah satu dari sembilan
orang yang selamat dari penculikan dan usaha penghilangan
paksa oleh pasukan Tim Mawar Kopassus tahun 1998. . .”
* * *
Kita diingatkan kembali oleh Mugiyanto,
Ketua IKOHI, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, bahwa
KEADILAN BELUM DITEGAKKAN bagi para korban pelanggaran HAM sejak
Peristiwa 1965, khususnya keadilan bagi Penyintas Peristiwa
Penculikan Aktivis Tahun 1998.
Peringatan dan tumtutan Mugiyanto sebagai
salah seorang dari generasi muda korban langsung pelanggaran HAM
khususnya dalam Peristiwa Penculikan Aktivis 1998, sesungguhnya
ditujukan pertama-tama kepada Presidan SBY.
Presiden SBY hampir 10 tahun lamanya
menduduki jabatan Presidin RI. Tetapi hampir tidak ada
samasekali kebijakannya yang bisa dinilai sebagai pertanda
kepeduliannya terhadap penanganan kasus pelanggaran HAM di masa
rezim Orde Baru. Contoh yang menyolok ialah kebijakan SBY
mengenai kasus pembunuhan seorang aktivis pejuang HAM dan
Demokrasi – MUNIR, dimana terlibat aparat intel negara. Meskipun
sudah bertahun-tahun berlangsung unjuk rasa dan tuntutan
kongktit di depan Istana, untuk keadilan bagi Munir.
* * *
Mugiyanto mengajukan kebijakan dan cara
yang seharusnya dilakukan oleh Presiden SBY, selagi masih ada
sedikit waktu tersisa sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan, sbb:
“ Karena itulah,
Presiden SBY pulalah yang harus memberikan ultimum remedium
untuk kasus ini dengan cara mengimplementasikan rekomendasi
DPR yang meliputi:
(1) pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc;
(2) pencarian 13 orang yang masih hilang;
(3) pemberian kompensasi dan rehabilitasi
kepada keluarga korban; dan
(4) ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan
Paksa.
Kami sadar, waktu
yang tersisa bagi SBY tidak mungkin lagi cukup untuk
memenuhi semua harapan korban. Tetapi, setidaknya SBY bisa
meletakkan landasan bagi ultimum remedium bagi pemerintah
selanjutnya untuk menyelesaikan kasus ini, dan pada saat
yang sama Presiden SBY bisa melakukan graceful exit yang
akan dikenang generasi mendatang. '
* * *
Dengan sendirinya peringatan dan tuntuan
tsb juga ditujukan kepada calpres JOKO WIDODO, yang sebagai
calpres nyata mendapat dukungan kuat dari lapisan masyarakat
yang luas:.
Masyarakat merasa agak legak karena
Jokowi dengn jelas sudah menyatakan bahwa masalah pelanggaran
HAM masa lampai harus 'diselesaikan' .
* * *
Tepat sekali sejarawan generasi muda
Wilson Obrigados di ruangannya di Facebook hari ini,
mengangkat bagian dari seruan dan tuntutn Mugiyanto, sbb:
"Keluarga korban penghilangan paksa tak
berutang apa pun pada partai politik yang saat ini sedang
berkontestasi melalui pemilu. Sebaliknya, partai politik
yang ada hari ini memiliki utang sejarah kepada mereka yang
telah jadi martir dalam perjuangan menentang otoritarianisme
Orde Baru. Perjuangan kami untuk kebenaran dan keadilan
melampaui politik elektoral yang menjemukan hari ini.
Perjuangan kami adalah perjuangan sepanjang usia, kecuali
kebenaran dan keadilan bisa kami raih lebih cepat sebelum
ajal menjemput." (Mugiyanto, korban penculikan prabowo, Kompas, 24 mei, 2014):
* * *
Lengkapnya
Seruan
dan tuntutan Mugiyanto:
“Kami
yang
Menanti Keadilan”
Mugiyanto (korban
penculikan) Penyintas Peristiwa Penculikan Aktivis Tahun
1998; Kini Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia
(IKOHI) di
Opini Kompas, 24 Mei 2014, hari ini cukup menarik, membuka
kebohongan kebohongan Prabowo, Kivlan Zen, Fadli Zon...
HAMPIR selama sebulan
terakhir, wacana di media mengenai calon presiden untuk Pemilu
Presiden 2014 sangat kental diwarnai isu pelanggaran HAM,
khususnya terkait kasus penculikan dan penghilangan paksa
aktivis pro demokrasi tahun 1997-1998.
Ada tiga alasan yang
melatarbelakangi hal ini. Pertama, salah satu capres potensial,
Prabowo Subianto, diduga kuat terlibat dalam beberapa
pelanggaran hak asasi manusia pada masa Orde Baru, terutama
kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis.
Kedua, saat ini adalah
bulan Mei yang 16 tahun lalu ditandai momentum-momentum sejarah
kebangsaan: penembakan mahasiswa di kampus Universitas Trisakti
pada 12 Mei 1998 dan peristiwa kerusuhan 13-15 Mei yang
mengorbankan lebih dari 1.000 jiwa, disertai turunnya Soeharto
sebagai Presiden RI pada 21 Mei.
Ketiga, dan ini yang
menjadi pemicu utama, adalah pernyataan Mayjen (Purn) Kivlan Zen
dalam acara ”Debat” TV One pada 28 April 2014 mengenai
penculikan aktivis 1997-1998. Pada acara yang disaksikan jutaan
pemirsa di seluruh Tanah Air itu, Kivlan Zen yang pada 1998
menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad, dengan nada bangga dan
berapi-api, mengatakan, ”Yang menculik dan hilang, tempatnya
saya tahu di mana, ditembak, dibuang….”
Pengakuan yang
otoritatif
Saya adalah salah satu
dari sembilan orang yang selamat dari penculikan dan usaha
penghilangan paksa oleh pasukan Tim Mawar Kopassus tahun 1998
yang sedang dibicarakan oleh Kivlan Zen. Saya mendengar langsung
ucapan Kivlan Zen karena—bersama istri—saya sedang duduk di
depan televisi. Ada hening di pikiran saya, dengan jantung
berdetak hebat.
Istri saya menatap saya
dalam diam. Yang muncul di pandangan saya kemudian adalah wajah
kawan-kawan terdekat saya yang sampai hari ini masih belum
ketahuan kabarnya: Petrus Bimo Anugerah, Wiji Thukul, Herman
Hendrawan, dan Suyat. Juga wajah-wajah Yani Afri, Yadin Muhidin,
Ucok Siahaan, Noval Alkatiri, Deddy Hamdun, dan wajah-wajah lain
yang tiap hari saya lihat dalam poster yang ada di IKOHI, tempat
saya beraktivitas.
Saya tidak habis pikir,
mengapa orang di TV itu, Kivlan Zen, berbicara tentang
penderitaan manusia dengan sedemikian enteng. Saya lebih
menganggapnya sebagai perasaan keji. Tak tahukah dia bahwa tiap
hari selama lebih dari 16 tahun, segenap keluarga dari 13
aktivis yang masih hilang itu masih sabar menunggu kembalinya
orang-orang yang mereka cintai. Bahkan, empat orangtua dari
mereka yang hilang meninggal dalam penantian panjang.
Bagi saya, Kivlan tak
hanya telah melukai rasa kemanusiaan keluarga korban. Lebih dari
itu, yang sedang ia pertontonkan adalah mempermainkan
penderitaan keluarga korban dengan menganggap para korban hanya
sebagai angka semata. Saya jadi ingat apa yang pernah dikatakan
diktator Uni Soviet, Joseph Stalin, ”Satu orang mati adalah
sebuah tragedi, satu juta orang mati adalah sebuah statistik.”
Apa yang disampaikan
Kivlan Zen adalah sesuatu yang penting. Sebab, saat peristiwa
penculikan dan penghilangan paksa terjadi, jabatannya adalah
Kepala Staf Kostrad. Dengan jabatan yang melekat pada dirinya,
pernyataan Kivlan Zen adalah pengakuan yang otoritatif dan
memiliki konsekuensi hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 165 KUHP
yang mengharuskan setiap orang yang mengetahui atau memiliki
informasi tentang tindak pidana kejahatan harus melaporkannya
kepada aparat penegak hukum.
Pernyataan Kivlan Zen
juga merupakan sebuah pengakuan bahwa tindakan penghilangan
paksa terhadap 13 orang yang masih hilang adalah benar adanya.
Sejauh mana Kivlan Zen sendiri terlibat, siapa pelaku, korban,
bagaimana peristiwa dan tempat kejadian adalah informasi penting
yang harus ditindaklanjuti oleh penegak hukum, dalam hal ini
Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Menanggapi perkembangan
tersebut, keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 7-8 Mei
2014 untuk membentuk tim dan melakukan pemanggilan terhadap
Kivlan Zen harus diapresiasi. Namun, untuk mempercepat proses
pengungkapan kasus dan memberikan kepastian hukum tidak hanya
kepada korban, tetapi juga pelaku harus ditindaklanjuti.
Pemanggilan Prabowo
oleh Komnas HAM sangat penting dilakukan. Terutama untuk
mendalami pernyataannya selama ini bahwa ia hanya bertanggung
jawab atas “pengamanan” terhadap sembilan aktivis, yang semua
sudah ”dibebaskan”, serta membantah bertanggung jawab atas 13
aktivis lain yang masih hilang. Bantahan ini sebenarnya telah
dimentahkan oleh kesaksian beberapa korban yang selamat, antara
lain Faisol Riza dan Rahardja Waluya Jati—bahkan Pius
Lustrilanang dan Desmon J Mahesa—yang mengatakan, saat berada di
tempat penyekapan, mereka sempat berkomunikasi dengan Herman
Hendrawan, Yani Afri, Sony, Deddy Hamdun, dan lain-lain. Ini
berarti, antara mereka yang telah dilepaskan dan yang masih
hilang pernah disekap di tempat yang sama.
Perjuangan sepanjang
usia
Dalam berbagai
kesempatan, Fadli Zon mengatakan bahwa usaha keluarga korban dan
aktivis HAM untuk menuntut penyelesaian kasus ini adalah
kampanye lima tahunan yang ditujukan untuk menjegal Prabowo
Subianto menjadi capres. Fadli Zon tampaknya menutup mata, tidak
mau melihat, bahwa sejak hari pertama keluarga korban tahu anak
dan suami mereka hilang, mereka telah berjuang dengan melakukan
berbagai pencarian.
Waktu 16 tahun bukanlah
pendek. Selama itu pula perjuangan keluarga korban telah melalui
berbagai milestone, misalnya penyelidikan oleh Komnas HAM
(2005-2006), penyerahan hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung
(2006), rekomendasi DPR kepada Presiden (2009), pemberian Surat
Keterangan Keluarga Korban Penghilangan Paksa dari Komnas HAM
(2011), serta rekomendasi Ombudsman kepada Presiden (2013).
Keluarga korban
penghilangan paksa tak berutang apa pun pada partai politik yang
saat ini sedang berkontestasi melalui pemilu. Sebaliknya, partai
politik yang ada hari ini memiliki utang sejarah kepada mereka
yang telah jadi martir dalam perjuangan menentang
otoritarianisme Orde Baru. Perjuangan kami untuk kebenaran dan
keadilan melampaui politik elektoral yang menjemukan hari ini.
Perjuangan kami adalah perjuangan sepanjang usia, kecuali
kebenaran dan keadilan bisa kami raih lebih cepat sebelum ajal
menjemput.
Satu hal yang sekarang
masih kami tunggu dan perjuangkan adalah tindakan presiden yang
kami anggap sebagai ultimum remedium untuk kasus ini (Djisman
Samosir, 2011). Ultimum remedium adalah upaya terakhir dalam
penegakan hukum manakala sanksi-sanksi lain sudah tidak berdaya.
Presiden SBY kami anggap pihak yang turut bertanggung jawab atas
penundaan dan pengingkaran hak dan keadilan bagi korban sehingga
kasus ini menjadi kelihatan rumit dan penuh politisasi.
Karena itulah, Presiden
SBY pulalah yang harus memberikan ultimum remedium untuk kasus
ini dengan cara mengimplementasikan rekomendasi DPR yang
meliputi:
(1)
pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc;
(2)
pencarian 13 orang yang masih hilang;
(3)
pemberian kompensasi dan rehabilitasi kepada keluarga korban;
dan
(4)
ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Kami sadar, waktu yang
tersisa bagi SBY tidak mungkin lagi cukup untuk memenuhi semua
harapan korban. Tetapi, setidaknya SBY bisa meletakkan landasan
bagi ultimum remedium bagi pemerintah selanjutnya untuk
menyelesaikan kasus ini, dan pada saat yang sama Presiden SBY
bisa melakukan graceful exit yang akan dikenang generasi
mendatang.
Mugiyanto
No comments:
Post a Comment