Wednesday, May 28, 2014

SEKITAR Catatan: Dr. Nono Anwar Makarim "FASISME DI INDONESIA INGIN KEMURNIAN AGAMA DAN JUGA UUD 45” Dan Komentar Prof Dr Magnis Suseno SJ. Terhadap Visi Prabowo menyangkut Toleransi Agama

Kolom Ibrahim Isa
Selasa, 27 Mei 2014
----------------------------


SEKITAR Catatan: Dr. Nono Anwar Makarim

"FASISME DI INDONESIA INGIN KEMURNIAN AGAMA DAN JUGA UUD 45”


Dan Komentar Prof Dr Magnis Suseno SJ. Terhadap Visi Prabowo menyangkut Toleransi Agama

* * *

Artikel Nono Anwar Makarim, di bawah ini (diusung oleh Goenawan Mohammad), punya arti relevan dan nilai praktis di saat masyarakat kita , disajikan visi dan misi oleh para calpres 2014, menjelang pilpres 9 Juli 2014. Seperti yang diajukan oleh Jokowi dan PDI-P (Trisakti), dan yang diajukan oleh Prabowo dan Gerindra (Manifesto Gerindra).

Artikel Makarim mengangkat masalah (bahaya) FASISME di Indonesia, kaitannya dengan usaha 'pemurnian' konsep ketatanegaraan maupun keyakinan agama.

Maka artikel Makarim tsb patut dibaca dan dipertimbangkan.

* * *

Begitu juga patut dibaca dan dipertimbangkan komentar Prof. De Franz-Magnis Suseno SJ. Ia menyoroti bahaya yang bisa timbul dari visi Prabowo/Gerindra menyangkut kebebasan dan toleransi bagi dan di kalangan penganut agama. Tulis Magnis a.l , :

"Negara dituntut utk menjamin kemurnian ajaran agama yg diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan & penyelewengan dari ajaran agama."
. . . . Itu berarti bahwa bagi Prabowo suatu pemerintah akan merasa berhak menindas semua agama & kepercayaan di luar enam agama yg diakui dalam UU Penodaan Agama, misalnya Achmadiyah, Syia, Saksi Yehowa, Mormon, Bahai, Taman Eden & sekian tarekat Islami. Demikian Magnis Suseno.


* * *

Maksud penyajian dua pendapat tsb, ialah, agar masyarakat memanfaatkan periode menjelang pilpres 9 Juli 2014, demi menggalakkan pendidikan politik dan ideologi bagi masyarakat. Banyak berfikir dan mempertimbangkan, Dengan kritis berusaha menganalisis pelbagai visi dan misi menyangkut kelangsungan hidup bangsa dan negeri ini.

* * *

Goenawan Mohamad

FASISME DI INDONESIA INGIN KEMURNIAN AGAMA DAN JUGA UUD 45 -- Oleh Nono A. Makarim (menyambut komentar Franz-Magnis Suseno)

Gerakan pemurnian agama atau moralitas di sepanjang sejarah selalu berbuntut persekusi terhadap yang menyimpang atau menyeleweng. Di Indonesia kita sedang menyaksikan drama ini hampir setiap hari di Jawa Barat, di Madura, di Jawa Timur dan Sulawesi. Yang menganggap dirinya “murni”, melihat sesuatu yang berbeda sebagai “polusi” atas kemurniannya. Yang beda dianggap ancaman, dan yang mengancam dinyatakan sah untuk dibasmi demi dipertahankannya kemurnian itu. Dan terjadilah pengusiran, pengenyahan, dan pemburuan terhadap yang menyimpang.

Pembasmian akan berlangsung lebih bengis, kejam, dan lewat batas kemanusiaan bila didukung oleh keyakinan bahwa perbuatannya tidak hanya dihalalkan, bahkan berpahala.

Susahnya adalah bahwa tidak ada suatu ide di dunia yang menguasai hampir seluruh aspek kehidupan manusia yang lambat laun tidak mengalami sempalan yang memenuhi kebutuhan khusus sebagian masyarakat yang tidak dipenuhi oleh ide induknya. Aliran, sekte, dan pemikiran baru selalu muncul. Yang yakin akan kemurniannya selalu merasa terancam, dan yang dianggap menyeleweng akan selalu dikejar, dan dihabisi. Apalagi jika dijanjikan oleh suatu Manifesto yang begitu didambakan oleh banyak orang.

Gerindra tidak hanya berjanji berjuang untuk pemurnian agama. Partai Gerakan Indonesia Raya juga menggandrungi UUD 45 yang murni. Kita mengerti bahwa kalau orang takut akan apa yang akan terjadi di hari depannya, dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya di masa kini, ia akan bernostalgi ke masa lalu.

Nostalgia akan UUD yang secara gemilang digunakan oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno untuk melaksanakan demokrasi dan ekonomi terpimpinnya dan secara keras dipakai oleh Jenderal Besar Suharto dalam tangan besi Demokrasi Pancasilanya adalah UUD 45 yang "murni", sebelum terkena “polusi” hak-hak asasi, yang menolak Trias Politika, yang dilandasi filsafat Kawula Gusti. Bagi pandangan ini, bangsa seperti keluarga. Yang memimpin keluarga, yang menjadi Kepala keluarga adalah seorang Bapak. Seorang Bapak dan keluarga nya merupakan suatu kesatuan harmonis yang tidak boleh dipisah.

UUD 45 yang murni berkemampuan mendukung pemerintahan yang otoriter, baik sipil maupun militer berpuluh-puluh tahun, melintasi pembunuhan masal terbesar dalam sejarah bangsa, dan legitimasi praktek sistemik pemerintahan korup. Konsepsi kawulo gusti mungkin lebih dikenal di kawasan Eropa dibawah semboyan “ein Volk, ein Führer, ein Ja” , atau “ein Volk, ein Reich, ein Führer”, "satu bangsa, satu pemimpin, satu suara"
Ini filsafat yang dicanangkan oleh partai nasional sosialis (NAZI) Adolf Hitler di Jerman, oleh Benito Mussolini di Italia.

Semangat UUD 45 yang aseli, sebelum Reformasi, sebelum hak-hak asasi ditegaskan, di samping tergali dari sumber peradaban aseli Jawa, banyak menemukan resonansi dalam doktrin NAZI di Jerman dan Fasci di Combattimento Italia. Sungguh tidak mengherankan kalau UUD 45 yang murni dan yang memungkinkan diktatur bertahta begitu lama disebut sebagai konstitusi fasis. Bebarapa perumusnya tidak terlalu keberatan pada julukan itu.

Karena pertama, Indonesia dalam keadaan diduduki militer Jepang, dan yang membentuk BPUPKI adalah Markas Besar Militer Jepang di Jawa. Kedua, jaman dulu belum ada TV yang mempertontonkan kekejian perang dan dampaknya dalam saat seketika kejadiannya. Horor kamp-kamp konsentrasi Negara-negara poros fasis Eropa di Dachau, di Buchenwald, Auschwitz, Salerno, Padua dan Trieste tidak diketahui oleh dunia. Bagi Negara-negara jajahan perang Jerman, Italia, dan Jepang melawan poros Negara kolonialis dan imperialis justru dipuji dan didoakan agar menang. FASIS di saat perbincangan filsafat yang mendasari UUD45 yang murni belum memperoleh arti makian, cercaan, hinaan seperti sekarang. Dianggap fasis pada saat itu bahkan berarti berjuang melawan para imperialis.

Sekarang kita tahu dan mengerti lebih banyak. Sekarang kita sudah mengalami dan menderita lebih banyak di bawah cepolan tangan besi UUD 45 yang murni dan falsafah pendukung kekuasaannya. Cukup sudah penggalian unsur-unsur “Luhur” dari masa lalu sejarah faktual atau imaginer yang sebenarnya adalah sekadar kedok bahasa untuk diktatur. Kerinduan akan UUD45 yang murni, dengan sikap yang menganggap pengadilan hak asasi yang “berlebihan” mudah disimpulkan sebagai FASISME yang untuk berusaha kembali.

Barangkali Manifesto Gerindra perlu dirumuskan kembali dengan vernakular jaman sekarang, bukan bahasa 1945. RI butuh partai yang dikelola secara modern, partai yang tidak dijadikan pondok penginapan anak-cucu.
________________
Catatan: Dr. Nono Anwar Makarim adalah jurnalis dan pakar hukum yang

* * *

Kutipan KOMENTAR Dr. FRANZ-MAGNIS SUSENO S.J. Tentang MANIFESTO GERINDRA.

Sampai sekarang saya selalu berusaha untuk tidak menjawab apa "kita" "harus" memilih Prabowo atau Jokowi. Itu bukan hak saya. Tetapi dengan diumumkannya Manifesto Gerindra saya tidak dapat diam lagi. Di dalamnya ada dua hal yang serius.

Yang pertama, dalam manifesto itu ditulis: "Adanya Pengadilan HAM merupakan sesuatu yg overbodig (berlebihan)."

Yg kedua, ditulis "Negara dituntut utk menjamin kemurnian ajaran agama yg diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan & penyelewengan dari ajaran agama."

Dua-duanya gawat. Kalau yang pertama, sikap Prabowo tentu sangat bisa dimengerti. Dan belum tentu kubu Jokowi lebih baik. Apalagi Ibu Megawati belum pernah peduli pd kurban apa pun. Jadi 1 : 1.

Tetapi yg kedua gawat betul. Itu berarti bahwa bagi Prabowo suatu pemerintah akan merasa berhak menindas semua agama & kepercayaan di luar enam agama yg diakui dalam UU Penodaan Agama, misalnya Achmadiyah, Syia, Saksi Yehowa, Mormon, Bahai, Taman Eden & sekian tarekat Islami.

Baca juga jawaban yg diberikan oleh "administrasi Gerindra" atas sebuah pertanyaan kritis: "Bung, seluruh WNI harus dilindungi. Jika mereka berada di jalan yang salah, kita buat lembaga utk membuat mereka jera."
"Membuat mereka jera !" Ini bukan lagi main-main. Itu bertentangan dengan hak-hak asasi manusia maupun dengan Pancasila dan UUD-NRI 1945 Pasal 28 E,G(1), I(1) & (2) & Pasal 29(2); yang semuanya tidak mengenal pembatasan pd "6 agama yg diakui".

Dan kalau pemaksaan dlm hal agama & keyakinan religius sudah dimulai, apa akan berhenti di situ? Jangan-jangan lantas kita akan mendapat suatu "UU Kerukunan Agama" yg dalam kenyataan berarti penyumbatan kebebasan beragama & berkeyakinan. Apalagi Gerindra dalam koalisi akrab dengan PKS dan PPP Suryadarma)?

* * *

Eratum:
Dalam tulisan Kolom IBRAHIM ISA, 26 Mei 2014, berjudul: “MELIA DAN SOELARDJO – SETENGAH ABAD SUKA & DUKA”, yang menyangkut kelahiran Ita, putri Soelardjo dan Melia, tedapat hal yg perlu diralat. Soelardjo menjelaskan sbb:

Ita dilahirkan pada 8 Juli 1965. Ketika saya mendapat tugas ke Peking menghadiri Perayaan ulang tahun berdirikan Republiek Rakyat Tiongkok, anak saya sudah lahir dan sudah berusia 2 bulan 7 hari. “

* * *


No comments: