Thursday, December 17, 2009

IN MEMORIAM W.S. RENDRA (1935-2009)

Kolom IBRAHIM ISA *)
Sabtu, 08 Agustus 2009
------------------------------

IN MEMORIAM W.S. RENDRA (1935-2009)

Hari Kemis 06 Agustus 2009, penyair/budayawan W.S. Rendra meninggal dunia di Jakarta, dalam usia 74 thun. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan Y.M.E. Teriring pula doa agar keluarga yang ditinggalkan tabah adanya.



* * *

Bagi seorang t o k o h penyair sekaliber Rendra meninggalkan dunia yang fana ini, seumur itu, dianggap terlalu cepat. Tidak sedikit di kalangan budayawan dan pencinta puisinya yang mengharapkan terus munculnya karya-karya seni Rendra. Banyak yang menganggap puisi Rendra punya arti dan peranan amat positif dalam periode Reformasi dewasa ini.

Meninggalnya W.S. Rendra mengangkat kembali penulisan dan komentar-komentar di masa lalu, dan saat sesudah meninggalnya Rendra. Munculnya tulisan-tulisan tsb adalah wajar. Karena Rendra adalah tokoh penyair dan budayawan terkenal -- tidak saja di Indonesia, tetapi juga di kalangan dunia sastra dan budaya internasional.

Sebagai pengakuan dan penilaian terhadap karya-karya budayanya, W.S Rendra memperoleh pelbagai award dari pelbagai kalangan budaya internasional. Dalam th 1991 W.S. Rendra meperoleh a.l WERTHEIM AWARD. Itu terjadi masih pada periode rezim Orba. Wertheim Award tsb diterimanya bersama penulis Pramudya Antara Toer (yang belum lama dibebaskan dari P. Buru dan Wiji Thukul yang sampai sekarang tak diketahui dimana rimbanya. Rendra datang sendiri ke Amsterdam untuk menerima Werthein Award tsb. Stichting Wertheim yang didirikan dalam tahun 1988 di Leiden, Holland, menjadikan emansipasi bangsa Indonesia sebagai usahanya dengan memberikan Wertheim Award bagi karya emansipatoir teladan bagi orang-orang Indonesia yang masih hidup. Orang-orang Indonesia yang sejak itu telah menerima Wertheim Award adalah penyair Rendra dan Widji Thukul, penulis Pramoedya Ananta Toer, penerbit Joesoef Isak dan jurnalis Goenawan Mohammdad serta Benny G Setiono, penulis dan aktivis. Dengan emansipasi yang dimaksudkan ialah proses sejarah kemerdekaan negeri-negeri oleh warganegara mereka, dari ketidaksamaan, keterbelakangan pendidikan dan penindasan, dari partisipasi yang tak mencukupi di bidang pengadaan hukum dan dalam pengambilan keputusan.

* * *

W.S. Rendra tahun 1991, pada masa Stichting Wertheim menyampaikan Wertheim Award kepadanya, bukanlah lagi Rendra – tahun 60-an. Rendra sudah tumbuh menjadi penyair dan budayawan yang amat peduli nasib rakyat dan bangsa. Peduli nasib rakyat kecil. Peduli warga yang tinggal di daerah-daerah kumuh di kolong-kolong jembatan. Peduli nasib jutaan anak didik Indonesia, harapan hari depan Indonesia.

Simak kepedulian Rendra terhadap apa yang terjadi di masyarakat, kongkritnya mengenai penindasan penguasa terhadap aksi-aksi mahasiswa. Baca cuplikan dari sajak Rendra yang berjudul PAMFLET CINTA , a.l sbb:

. . .

Aku menyaksikan zaman berjalan kalang-kabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindui wajahmu.
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sihat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.



* * *

Sebuah tulisan di Kompas.Com (7/08/09) menguraikan betapa kepedulian Rendra terhadap nasib negeri dan rakyat. Dalam tulisan berjudul 'Setelah Pergi, Baru Sadari Betapa Pentingnya Rendra', disimpulkannya:

Kini Rendra telah pergi. Ia tak cuma meninggalkan catatan-catatan susastra yang diakui komunitas sastra dunia, tapi juga pemikiran-pemikiran brilian tentang bangsa ini. Dialah yang senantiasa mengingatkan para penguasa negeri ini agar selalu berpihak kepada rakyat. Dia pula yang selalu membela orang-orang tertindas untuk bangkit. Rendra telah berpulang. Bukan cuma ini kali kita ditinggal pergi oleh orang-orang besar macam Rendra. Sebelum Rendra ada Ali Sadikin, Soekarno, Mbah Surip, dan tokoh-tokoh lainnya. Tapi selalu saja kita tak pernah belajar bagaimana kita menghargai dan memulyakan orang-orang besar itu secara sepatutnya semasa hidupnya.

* * *

Rendra konsisten hidup, berjuang dan menyatu dengan nasib bangsa dan rakyat.Ikuti bagian-bagian dari sajak Rendra terkait: (Cuplikan dari sajak Rendra ' Sajak Sebatang Lisong' ). . . . .

. . . . . .

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya

* * *

Pada lain kesempatan Rendra mengungkapkan nasib kaum miskin. (Cuplikan dari DOA JAKARTA)

Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.

Perhatikan sikap dan pendirian Rendra sehubungan dengan gerakan masyarakat, kongkritnya gerakan yang menuntut keadilan. Perhatikan pula, tuntutan Rendra

dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu – ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan ? (cuplikan dari sajak Pertemuan dengan Mahasiswa


Perhatikan lagi keberpihakan Rendra, terhadap rakyat yang terhina dan yang luka, serta a.l terhadap sengketa kaum tani dengan pemilik dan pengusa:

. . . . .

ya bertanya : “maksud baik untuk siapa ?”

ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
“maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?”

kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah – tanah di gunung telah dimiliki orang – orang kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat – alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya

tentu, kita bertanya :
“lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu – ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan ?

sebentar lagi matahari akan tenggelam
malam akan tiba
cicak – cicak berbunyi di tembok
dan rembulan berlayar
tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
akan hidup di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang

dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru menjelma
pertanyaan – pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra

di bawah matahari ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana ! (cuplikan dari sajak 'Pertemuan dengan Mahasiswa')

* * *

Jalan hidup W.S. Rendra, seorang penyair dan budayawan langka, menunjukkan betapa ia dari suatu pandangan hidup dan sikap ('non-politis'?) – 'Humanisme Universil' dan 'Seni untuk Seni', menjadi penyair dan budayawan yang PEDULI RAKYAT dan PEDULI POLITIK. Suatu perkembangan, SUATU PERUBAHAN KE ARAH YANG BENAR!

Benar kiranya, bangsa ini, rakyat ini, amat menyayangkan dan bersedih berduka dengan kepergian W.S. Rendra. Nasion kita memerlukan lebih banyak lagi penyair/budaywan seperti dia. *

*) Ibrahim Isa adalah Publisis. Sejak 2002, Sekretaris Stichting Wertheim



* * *

No comments: